Setelah memberi tanda hormat, petugas kemudian meminta si Boy untuk menunjukkan surat-surat sepeda motor. Si Boy agak khawatir, jangan-jangan kali ini dia tidak lolos dan akan benar-benar ditilang, sebab malam itu agaknya operasi lalu lintas gabungan.
Tapi, dia berusaha menenangkan diri. Dia pelan-pelan mengeluarkan STNK dan menyerahkannya kepada anggota. Dalam hati, si Boy mendoakan petugas itu supaya lupa menanyakan SIM kepadanya.
Ugh, agaknya, doanya tidak dikabulkan Tuhan. “Boleh saya lihat SIM-nya, pak,” kata anggota.
Dengan perasaan cemas dan agak malu, si Boy pun mengeluarkan SIM. Sedetik kemudian, mata petugas itu terbelakak. “Ini SIM jaman kapan, pak.”
Deskripsi SIM si Boy adalah begini: SIMnya tinggal sebagian, tepatnya sisa-sisa, karena sebagian sudah mrotoli (rontok). Huruf, nomor, dan fotonya tidak jelas alias agak berjamur. Masa berlakunya sudah habis tujuh tahun yang lalu.
“Anda gimana, sih, punya SIM seperti ini. Ini diperbaruhi pun sudah tidak bisa. Anda mesti bikin lagi,” kata anggota.
“Mohon maaf, bang. Siap salah,” kata si Boy.
Beberapa saat kemudian, anggota polantas mengambil buku tilang. Dia bermaksud menilang si Boy. Tapi, buru-buru si Boy bilang, “Siap salah bang, mohon dimaklumi. Kan kita mitra, bang. Saya wartawan bang,” kata si Boy.
Sebelum mengurungkan niat menilang, anggota polantas minta si Boy menunjukkan kartu pers. “Anda ini, gimana, mestinya wartawan itu disiplin dong. Segera bikin SIM baru ya.”
“Siap bang, saya akan segera bikin. Janji, bang,” jawab si Boy.
“Janji ya, janji kepada Tuhan. Tuhan yang jadi saksi,” kata anggota yang agaknya tidak terlalu percaya dengan janji wartawan, apalagi si Boy. Mungkin selama ini anggota ini sudah terlalu sering merasa dibohongi wartawan yang tertangkap razia.
“Ya sudah, silahkan jalan.”