Di tengah gelak tawa, tiba-tiba datang seorang wanita yang wajahnya baru pertama kali itu terlihat di ruang pers. Kontan, semua wartawan terdiam.
Semua wartawan berpikir wanita ini ingin mengadukan sesuatu. Soalnya, sebelum-sebelumnya juga begitu. Tiap ada warga yang datang, pasti merupakan korban kekerasan rumah tangga, seks, atau kasus kriminal lainnya. Dan masing-masing ingin dibantu melalui publikasi.
Itu pertanda bagus. Menjadi salah satu gejala bahwa mereka sangat percaya kepada media pers. Media mereka jadikan saluran untuk menyampaikan aspirasi atas ketidakadilan yang mereka terima. Dengan demikian, khalayak mengetahuinya untuk kemudian bisa mengambil pelajaran dan pengambil kebijakan pun bisa mencatat untuk selanjutnya jadi bahan pembuat kebijakan. Kira-kira begitulah.
Tapi, ternyata wanita yang baru datang tadi bukan ingin mengadu. “Aku wartawan,” katanya untuk memperkenalkan diri.
“Ooooo, kirain siapa,” kata si Sengkluh, seorang wartawan dari media nasional. “Masuk aja, mbak.”
Mendapati keramahan para wartawan, si mbak itu pun masuk. Lalu, duduk dekat pintu. Kelihatan dia baru pertama kali datang ke ruang pers, soalnya celingak-celinguk terus. Seakan-akan tidak enak hati di antara wartawan-wartawan pria.
“Dari mana, mbak,” kata si Sengkluh.
“Dari rumah, dik,” kata si mbak.
Mendengar jawaban itu, sebagian wartawan tertawa. Mereka menertawakan si Sengkluh. Sepertinya mereka puas sekali melihat si Sengkluh dikerjai orang.
“Maksud saya, dari media mana, mbaknya, gituuuuhh,” kata Sengkluh.
“Dari koran XXX,” jawab si mbak sambil mengeluarkan koran dari tas. “Ada acara kan, di sini dik, ya.”
"Betul," jawab Sengkluh.
Seketika itu, si Sengkluh agak kurang yakin dengan pengakuan si mbak. Pasalnya, wartawan koran XXX sudah ada di daerah ini, namanya Parto, kebetulan dia lagi makan di warung. Tidak biasanya, ada dua wartawan koran dalam satu liputan di daerah itu.
“Mbak, dari koran apa tadi?” kata Sengkluh.
“Koran XXX, dik,” jawab si mbak.
“Kenal si Parto enggak,” kata Sengkluh penasaran.
“Hmmm, enggak, dik,” jawab si mbak.
Mendengar jawaban itu, Sengkluh makin curiga. Agaknya, teman-teman lain juga demikian. Lalu, Sengkluh memberi kode ke yang lainnya agar jangan menyela dulu. Kecurigaan semacam itu wajar karena di daerah ini kerap kali terjadi kasus wartawan gadungan. Mengaku-aku wartawan dari media ini, itu, untuk mencari amplop dari acara-acara tertentu.
Si Sengkluh ingin menyelidiki lebih lanjut.
“Udah berapa lama, mbaknya kerja di Koran XXX,” tanya Sengkluh.
“Udah bertahun-tahunlah, dik. Aku termasuk seniorlah di sana,” jawab si mbak.
“Pemred (Pemimpin Redaksi) Koran XXX yang sekarang, siapa mbak?” kata Sengkluh untuk mengecek pengetahuan mbak itu.
“Hmmmm… Si XXXXX,” jawab dia.
Wah, beneran ini mbaknya. Dia hanya mengaku-aku wartawan, pikir Sengkluh. Menyebut nama pemimpin redaksi saja salah. Kok, mengaku sudah bertahun-tahun bekerja di Koran XXX.
“Tuh, si Parto, mbak. Kenal mukanya, kan?” kata Sengkluh. Kebetulan sekali, saat itu Parto nongol di pintu gerbang.
Si mbak kaget. Lalu, dia minta pamit dengan terburu-buru. Katanya, dia sedang ditunggu teman. Tapi sebelum pergi, dia bilang aslinya tugasnya bukan wartawan, tapi bagian percetakan.
Para wartawan sebenarnya tahu kalau si mbak ini bohong sejak mengaku tidak kenal Parto yang sudah senior. Tetapi, mereka tidak mengambil tindakan, misalnya menangkapnya, lalu melaporkan ke polisi, seperti banyak kasus di daerah lain.
Waktu itu, Sengkluh dan teman-temannya menaruh rasa kasihan dengan si mbak. Apa yang dia lakukan itu, mungkin satu-satunya cara yang terpikirkan untuk bertahan hidup. Mereka juga kasihan, karena suatu hari nanti, bisa jadi si mbak akan benar-benar kena getahnya bila tetap nekad memakai cara seperti itu untuk mencari nafkah. (Cerita-cerita seputar wartawan nakal klik di sini)