Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Pilihan

Yang Kami Minta Hanya Sebuah Bendungan Saja

23 Januari 2014   15:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32 561 0
Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Penawar musin kemarau dan tangkal bahaya banjir
Tentu bapa sudah melihat gambarnya di koran kota
Tatkala semua orang bersedih sekadarnya


Dari kaki langit ke kaki langit air membusa
Dari tahun ke tahun ia datang melanda
Sejak dari tumit, ke paha lalu lewat kepala
Menyeret semua


Bila air surut tinggallah angin menudungi kami
Di atas langit dan di bawah lumpur di kaki
Kelepak podang di pohon randu


Bila tanggul pecah tinggallah runtuhan lagi
Sawah retak-retak berebahan tangkai padi
Nyanyi katak bertalu-talu


Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Tidak tugu atau tempat main bola
Air mancur warna-warni


Kirimlah kapur dan semen Insinyur ahli
Lupakan tersiarnya sedekah berjuta-juta
Yang sampai kepada kami


Bertahun-tahun kita merdeka, bapa
Yang kami minta hanya sebuah bendungan saja
Kabulkanlah kiranya (Yang Kami Minta Hanyalah - Taufiq Ismail)


Salah satu puisi Taufiq Ismail ini pernah saya baca beberapa kali ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Medan, Sumatera Utara. Medan, kota di mana saya lahir dan dibesarkan. Puisi ini salah satu puisi favorit saya. Dulu ketika membacanya, saya tak pernah membayangkan seperti apa mengalami banjir itu, meski rumah saya tak jauh dari aliran Sungai Deli –sungai yang membelah kota Medan.

Baru pada tahun 2000, ketika saya bermukim di Banda Aceh, rumah kontrakan saya tenggelam ditelan banjir. Air bandang yang datang tak hanya menyentuh atap. Semua barang tak bisa diselamatkan, kecuali sebuah laptop dan pakaian yang melekat di badan. Karena air begitu cepat datang membuat semua panik tak terkatakan.Kami mengungsi. Tidak ada bantuan sampai sebulan kemudian datang petugas dari kelurahan, memberikan beberapa mug beras dan beberapa bungkus mie instant sebagai bantuan yang katanya dari kementerian sosial.

Sekarang saya tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta. Sudah hampir sebulan ini berjibaku dengan cuaca jika hendak pulang dan pergi bekerja. Tapi itu belum seberapa parah jika dibandingkan dengan para warga sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi yang saban musim hujan berjibaku melawan banjir yang datang. Saban musim hujan lho dan itu artinya saban tahun.

Sayangnya, di tengah haru biru warga yang diterjang banjir, pemerintah tak kompak untuk mencari solusi. Bacalah di koran-koran, semisal pernyataan Dirjen Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Sonny Partono. Kata-kata yang yang dikeluarkannya membuat kita kehabisan kata. Begini katanya, “ Kami enggak bisa salahkan teman sendiri.Yang penting tugas kami kelar, kami tak mau campuri tugas yang di tengah dan hilir.”

Tapi itu belum seberapa. Karena masih banyak lagi perang kata dan silat lidah sesama pengurus negara. Oh, sungguh mirislah nasib kita sebagai warga negara republik tercinta.

Padahal, sebagai warga kita tak minta banyak. Kalau ada disebut warga tak mau pindah dari lokasi yang sudah tak layak tinggal, atau bersoal karena pembebasan lahan, mungkin hanya kurang pendekatan saja. Kurang bijak cara penyampaian. Kurang banyak sosialisasinya. Karena memang, kami warga tak minta banyak bapak…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun