“Lalu, gimana klo seandainya tak ada yang menghargai kerja kita?” Seorang pekerja memang akan mempunyai keinginan akan balasan terhadap pekerjaannya, setiap peluh yang menetes dan hentakan nafas yang mengembang menjadi bukti akan kuatnya usaha sang pekerja. Pagi hingga sore kemudian berlanjut sampai malam, bagi seorang pekerja sejati, hidup ini harus penuh karya. Bukan kemudian bermalas-malasan atas waktu kosong yang tersedia.
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah [9]: 105)”
Pada intinya setiap kerja yang kita lakukan kembal pada diri sendiri, seperti kita berteriak di antara tebing sebuah jurang, ia akan memantulkan kembali teriakan kita, bahkan tak hanya satu kali, bisa berulang-ulang dengan frekuensi yang lebih tinggi. Setiap kerja yang kita lakukan pasti akan ada imbalannya. Rasa kecewa, marah, kesal mungkin terlintas daam benak jiwa sang pekerja ika tak bisa mendapat imbalan secepatnya.
Tapi bukan itu yang seharusnya di harapkan. Saat ini kita bekerja, bukan mengiba. Saat ini kita berkarya, bukan meminta. Seorang pekerja sejati tak berharap senandung pujian atas pretasi yang membanggakan. Ia juga tak hiraukan cacian yang kadang menyakitkan.