*
[Rutan Salemba, 03 September 2009 : 16.30 WIB]
“Jam besuk tinggal 10 Menit lagi, kurasa kau harus secepatnya pergi dari tempat ini. Aku tak mau kau berlama-lama di sini.”
“Tapi, Ris?” tanya gadis itu.
“Sabrina dengarkan aku, kumohon buat ini menjadi mudah bagiku, Kumohon,” jawabku pada gadis itu, berat.
“Kau tak bersalah, Ris. Mengapa kau lakukan itu? Tidak seharusnya kau...” segera kupotong omongan gadis itu.
“Sabrina, dengarkan aku, tolong. Dia pantas mati, dan faktanya adalah di pistol itu terdapat sidik jariku, juga di peluru itu. Aku yang membunuhnya, dan dia memang pantas untuk dibunuh.” Potongku.
“Aris...”
“Sabrina, ada yang ingin kusampaikan padamu terkait karirmu dan tanggung jawabku sebagai manajermu, setidaknya aku masih menganggapnya demikian,” jelasku. Ia masih terdiam, sementara itu tanganku mengambil sesuatu di sakuku, kuserahkan padanya.
“Apa ini, Ris?” tanya sabrina heran. Di tangannya sudah tergenggam sebuah kertas yang tadi kuambil dari sakuku.
“Hubungi kontak di catatan yang kau pegang itu, dia akan membantumu mengatur perjalananmu ke Paris. Di sana kau akan temui kolegaku, bermain di industri perfilman, dan kudengar ia akan membuat sebuah filmlagi di sana. Aku sudah lama membicarakan hal ini dengannya, tentang rencanaku untuk karirmu di Paris, dan ia setuju untuk membantuku. Mungkin aku masih berkesempatan melihatmu muncul di ‘Cannes’. Aku yakin saat itu pasti akan datang, dan kau Sabrina, gadisku, akan memuliakan karpet merah dalam langkahmu, aku yakin itu.”
“Aku tak mau, Ris! Aku tak bisa meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini, kau sudah melakukan segalanya untukku,” sambungnya lirih.
“Tidak, Sabrina. Kau harus pergi, demi karirmu. Kumohon Sabrina, setidaknya lakukan ini demi kita, impian kita.”
Percakapan sore itu menjadi percakapan terakhirku dengan gadis itu. Sebelum akhirnya petugas Rutan mengantarkan ia pergi. Aku hanya bergeming melihat bayangannya perlahan menghilang, kau pasti bisa, Sabrina, kau pasti bisa, bisikku lirih.
*
[Ozon Cafe, Anyer Ressort Beach, 23 Juli 2009 : 21.15 WIB]
“Rupanya kau disini. Dari sore tadi aku mencarimu,” tanyaku pada seorang gadis yang sedari tadi kucari. Kujumpai ia di sudut meja bar, di sebuah kafe yang biasa ia datangi. Seperti biasa jaket mantel dengan tutup kepala yang menyembunyikan sebagian besar bagian atas tubuhnya.
“Aku lagi kepingin sendiri, Ris,” balas gadis itu.
“Mhh, itu berarti kau memintaku tetap di sini menemanimu,” sambungku sambil menggeser kursi di sebelah gadis itu. kupesan minuman yang sama dengan gadis itu.
“Sudah cukup lama kau disini, apakah itu artinya kau sudah siap kembali ke Jakarta bersamaku?” tanyaku sambil melirik gelas-gelas kosong di atas meja bar itu. Aku sangat mengenal kebiasaannya. Termasuk dalam hal yang tak mau gelas-gelas kosong bekas minumnya diangkat oleh pelayan, baginya gelas-gelas kosong itu adalah banyaknya waktu yang sudah dihabiskan di cafe ini. Gelas-gelas kosong itu juga berarti hitungan baginya untuk menghabiskan berapa banyak gelas lagi yang harus ia habiskan, gadis itu mempunyai standar berapa banyak ia harus minum untuk masalahnya, dan itu tergatung seberapa berat masalahnya.
“Ayolah Sabrina, pulanglah...” belum sempat kumelanjutkan omonganku, ia sudah memotong ucapanku.
“Ris, kumohon kau mau mengerti kondisiku, aku mau kau menemaniku sekarang bukan untuk mengajakku pulang atau menasehatiku seolah aku ini anak kecil. kumohon, Ris.”
“Ya, kau benar. Lagipula aku kesini bukan hanya sekedar mau mengajakmu pulang, aku ingin membantumu, apapun itu, dan kau pun tahu itu,” balasku.
Ia hanya terdiam, matanya perlahan menatap wajahku, kubalas tatapan itu. andaikan bola mata bisa berbicara kalau aku sangat peduli terhadapnya.
“Ris, andaikan lelaki itu sepertimu, andaikan orang yang sudah kusayangi bukan seorang bajingan seperti dirinya, mungkin takkan kubenamkan diriku di antara meja dan tumpukan gelas-gelas ini. Dasar lelaki bangsat! Dia lupa bagaimana ia bisa menjadi seperti saat ini, dia lupa kalau ia telah mendompleng ketenaran dan popularitasku, sekarang ketika ia sudah mencapai puncak.”
Kulihat getar emosi dalam ucapannya. Matanya perlahan memerah, bulir airmata sepertinya tak tertahankan lagi tuk tertumpah malam ini. Menangislah Sabrina, menangislah kalau memang itu bisa membuatmu lebih baik, tapi jangan pernah menangis untuk lelaki itu, air matamuteramat berhargadan ia tak layak untuk itu, bathinku.
“Sudahlah, Sabrina. Kau pun tahu kalau hidup itu terus berjalan, kau masih mempunyai karir yang cemerlang, kesempatan berkarya yang masih terbuka lebar untukmu. Jangan hanya karena lelaki itu kau hancurkan itu semua.”
“Terima kasih, Ris. Aku tahu itu,” balasnya sambil meminum sisa-sisa minuman di gelasnya, “ngomong-ngomong, kau sudah baca ini?” tanyanya sambil menyodorkan sebuah tabloid ke arahku. Terlihat jelas di tabloid itu gambar dan tulisan yang tertera di halaman pertamanya, ‘Dhani Sang Aktor Playboy, Tertangkap Basah bersama Seorang Perempuan Di Sebuah Kamar Hotel’.
“Ya, aku sudah baca, hanya berita murahan saja,” jawabku.
“Sudah setahun aku menutup mata atas semua kelakuannya. Pernah kubicarakan dengannya, namun hanya penyangkalan dan pertengkaran saja. Belakangan ini dia pun sudah mulai sering main tangan, Ris”.
Aku hanya terdiam bercampur geram mendengar ceritanya. Memang aku sudah mengetahui semuanya, meski gadis itu hanya diam selama ini. Aku tahu segala kelakuan memuakkan Dhani di belakangnya. Aku sudah memikirkan cara untuk itu, termasuk menghancurkan karirnya dengan memberitahukan wartawan perihal permainan gilanya dengan wanita-wanita murahan itu, hingga mereka bisa mendapatkan berita yang baru saja kubaca lewat tabloid hari ini.
“Sudahlah, tak banyak yang bisa kau dan aku perbuat saat ini, semua akan mendapatkan akhir ceritanya masing-masing. Dan kau, kau juga masih mempunyai karir yang harus kau perhatikan. Sudah larut, baiknya kau pulang denganku saja, biar kau bisa beristirahat di mobil. Untuk mobilmu nanti biar kuatur orang untuk mengmbilnya.”
Kami pun meninggalkan cafe dan ressort itu. Tak banyak bicara, kubiarkan ia tidur sepanjang perjalanan. Sesekali kulihat wajahnya, Indah, bahkan ketika permasalahan yang kerap dihadapinya, keindahan itu seperti tak pernah meninggalkan di setiap raut wajahnya. Pikiranku masih terus menerawang, hingga akhirnya kami sampai di apartemen Sabrina, kuhentikan mobilku tepat di depan pintu lobby.
“Sabrina, bangunlah, kita sudah sampai,” sambil kugoyang-goyangkan lengannya. Gadis itu terbangun, ekspresinya terlihat sedang berusaha keras mengumpulkan kesadarannya.
“Mau kuantar sampai ke atas?” ajakku menawarkan diri.
“Tak usah, Ris. Aku bisa sendiri,” jawabnya pelan.
“Baiklah, langsung istirahat ya. Untuk jadwalmu besok pagi, sudah kubicarakan dengan sutradara agar diundur lusa, kebetulan ada scene-scene dimana kau harus bertemu dengan Dhani, makanya kuminta agar diundur. Sutradara mengerti, dan sudah kubicarakan dengan manager dhani juga, ia juga paham maksudku.”
“Terserahmu saja, Ris, Aku tetap menjaga profesionalismeku, kok.”
“Tapi jangan lupa besok sore masih ada jadwal syuting dan hanya scene ringan saja, tapi setidaknya aku minta kau istirahat yang cukup. Aku tak mau melihat kau tampil dengan kantung matamu itu,” pesanku padanya. Dia hanya tersenyum mendengarku.
“Ris, terima kasih ya atas segalanya. Ini sangat berarti bagiku.”
“Ya sudah, sana cepat naik, jam 10 pagi kutelpon lagi, untuk memastikan kondisimu, okey?”
“Siaapp,” jawabnya singkat seraya tersenyum. Mengakhiri perjumpaan kami malam itu.
Gadis itu meninggalkan mobilku, masih kulihat ia memasuki pintu lobby. Lalu menghilang. Kujalankan mobilku segera. Pikiranku masih tak bisa lepas darinya. Masih ada yang harus kulakukan, pikirku.
*
[Lokasi syuting, 25 Juli 2009 : 08.25 WIB]
“Ingat ya, kamu harus berperan sewajarnya saja, jangan terpengaruh permasalahan kalian, yang berada di hadapanmu nanti bukanlah Dhani, tapi peran yang diperankannya, begitu pula dirimu, paham ya?”
“Tenang saja, Ris, Aku bisa menguasai diriku, kok.”
“Oke, bagus, sekarang cepat bersiap. Tampaknya sutradara sudah mulai mencarimu.”
Kuperhatikan gadis itu mulai memasuki setting, tak lama aba-aba ‘action’, kamera mulai menangkap frame demi frame adegan mereka. Adegan pertengkaran antara kedua pemeran utama, Sabrina dengan Dhani. Terlihat sangat hidup sekali peran mereka. rasanya aku seolah melihat pertengkaran nyata yang dibalut peran. Emosi gadis itu mulai memuncak, diraihnya pistol di laci terdekatnya. Di arahkan tepat ke dada Dhani. Semua kru melihat dalam tatapan mereka masing-masing, menunggu. Hingga akhirnya suara letusan terdengar dan Dhani pun roboh dengan darah menyembur dari tubuhnya, pekat.
*
[Ruang properti, 24 Juli 2009 : 22.35 WIB]
Kubuka rak besi yang berada tepat di hadapanku. Tak terkunci seperti biasa. Ah, ketemu benda yang kumaksud, kukeluarkan. Kini di genggamanku terdapat sebilah pistol. Kukeluarkan magazine-nya hanya terdapat 1 butir peluru di dalamnya, kukeluarkan juga, mhh, baru kali ini aku memegang peluru tajam. Setelah puas, kumasukkan kembali ke dalam magazine dan pistol tadi. Kuletakkan kembali ke tempat semula. Semoga takkan ada yang tahu, pikirku.
*
[Lokasi Syuting dekat Ruang Properti, 24 Juli 2009 : 22.05 WIB]
“Sudah kau bawa barang pesananku?” tanya seorang gadis yang suaranya sangat kukenal.
“Sudah, Nona. Ini yang Nona minta, lengkap dengan pelurunya. Hanya satu butir saja, gunakan sebaik mungkin,” jawab lelaki yang menjadi lawan bicaranya.
“Bagus, ini bayaranmu! Setelah itu pergilah menghilang. Tak perlu lagi kau teribat dalam urusanku!”
“Tenang saya pun tak mau mendapatkan masalah. Sebelumnya biar saya jelaskan dulu pemakaiannya. Ini adalah pengamannya, pastikan kalau tidak digunakan selalu terkunci. Tentu Nona tak mau orang lain tak sengaja meletuskannya. Selanjutnya tinggal Nona arahkan saja ke target yang mau Nona habisi, tentunya pengamannya Nona pastikan tidak terkunci lagi,” Jelas lelaki itu.
“Oke, aku sudah paham. Sekarang lekaslah kau pergi, sebelum ada orang lain yang melihatmu.”
Lelaki itu pergi meninggalkan gadis itu. Sementara gadis itu pun beranjak menuju Ruang penyimpanan properti yang biasa digunakan dalam syuting. Perlahan kuikuti ia. Kulihat ia memasukkan pistol itu ke dalam rak besi, dan setelah selesai, gadis itu pergi meninggalkan ruangan itu. kulihat langkahnya kemudian menghilang, aku harus berbuat sesuatu, takkan kubiarkan ia melakukan tindakan bodoh itu, terlebih lagi menanggung resiko perbuatan bodohnya. Aku harus melakukan sesuatu.
*
[Lembaga Permasyarakatan Cipinang, 13 Januari 2011 : 10.15 WIB]
Kubaca surat yang baru saja kuterima, di dalamnya terdapat beberapa lembar surat dan foto. Ada bahasa kerinduan di setiap huruf dan gambar-gambar di foto itu. Kau cantik sekali, Sabrina. Senyummu masih tak berubah, Indah. Aku suka setiap detil wajah dan tubuhmu dibalik mantel tebal itu, kau katakan bahwa saat itu sedang musim dingin, dan kau sempatkan mengambil foto-foto itu dibalik senggang waktu jadwal syutingmu. Kau berhasil wujudkan impian kita, kau berhasil, Sabrina. Kau berhasil.
*
Salam
.
NB : Semoga membayar hutangku pada Sabrina Shellby yang menjanjikan karirnya sebagai artis ‘go international’. :D
.
Kisah Sabrina Lainnya:
.
Teman Khayalan : Sabrina dan Shellby
Pistol : Satu Peluru Untuk Suamiki, Satu Peluru Untukku