Rutinitas masa kecilku hanya bermain dan bermain. Ketika pulang sekolah, aku lekas beranjak dari rumah untuk bermain bola dan mandi di kali bersama teman-teman. Ada yang bermain petak umpet, rumah-rumahan, dan banyak mainan lainnya. Semua kami mainkan sepanjang hari, jeda waktu hanya ketika kami lapar dan azan magrib. Ahh… sungguh membahagiakan.
Ketika malam tiba, setelah sholat maghrib dan mengaji, aku berusaha kembali keluar untuk bermain, tapi ibuku melarang karena sudah malam. Aku kecewa tapi tak sampai membatin. Ibuku lalu mengeluarkan jajan yang dibelinya pada saat ke pasar hanya agar aku tak keluar rumah pada malam hari. Namun yaa begitu, dasar aku, selalu ada cara untuk keluar bermain. Sepulang main, ibuku seperti biasa sedikit marah dan geleng-geleng kepala melihatku. Aku langsung cuci kaki dan disuruh sholat isya lalu tidur. Setiap malam selalu seperti itu, lebih-lebih pada malam minggu, malam spesial yang dinanti-nanti, penantian yang walau semalam tapi terasa panjang karena esok paginya tak ada mandi pagi dan sekolah, yang ada hanya bermain dari pagi sampai malam.
Rutinitas itu berlangsung setiap hari sepanjang masa kecilku, tak pernah ada kata belajar, apalagi mengerjakan PR sekolah. Yang ada hanya bermain dan bermain. Sehingga tak heran rapotku dulu yang warna sampulnya merah ditambah dengan angka-angka merah di dalamnya terlihat begitu menyeramkan, rapot yang seharusnya menjadi kebanggan seolah menjadi barang keramat yang tak berani aku lihat.
Sampailah pada masa dimana aku harus masuk pesantren dan menjadi santri (sebutan siswa di ponpes). Sebuah sekolah yang tak seperti sekolah biasanya. Aku harus tinggal di dalam pondok, tak boleh pulang, makan harus diantarkan, pakaian cuci sendiri, dan tidur dalam satu kamar dengan 30 santri lainnya dengan masing-masing membawa satu lemari dan satu alas tidur. Hari-hari pertamaku di pondok terasa aneh. Walau letak pesantren itu tak jauh dari rumahku, tapi tetap saja harus berpisah dengan orang tua, keluarga dan teman-teman sepermainan, itu membuatku begitu terasa asing.
Hari demi hari, bulan, tahun, aku mulai terbiasa dengan kehidupan pesantren. Di sana aku mulai belajar dan berpikir arti kehidupan, bahwa hidup ini memiliki tujuan. Tak ada kehidupan yang baik di masa depan tanpa persiapan yang baik di masa sekarang. Sehingga aku mulai belajar dan rajin mengerjakan PR sekolah. Di pesantren pula aku bertemu dengan teman-teman baru, bergaul dan kembali menghabiskan waktu bersama. Permainan kami tetap sama, bermain bola dan mandi bersama, tapi kali ini mandinya di pantai, bedanya, dengan mereka kami saling mengingatkan dalam kebaikan. Tatkala waktu sholat tiba, kami saling mengingatkan. Yaa walau ada sedikit keburukan, tapi kami jadikan pelajaran. Itu berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan sampai dengan saat ini, tak ada yang keluar, beberapa ada yang datang. Semoga ini yang dinamakan sahabat sesurga. Aamiin.