Hari ini peristiwa bersejarah 11 September 2001 kembali di di kenang dan di peringati. Hampir 3000 orang tewas dan 6000 cedera dalam peristiwa runtuhnya menara kembar Pentagon oleh serangan19 teroris yang dikepalai oleh Osama Biladin, pria berdarah Yaman yang berasal dari wilayah Jeddah – KSA.
Peristiwa tersebut membuatku kembali teringat pada suatu sore, di bulan Ramadan, di penghujung tahun 2000 di kota Mekkah. Saat itu seperti biasanya setiap habis Ashar, di waktu yang telah ditetapkan aku harus turun mengambil tumpukan roti danfull damesyang telah diletakkan oleh anak-anak majikan di dekat pintu gerbang.
Hari itu telah lebih 5 menit aku menunggu ternyata belum juga datang, mungkin terhalang macet. Ketika sedang asyik menunggu, tiba-tiba terdengar langkah kaki laki-laki menuruni tangga loteng, kedengarannya dari lantai atas apartemen tempat tinggalku, membuat hatiku kikuk dan bingung. Aku telah lupa bahwa apartemen di lantai 3 kini ada penghuninya, sebuah keluarga besar dari luar Mekkah yang tiap tahun menjadi penyewa tetap selama pertengahan Ramadan hingga Idul Fitri nanti. Tujuan mereka tentunya beribadah Umrah.
Mendengar suara langkahnya yang berirama santai dapat kuduga pasti itu langkah orang paruh baya, membuat hatiku semakin kecut. Yang kudengar dari cerita anak-anakku bahwa penghuni lantai atas adalah sebuah keluarga yang “Sadeed”, artinya mereka adalah keluarga yang menjalankan benar-benar syariat Islam dan menentang hal-hal berbau modern memasuki kehidupan mereka. Orang Islam garis keras, mungkin begitu istilahnya.
Sementara saat itu aku hanya mengenakan hem lengan panjang, kerudung kecil , dan celana longgar tanpa abaya apalagi cadar, bisa dibayangkan betapa kalut pikiranku saat itu. Mungkin jika di Indonesia, pakaian yang kukenakan sudah termasuk dalam ketegori santun dan sesuai standar sebagai muslimah. Namun, di Saudi tanpa abaya dan cadar serasa sedang pakai rok mini lalu berdiri di pinggir jalan. Entahlah, yang jelas itu perasaan yang kurasakan. Jika lelaki itu sampai menegur apalagi sampai mencaci lalu berteriak sambil menyeru-nyeru “Ya Ayyuahalladzi na amannu, bla-bla-bla…., “ akan ditaruh mana mukaku????
Tiba di lantai bawah, kudengar suaranya berdehem memberi isyarat bahwa ia seorang laki-laki mau lewat. Tapi suara yang kudengar begitu bening, dan bukan suara bapak-bapak seperti yang kuperkirakan. Aku dengan sigap langsung menghadap pada tembok marmer yang menghubungkan gerbang yang berpintu besi dan kaca tebal tak tembus pandang. menyembunyikan wajah sebagai langkah terbaik, karena mau menghindar tak tahu lari kemana.
Tak disangka pemuda dengan baju terusan hitam itu menghentikan langkah, lalu mengucap salam kepadaku tapi pandangannya ke arah samping. Aku merasa ia juga kikuk dari nada bicaranya, mungkin tak pernah bicara dengan perempuan selain keluarganya saja.
Jadi kami bicara sambil singkur-singkuran. Kemudian ia bertanya sesuatu, Bahasa Arabku masih buruk sekali saat itu, sementara dia berbicara dengan aksen Arab dari daerah Khamis dekat Propinsi Abha yang membuatku semakin kesulitan mencerna tiap kalimatnya.
“Na’am. Apa?” kataku yang secara reflek membalikkan wajah untuk menatapnya agar aku bisa mencerna kalimat yang ia katakan.
Namun, melihatku menatap wajahnya, ia buru-buru menutupi wajahnya dengan mengibarkan kain qutrah putih penutup kepalanya, yang membuatku garuk-garuk kening, “Kenapa jadi dia yang menutup wajah??”.
Akhirnya ia mengulangi pertanyaannya, namun tetap saja aku tak bisa mencerna, dan aku menyuruhnya mengulangi lagi. Yang akhirnya kutahu bahwa ia mencari toko yang menjual bawang merah.
Batinku yang usil saat itu langsung terkikik geli, “ganteng-ganteng beli bawang merah.”
Dia memang saat itu berpakaian formal, mengenakan terusan hitam dan qutrah putih di kepalanya. Ini sudah kali kedua aku bertatap muka dengannya, yang pertama ketika mereka sekeluarga baru datang, masih mengenakan ihram baru datang dari umrah. Saat itu aku sedang terburu-buru membereskan dapur apertemen yang akan mereka tinggali dan terpaksa lari terbirit-birit lari ke pintu lain karena malu.
“Disana.” Jawabku menunjuk asal-asalan ke daun pintu gerbang.
“Syukran.”
“Afwan.”
Orang yang aneh, masa bertanya beli bawang merah ke perempuan, kan di luar sana banyak orang lalu-lalang. Lagian aku juga ga ngasih jawaban, aku kan hanya menunjuk “kesana”, padahal tokonya aku juga belum tahu. Tapi kenapa ia berterimakasih dan seolah sudah paham pada jawabanku yang ga jelas. Aneh.
Pertanyaan yang aneh, di ucapkan pemuda yang menurutku aneh, dan suaranya yang begitu bening seperti emas itu, juga lebih aneh lagi. Aneh+aneh+aneh= bikin penasaran.
Ini bukan masalah penasaran kepada lawan jenis, tapi sebatas rasa ingin tahu.seperti penasaranku pada penyanyi legendaris Arab, Umm Khulsum kenapa ia selalu membawa sehelai sapu tangan ketika manggung? Sempat kutanyakan pada salah seorang anak majikan, jawabnya untuk menghapus air mata sebab lagu-lagunya kebanyakan bertemakan cinta (Ga nyambung)
Juga rasa ingin tahu dan kagumku pada Syekh Abdurrahman Sudaish, imam Masjidil Haram yang suaranya begitu lembut, serasa menerbangkan ruh-ruh bagi yang mendengarnya. Tak bosan rasanya mendengar suaranya melantunkan ayat-ayat suci. Ayat yang dibacanya selalu panjang-panjang ketika mengimami shalat Tarawih, hingga beberapa jamaah terlihat berdiri sambil membuka Alquran. Atau pada sosok Amr Khalid yang berdakwah dengan bahasa Arab Mesir sehari-hari yang kerap kulihat di ART TV, walau tak bisa mencerna apa yang ia katakan, namun gaya bahasanya yang terlihat renyah begitu aneh, tidak seperti para pendakwah lainnya yang identik dengan bahasa Arab klasik.
Akhirnya kudapatkan keterangan dari kedua adiknya yang cantik dan lucu berumur 5 tahun dan 7 tahun, yang setiap jam tarawih akan mengunjungi dapurku berharap aku sudi membuatkan mi instan, lalu dengan takjub aku akan melotot ketika mereka berdua makan mi rebus yang baru keluar dari panci dengan jari seolah tangannya terbuat dari bahan anti panas. Tak dapat kubayangkan bagaimana jika makan bubur panas dengan tangan.
Dari keterangan kedua adiknya, pemuda itu adalah sulung dari 10 bersaudara. Masih kuliah dan seorang muadzin di daerah tempat tinggalnya yang membuat rasa ngefansku kian menjadi. Soal umur tak usah ditanyakan, dengan menghitung jumlah saudara lalu di kalikan dua, ditambah umur yang paling bungsu adalah 6 bulan, maka dapat kukalkulasikan umurnya adalah 22-23 tahun. Karena rata-rata Ibu-Ibu di Arab masyaallah ta barakallah rajin melahirkan tiap dua tahun sekali.
Dia seorang pendiam, Tidak seperti adik lelakinya yang begitu keras dalam mendidik adik-adiknya masalah agama, dari mengharamkan majalah, musik, radio, ataupun televise. Yang bahkan tak segan-segan membanting tape, kaset,atau lainya jika sampai ketahuan adiknya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama. Biasanya adik lelakinya yang seumur 17 tahun yang sedikit bebal dan sering kena damprat dan pukulan. Keluarga ini juga mengharuskan bercadar kepada pembantunya, kendati di dalam rumah sekalipun. Kendati begitu mereka rata-rata mandiri semenjak kecil dan patuh kepada orang tua tentunya. Karena yang kutahu walaupun anak lelaki mereka juga mengerjakan pekerjaan rumah, dari menyapu, mencuci, dan belanja.
Keluarga yang aneh tapi bagaimanapun itu adalah keyakinan mereka dan aku tetap menghormatinya dengan tak memberikan mainan atau menyalakan televisi film kartun pada anak-anaknya karena haram, toh mereka juga sepertinya tak tertarik pada mainan dan film kartun. Menjelang maghrib terkadang aku akan mengantarkan kue-kue Ramadan ke apartemen mereka, dan esoknya mereka akan ganti mengantarkan kue-kue lain ke rumah. Sebuah hubungan dua paham berlawanan yang indah.
Tapi rasa penasaranku tak juga kunjung padam pada sosoknya. Aku banyak mengenal teman dari yang berdarah Arab, Yaman, Indonesia, Maroko, Turkestani, dan lain-lain, tapi tak pernah merasa penasaran begitu mendalam seperti pada sosoknya apalagi sampai harus bertanya pada adiknya langsung hanya sekedar ingin memuaskan rasa ingin tahuku. Sepertinya ia bukan pemuda biasa, ia memiliki kharisma yang tak kudapatkan ketika melihat adiknya.
Sampai Ramadhan usai aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Namun dalam hatiku selalu berharap bahwa suatu saat dapat bersua lagi. Minimal melihat sekilas tanpa bicara pun tak mengapa, namanya juga sedang terkena penyakit obsesib kompulsif.
Ketika bulan Haji datang, aku kembali kecewa ketika adiknya datang berkunjung, karena saat itu sedang naik haji, kukira ia juga ikut datang, tapi ketika ku intip dari balik pintu ternyata ia hanya datang sendirian.
Rasa penasaranku baru terungkap ketika di suatu siang, tanggal 12/9/2001 tiba-tiba anak majikanku yang kelas satu SMA mendatangiku di dapur sambil menenteng koran.
“Kamu kenal AN?” katanya
“AN kan banyak, Ram. Ada AN Maggribiya, AN Turkestani, AN Bolousi,”
“AN yang keluarganya tiap ramadan menyewa di apartemen atas.”
“Ya, aku tahu. Dia yang tampan,dan agak kurus itu, kan. Aku dua kali melihatnya. Memangnya ada apa?” Rasa penasaranku muncul kembali.
Kemudian ia membeber korannya di lantai dapur yang tertutup karpet hitam, aku terpaksa mengikutinya. Aku sangat menghargai anak-anak yang tak segan-segan membagi berbagai informasi kepadaku, bahkan peristiwa-peristiwa kecil dari berkelahi antar geng di Mekkah, sepak bola, balap mobil liar di Muzdalifah tiap malam kamis juga tak luput diceritakannya padaku. Jujur, dari merekalah aku banyak menimba pengalaman, dari belajar bahasa Arab hingga terbata-bata membaca tulisan Arab tanpa harakat di koran-koran lalu menerjemahkannya.
“Nah kau kenal foto ini? Dia AN, termasuk dalam daftar sembilan belas teroris yang merobohkan pentagon di Amerika. Dia salah satu anngota Al Qaeda yang di pimpin Osama Biladen dari Jeddah.” Katanya dengan bangga.
“La khaula wala kuwata illa billah. Masa iya, Ram?”
Lalu kucoba melihat jelas wajah dalam foto. Ia telah mencukur habis jenggotnya, nyaris aku tak mengenalinya. Namun wajah dan terlebih mata dalam foto itu mengingatkanku pada adiknya yang berumur tujuh tahun.
Akhirnya rasa penasaran dan heranku pada sosok AN terbayar sudah. Dia menjadi satu dari 4 teroris yang berada pesawat United Airlines Flight 93 dengan tujuan serangan ke Gedung Putih Washington DC, namun pesawatnya terjatuh dekat Shanksville, Pennsylvania.
AN yang pendiam itu ternyata mampu membuat sejarah kelam yang menggemparkan dunia. Khususnya Amerika yang terkenal dengan kecanggihan teknologi dan agen-agen rahasianya, ternyata masih bisa kebobolan juga.
Walaupun pada tanggal 11 September 2001 hampir semua rumah di Arab melafazkan kalimat “Allahu Akbar” dan berteriak-teriak girang. Namun akibat dari semuanya itu, memicu kemarahan Amerika dan berdampak meletusnya perang Afganistan. Dan sangat disesalkan bahwa ribuan yang menjadi korban tetaplah rakyat tak berdosa baik rakyat Amerika dan rakyat Afganistan khususnya yang menderita berkepanjangan hingga sekarang. Jadi, sosok yang kuidolakan itu, dengan suara bening dan kharismanya yang luar biasa itu rupanya seorang teroris berkaliber dunia. Andai kutahu siapa dia sesungguhnya, pasti akan kupinta tanda tangannya, dehh…
Satu tahun kemudian aku kembali berjumpa dengan keluarga mereka dengan suasana tetap di bulan Suci, karena Ramadan 2001 mereka tak berkunjung ke Mekkah. Kedua adiknya masih ceria walau terlihat menjaga jarak, hanya saja mereka malu untuk meminta dibuatkan mi instan lagi. Sempat kutanyakan pada pembantunya dari Srilanka yang selalu bersembunyi di balik cadar itu tentang AN untuk menuntaskan rasa penasaranku padanya. Jawabnya, dia tak pernah melihatnya, namun fotonya masih terpajang.