Kakak saya, yang saya ceritakan di situ tadi, perlu waktu dan dana yang cukup untuk bisa berdandan ala pagar ayu di acara pernikahan. Itupun waktu difoto dia harus mempertahankan riasan sanggul dan pakaiannya agar tidak jatuh terbang ditiup angin semilir.
Sekarang saya menjadi salah satu staf pengajar sebuah sekolah swasta. Di sini pun saya tidak pernah mendapat pengalaman merayakan Hari Kartini ketika warga sekolah mengenakan pakaian tradisional. Di jenjang lain memang diadakan, tetapi tidak untuk jenjang kami (SMA). Kami jelas menghormati Ibu Kartini, segala perjuangannya, dan tata nilai yang dibawanya. Bahkan kami mewarisi dan terus memperjuangkan semua itu. Tapi tidak untuk sekedar menunjukkan nasionalisme dengan berpakaian tradisional semata. Meskipun tonggak sejarah perjuangan pemikiran Kartini penting untuk lebih dari sekedar dikenang. Apalagi gelora emansipasi yang disuarakannya terutama lewat tulisan.
Saya pribadi, meski nir pengalaman merayakan Hari Kartini, meyakini bahwa emansipasi itu 'jos gandhos'! Kata bermakna dalam, egaliter, dan inklusif. Emansipasi membuka peluang semakin banyak orang terlibat dan berbuat. Tanpa memandang jenis kelamin, status, riwayat hidup, dll. Emansipasi membuat (mungkin dalam hal ini) wanita bersemangat keluar dari kungkungan 'perbudakan' patriarkal yang menyatakan bahwa hanya laki-lakilah pantas berkiprah dan berjasa. Inilah makna kenangan akan sosok Kartini, bukan hanya karena kebaya.
Syukurlah, ada Kartini!