Pagi itu saya mendapatkan kiriman gambar di whatapp, sebuah gambar headline situs CNN yang memuat seorang Muslim sedang berceramah dan tertulis disana "
The Most Love and Hate Muslims", penasaran, saya
search di google ternyata dapatlah saya pada artikel aslinya yang berjudul "
Islamic sect has appealing message for U.S. politicians but has global enemies" yang dimuat oleh CNN pada tanggal 7 Juli, 2012. Sebuah artikel yang meliput tentang Khalifah rohaniah Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad yang memberikan pidato Islam di Capitol Hill, Amerika Serikat. Tetapi saya tidak akan membahas apa yang ada dalam liputan tersebut, melainkan akan membahas judul headline di CNN tersebut,
The Most Love and Hate Muslims. Yang menggelitik dari judul tersebut adalah realitas Ahmadiyah yang terjebak di dua dunia. Di satu sisi Ahmadiyah telah menjadi bulan-bulanan penentangan dan penganiayaan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dan disisi lain dari hal itu Ahmadiyah bukannya menjadi kelompok 'pendendam' yang membalas kekerasan dengan kekerasan serupa, atau minimal menjadikan mereka sebagai kelompok yang keras dan kaku - sebaliknya dari sekian banyak penentangan dan penganiayaan tersebut justru mereka bergerak menjadi kelompok "pembela Islam", yang menampilkan Islam damai dan berjuang mengkonter semua tuduhan-tuduhan terhadap Islam yang menyamakan Islam dengan kekerasan dan terorisme. Untuk itulah di negara-negara Islam mereka dibenci tetapi di negara-negara barat sana mereka dicintai. Satu keunikan dari Ahmadiyah adalah di negara-negara Islam mereka harus berhadapan dengan Islam intoleran dan ekstrem, mereka berjuang untuk menegaskan bahwa mereka adalah bagian dari Islam. Di Barat mereka harus berhadapan dengan Islamophobia, mereka berjuang untuk menegaskan bahwa esensi Islam adalah damai, perbuatan oknum Muslim tidak bisa disamakan dengan esensi ajaran Islam sebenarnya. Dan di sebagian besar negara-negara Afr ika mereka berhadapan dengan masyarakat tertinggal, dan mereka berjuang menawarkan Islam yang solutif, mereka tawarkan nilai-nilai kemanusiaan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Penentangan Terhadap Ahmadiyah Berbicara tentang Ahmadiyah kita akan dihadapkan kepada fatwa-fatwa yang berderet banyak, baik itu di negeri asalnya, Pakistan sampai di Indonesia. Di Pakistan selama beberapa dekade Ahmadiyah telah menghadapi berbagai penganiayaan di tangan ekstremisme dan kekuatan sayap kanan. 1 Mei 1949
Majelis Ahrar Islam telah terlibat dalam agitasi anti-ahmadi. Mereka menuntut Ahmadiyah dinyatakan sebagai minoritas non-muslim. Mereka mendesak pengikut Ahmadiyah supaya dicopot jabatannya di instansi-instansi publik. Begitu juga Jemaat Islami di bawah pemimpinnya Maulana Maududi yang berupaya menciptakan sistem teokrasi di Pakistan juga mendesak supaya Ahmadiyah dinyatakan non-Muslim, puncaknya terjadi demonstrasi kekerasan pada tahun 1953 di Punjab yang mengarahkan pada penetapan darurat militer di propinsi itu. Pada tanggal 6 September 1974 atas desakan kekuatan sayap kanan, Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto melalui Parlemen Pakistan melakukan amandemen konstitusi yaitu Pasal 260 (3) (a) dan (b) yang secara eksplisit menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Muslim. Setelah itu Ahmadiyah mendapatkan banyak penentangan dan penganiayaan. Situasi semakin memburuk di tahun 1984 di bawah Jendral Mohammad Zia-ul-Haq dengan
Ordonansi XX yang melemahkan kegiatan keagamaan minoritas khususnya Ahmadiyah. Berdasarkan
Ordonansi XX itu Ahmadiyah tidak bisa lagi menyatakan keimanan mereka sebagai Islam baik lisan maupun tertulis. Polisi Pakistan merusak terjemahan Al-Qur'an Ahmadiyah, melarang publikasi Ahmadiyah, melarang penggunaan istilah-istilah Islam apapun pada undangan pernikahan Ahmadi, doa-doa ketika pemakaman, dan membaca kalimah syahadat di nisan orang Ahmadiyah. Selain itu
Ordonansi XX ini melarang Ahmadiyah menyatakan keimanan mereka secara terbuka, menyebarkan iman mereka, membangun masjid atau mengumandangkan azan. Dengan diberlakukanya UU tindak pidana 1986, Parlemen mengamandemen Pasal C KUHP Pakistan dengan meningkatkan hukuman terhadap penghujatan dari denda sampai dengan penjara seumur hidup. Karena keyakinan Ahmadiyah terhadap Mirza Ghulam Ahmad dianggap menghujat karena dianggap mencemarkan Rasulullah saw, Zia-ul-Haq dan Pemerintah Pakistan melegalkan penganiayaan terhadap Ahmadiyah dengan pasal 295-c. Keberadaan Ahmadiyah dapat dianggap menghujat dan dihukum mati. Pada 28 Mei 2010, militan Islam garus keras menyerang dua masjid Ahmadiyah di Lahore, Pakistan dengan senapan, granat, dan bom bunuh diri dan menewaskan 94 orang dan melukai ratusan orang. Penentangan dan penganiayaan di Indonesia tidak kalah gencar. Pada tahun 1953, Ahmadiyah mendapatkan legalistas menjadi Organisasi keormasan di Indonesia dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Kementerian Kehakiman RI No. JA. 5/23/12 tertanggal 13-3-1953. Tetapi pada tahun 1980 MUI mengeluarkan keputusan no 05/kep/Munas/MUI/1980 tentang fatwa yang menetapkan Ahmadiyah sebagai "jemaah diluar Islam, sesat dan menyesatkan." Dalam hal penentangan Ahmadiyah di Indonesia Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010 saja ada 276 kali aksi kekerasan atas Ahmadiyah. Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen total kekerasan atas kaum minoritas di tahun itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah diganyang sebanyak 33 dan 50 kali. Sejak penyerangan terhadap pusat kegiatan Ahmadiyah di Parung, Bogor, pada 2005, gerakan anti-Ahmadiyah menjalar ke berbagai wilayah, di antaranya Lombok Timur, Manis Lor (Kuningan), Tasikmalaya, Parung, Garut, Ciaruteun, Sadasari, Cisalada, terakhir di Bekasi dan Cianjur (2013) Yang paling mencolok adalah pada tanggal 6 februari 2011 sebanyak 1500 orang menyerbu rumah Mubaligh Ahmadiyah, Suparman di Cikeusik, Pandeglang, Banten, tiga orang anggota Jemaah Ahmadiyah tewas. Ironisnya, solusi yang muncul sesudah peristiwa pembunuhan itu adalah pemerintah seakan membiarkan pemerintah daerah ramai-ramai menerbitkan surat keputusan anti-Ahmadiyah. Hal ini berkebalikan dengan semangat penegakan hak asasi manusia dan demokrasi. Tak kurang ada 12 surat keputusan anti-Ahmadiyah sejak penyerangan Cikeusik. Sumatera Selatan, Kampar (Riau), Pandeglang, Palu, Samarinda, Jawa Timur, Banjarmasin, Banten, Bogor, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Depok. Sebelumnya 2011 pelarangan juga telah terjadi, yakni Pekanbaru (2010), Sukabumi (2006), Cianjur (2005), Garut (2005), Kuningan (2002), dan Lombok Timur (1983). SK pelarangan itu mengacu SK No. 3 Tahun 2008 Tiga Menteri, dikeluarkan 9 Juni 2008, yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Isinya melarang kegiatan Ahmadiyah di depan umum yang dianggap menyimpang. Ancaman maksimal lima tahun penjara bagi pelanggar SK tersebut. Surat ini makin melegalkan tindakan anti-Ahmadiyah, yang sebelumnya ditopang fatwa MUI Juli 2005, menilai Ahmadiyah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.
Dakwah Ahmadiyah Keluar dari berbagai penentangan-penentangan Ahmadiyah diatas, seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa bukannya mereka menjadi golongan yang balas dendam akibat penentangan-penentangan yang mereka terima, melainkan sebaliknya justru mereka tampil sebagai pembawa Islam damai di dunia khususnya di negara-negara Eropa dimana
Islamophobia sangat tinggi. Moto Ahmadiyah -
Love For All Hatred for None - adalah dasar dakwah mereka. Moto yang diciptakan oleh Khalifah Ahmadiyah yang ketiga yang diserap berdasarkan esensi Islam damai itu sendiri, Mirza Nasir Ahmad, pada kesempatan pembukaan masjid Bashrat, Pedro Abad, Spanyol. Motto yang keluar dari seorang sosok yang pada saat itu menjadi orang yang paling pesakitan di zaman Zulfikar Ali Bhutto yang mengeluarkan Undang-undang pelarangan Ahmadiyah dan implikasi-implikasi penganiayaan yang parah setelahnya. Dengan semangat
Love for All Hatred for None inilah mereka bisa diterima di Gedung
Capitol Hill (Gedung Kongres Amerika), dengan moto inilah mereka bisa diterima di Parlemen Eropa, Brussel, mereka juga diterima di Canada dan Jerman dan negara-negara Eropa dan sebagian besar Afrika. Setiap kali peresmian masjid Ahmadiyah di negara-negara Eropa selalu dihadiri oleh pejabat-pejabat setempat, para anggota parlemen, tokoh-tokoh lintas agama dan para cendikawan. Apa yang membuat mereka begitu respect terhadap Ahmadiyah, sedangkan mereka sangat kuat menerapkan pemisahan antara urusan negara dengan agama? Tidak lain adalah karena Ahmadiyah menampilkan Islam yang akomodatif dan damai. Islam yang jauh dari kekerasan dan ekstremisme.
"Sudah saatnya, kami, Jamaah Ahmadiyah, memberikan gambaran nyata dan benar tentang Islam. Saya akan selalu berbicara tentang perdamaian. Perdamaian itu bukan dari pendapat pribadi saya atau berupa ajaran baru, melainkan perdamaian sejati yang saya kumpulkan dan dapatkan dari Al-Qur'an".
KEMBALI KE ARTIKEL