Hujan mengetuk jendela hati,
membawa cerita yang tak terhenti.
Aksara terurai, jatuh di bumi,
menyulam makna yang tersembunyi.
Butiran air menulis sajak,
di atas daun yang melenggak.
Seperti tangan yang tak terlihat,
menggores rindu di balik kabut pekat.
Hujan itu bahasa tanpa suara,
mengajarkan luka menjadi lara.
Setiap tetesnya adalah doa,
yang tak pernah hilang meski sirna.
Dan di antara gemuruh mendayu,
aksara mengalir, menyatu pilu.
Ia berkata tanpa bernada,
mengenang kisah yang tak kembali ada.
Dalam hujan, aku membaca dirimu,
huruf-huruf yang terurai di waktu.
Meski habis diguyur langit kelabu,
aksara itu tetap kekal di kalbu.