Mohon tunggu...
KOMENTAR
Otomotif Pilihan

Sketsa Ibu dan Anak di Stasiun Kereta

22 Agustus 2014   17:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:51 121 1
Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak sanggup ku membalas...ibu...ibu.. (Iwan Fals, Ibu)



Stasiun kereta, gerbong kereta, menjadi salah satu ruang utama hari-hariku yang berpredikat sebagai komuter atau penglaju ini. Untuk membunuh kebosanan karena menempuh waktu perjalanan 1 jam setengah sampai dua jam lebih –dalam satu kali perjalanan- banyak hal yang kulakukan selain tentu saja tidur diantaranya - jika dapat duduk. Hal yang paling sering aku lakukan adalah mengamati tingkah laku antara ibu dan anaknya.

Suatu pagi di akhir pekan, aku satu gerbong dengan seorang ibu muda dan anak perempuannya- mereka memakai baju yang sama. Motif bunga-bunga berwarna merah jambu dan putih dengan model terusan yang roknya sedikit mengembang. Karena akhir pekan,  kereta agak penuh. Si ibu berdiri. Si anak kemudian dipangku oleh neneknya yang juga ikut bersama mereka. Ketertarikanku mengamati mereka karena baju mereka sama  dan keduanya sama cantiknya.

Sorenya ketika pulang, aku kembali satu gerbong dengan ibu dan anak berbaju seragam yang cantik itu. Mereka turun di stasiun di mana aku juga turun.  Mereka turun berbarengan. Tapi si ibu tidak ikut tap kartu keluar. Si nenek menuntun anak itu men-tap kartunya untuk keluar. Kemudian dia mengantri menukar kartu di loket. Si anak berbaju seragam itu kemudian berlari lagi ke pintu tap kartu. Ibunya masih di sana. Berdiri mematung.

"Sama nenek ya. Iya, minggu depan mama datang lagi. Kita jalan-jalan lagi. Sudah ya." Suaranya tercekat. Dia segera berbalik, tangannya mengusap pipinya. Cairan itu mungkin sudah tumpah dari matanya. Aku berpura-pura mencari-cari sesuatu di tasku dan membiarkan diriku berdiri di dekat si anak. Si anak yang mungkin berusia 5 atau 6 tahun itu diam, tanpa ekspresi. Dia hanya menatap ibunya. Kereta si ibu belum datang. Dia berbalik lagi ke arah anaknya, sementara si nenek masih mengantri.

"Sudah, sama nenek sana," kata ibunya. Anaknya tak bergeming. Neneknya masih mengantri. Oh, dadaku tiba-tiba sesak. "Kereta mama sudah datang." Tangannya menghapus butir air di wajahnya kemudian tangan lainnya melambai ke si anak dan dia segera berlari ke peron seiring suara kereta yang  semakin mendekat. Nenek selesai mengantri, dia menarik tangan cucunya. Kami keluar stasiun bersamaan sebelum akhirnya berpisah karena mereka segera naik ojek.

Di pagi lainnya, di gerbong yang tidak begitu ramai. Seorang ibu menyisir rambut dua anak perempuannya yang akan berangkat ke sekolah.  Gerbong kereta menjadi ruang multi fungsi buat para penglaju.

"Jangan lupa bekalnya dimakan. Jangan nggak dimakan kayak kemarin, ya," pesan si ibu sambil menyisir rambut anaknya dan kemudian menguncir rambut anaknya itu. Anak yang tengah disisir rambutnya ini sepertinya anak sulungnya, badannya lebih besar dari anak perempuan lainnya yang ada di sebelahnya.  "Sudah, sini kamu," katanya ke anak satunya. Kemudian si ibu menyisir rambut anak perempuannya itu.

"Mama, kok rambutku nggak seperti rambut adek," celoteh si sulung di sela-sela ibunya menyisiri rambut adiknya itu.

"Iya, tapi kan kamu tetap anak mama," kata ibunya. Si sulung berambut lurus, sedangkan adiknya berambut ikal.

"Tapi aku pengen rambutku itu seperti rambut adek."

"Tapi kamu tetap cantik," hibur ibunya.

"Nggak," kata si sulung ngambek.  Adiknya cuek saja sambil terus memakan roti yang ada di tangannya.

"Ya sudah, bawa nih sisir. Biar kamu bisa sisiran terus. Tapi jangan lupa, bekalnya dimakan," ibunya kembali mengingatkan. Sisir beralih ke tangan si sulung. Dia memasukkan ke tasnya. Mereka kemudian berdiri, bersiap keluar gerbong karena kereta sudah berhenti di stasiun yang dituju.

Di pagi sibuk lainnya, ketika kereta penuh sesak. Seorang ibu, seorang nenek dan seorang anak laki-laki yang kakinya lumpuh berdesakan di antara penumpang. Si nenek kemudian duduk di sampingku, memangku cucunya. "Kami mau ke rumah sakit. Cucu saya ini harus disuntik sekali dua minggu, supaya paling tidak bisa berdiri. Umurnya sudah tujuh tahun, tapi ya begitu, belum bisa berdiri apalagi jalan. Saya juga nggak tahu apa sakitnya. Ibunya sudah pisah dengan bapaknya. Kami berobat dengan surat miskin, untung bisa," jelas si nenek panjang lebar. Ibunya hanya tersenyum sambil mengangguk- mengiyakan cerita si nenek.

Sketsa para ibu dan anak tak hanya tersaji di gerbong-gerbong kereta. Stasiun juga menjadi ruang pengamatanku. Seperti kemarin malam, sekitar pukul 10 lebih kurasa. Di depan loket penjual tiket, persis di depan pintu keluar, seorang ibu muda berdiri sambil menggendong seorang anak. Mungkin anak itu berusia satu atau dua tahun. Dia menggendongnya dengan kain panjang. Entah itu anaknya atau bukan. Yang menarik perhatianku, dia membacakan sebuah ‘cerita’ kepada anak itu dengan suara keras. Anak itu tertidur dengan pulasnya.Tangan kanannya memegang buku, tangan kirinya memegang plastik berisi kue. Kakinya tak beralas. Dia berdiri tegak.

"Kemudian mereka menikah dan dia punya anak. Anak itu sudah besar." Begitu kira-kira kalimat yang kutangkap dari mulut si ibu sembari aku mengantri tap kartu di pintu keluar. Rasa penasaran membuatku menghampiri si ibu.

Kulirik buku di tangannya, dan ternyata itu buku yang penuh dengan tabel-tabel. Oh, ternyata dia mengarang ceritanya atau tepatnya dia tengah bertutur pada sang anak. Ketika aku ingin semakin mendekat untuk melihat buku di tangannya, satpam stasiun segera menghampiriku. Tanpa komando, aku segera menghindar. Satpam itu menatapku penuh arti. Segera menjauh, begitu kira-kira terjemahan wajah dan tatapannya. Aku menelan ludah, dan perasaanku bercampur aduk melihat si ibu dan anak yang ada di gendongannya. Malam semakin larut dan pekat. Entah berapa lama si ibu muda itu di sana- membacakan 'cerita' untuk si anak.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun