Manusia sebagai makhluk yang berpolitik tak bisa dinafikan, seperti yang diungkapkan oleh salah satu filsuf yunani, yakni Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk yang berpolitik. Merespon hal tersebut beragam perspektif yang muncul sebagai bentuk pemaknaan terhadap politik itu sendiri. Diantaranya politik dapat dirtikan sebagai keahlian memerintah dan menjalankan negara, jika menarik makna dari akar kata politik yakni polis ‘kota’, Ibnu khaldun dalam muqaddimah-nya menegaskan bahwa kota merupakan ciri kemajuan, yang mana setiap kedaulatan membutuhkan kota dan dituntut untuk menguasainya, karena kota dapat melindungi kedaulatan dan stabilitas masyarakat. Lebih jauh, politik dalam islam jika ditelisik dari bahasa arab yakni siyaasah yang mengandung pengertian mencakup pendidikan, pembaruan dan penyempurnaan. Secara eksplisit Ali Syariati menguraikan dunia politik yang lekat dengan pemerintahan mempunyai dua pandangan hidup dan tanggungjawab, yakni menjalankan kewajiban memimpin dan mendidik manusia mencapai bentuk yang lebih baik, yakni insan kamil. Di lain pihak, sebagian politikus mengartikan politik sebagai kekuasaan, dipersepsi tak lebih dari sebuah prestise kuasa sebagaimana teori kebutuhan yang lahir dari rumusan Abraham Maslow.