Memang banyak penulis dan pembicara membahas tentangnya dengan segala sebab, akibat, dampak, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak banyak yang bersedia mempertanggungjawabkan istilah ini. Hal tersebut merupakan titik kritis dari banyak pembahasan tentang jurnal predator yang mendesak untuk dijawab. Titik kritis dimaksud tidak dapat dikecualikan terdapat pula dalam artikel baru-baru ini yang bertajuk "Predatory publishing in Scopus: evidence on cross-country differences" (2021) , yang menempatkan Indonesia dalam urutan kedua negara di dunia yang menghasilkan artikel dalam jurnal predator.
Tanpa pertanggungjawaban yang komprehensif, tulisan-tulisan yang menggunakan istilah "jurnal predator", seperti artikel di atas, juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, ada urgensi untuk menjernihkan istilah jurnal predator setepat-tepatnya, sebelum membahas hal lain-lain yang berhubungan dengannya. Inilah tujuan artikel ini.
Jeffrey Beall (2015) mengemukakan kriteria penerbit akses-terbuka predator (predatory open access publishers), baik dari aspek penyunting dan staf, manajemen bisnis, integritas, standar, dan lain-lain. Silakan membacanya di sini. Kriteria jurnal predator yang lain terdapat pada laman ThinkCheckSubmit. Apabila kita lebih banyak menjawab "Tidak" pada daftar Periksa (Check), maka, menurut panduan tersebut, lebih besar kemungkinan bahwa jurnal yang menjadi objek periksa merupakan jurnal predator. Lanskap yang cukup luas mengenai sejarah dan perdebatan seputar kriteria jurnal predator dapat dibaca melalui laman Wikipedia.