Hampir segala saran Gazali kau turuti.
"Puisimu bagus, tetapi redaktur tidak menyukainya," kata Gazali pada Minggu pagi ketika mendapatimu pulang dari loper koran dengan wajah murung. Mendengar itu, semangatmu kembali bangkit. Kau mulai mempelajari karakter puisi yang dimuat di koran dan majalah. Dan bersabar. Hasilnya, sebulan kemudian puisimu terpampang di halaman sastra sebuah koran nasional. Kau nampak begitu bergembira waktu itu. Dan ketika kau terima honor tulisanmu, kau ajak Gazali makan malam dengan menu lele bakar. Kau gunakan pula honor tulisanmu untuk membeli berketeng-keteng rokok mahal dan dua buah buku antologi cerpen.
Kian lama kian banyak tulisanmu yang dimuat di media massa. Tak hanya puisi, tetapi juga cerita pendek dan sesekali esai sastra. Gazali sering mengagumi puisi-puisi dan cerita pendekmu, tetapi tidak untuk esai sastra yang kau tulis. Menurutnya, kau lebih cocok menjadi penulis cerita pendek ketimbang puisi apalagi esai sastra. Katanya lagi, gaya bahasa dan teknik dalam cerita pendekmu ada kemirip-miripan dengan salah seorang penulis peraih nobel sastra. Apa yang Gazali katakan itu kau sadari kebenarannya setelah kau kembali membaca karya-karyamu. Dan sejak itu kau mulai jarang menulis puisi dan lebih sering menulis cerita pendek.
Meski demikian dalam kebencianku dengan kegiatan menulis yang kau lakukan akan tetapi ada saja hal yang aku senangi dari kegiatanmu yang satu ini, antara lain saat melihatmu tergesa-gesa ingin segera merampungkan tulisan dan kemudian mengirimkannya ke media massa. Juga saat kau lupa pada waktu, ingin segera mendapatkan uang, dan berangan-angan menjadi penulis terkenal. Aku sering berkelebat-kelebat di atas kepalamu, menyuruhmu menuliskan ini-itu, memaksamu menjiplak beberapa kalimat penulis lain dengan sedikit mengaburkannya. Ketika kau rasakan pikiranmu buntu membuat akhir sebuah cerita dan kemudian duduk berlama-lama di atas kloset, aku sering membantumu memberikan ending cerita yang buruk tetapi kau sukai. Yang paling membuatku senang adalah ketika aku memberimu ide-ide cemerlang di saat kau tengah shalat. Aku sudah hidup selama ratusan tahun, mengalami banyak kejadian, mempunyai pengalaman hidup yang sangat banyak, hingga untuk sekadar memberimu ide-ide cerita itu pekerjaan yang sangat gampang bagiku. Aku pilihkan beberapa ide cerita dan menghembuskannya ke kepalamu saat kau tengah tegak menghadap kiblat. Ide yang aku hembuskan kemudian akan menempel di kepalamu, mengiang bersama bacaan-bacaan shalatmu. Tapi begitu kau selesai shalat aku akan segera menghapus ide-ide yang aku berikan itu. Hingga kau tak ingat apa pun dan hanya membuat shalatmu sekadar gerakan-gerakan senam.
Sesekali kau bertanya dalam hati, "Adakah orang tuaku pernah membaca cerpen dan puisiku?" Andai pernah, kau yakin, mereka tak akan tahu bahwa itu adalah tulisanmu, sebab kau telah menggunakan nama samaran dan memalsukan tanggal kelahiranmu dalam biodata yang kau lampirkan di setiap tulisan. Kau menebak kalau orang tuamu tak akan setuju kau menjadi seorang penulis. Kau sadari bahwa orang tuamu lebih menginginkanmu menjadi seorang ulama, ahli agama. Berpikir tentang hal itu, sering membuat tidak bisa menulis untuk beberapa hari. Baru kemudian ketika kau melihat tulisan Gazali atau kawan-kawanmu yang lain dimuat di media massa mood menulismu akan kembali tumbuh.