Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Kritik Filsafat Ilmu Lakatosian terhadap Psikologi Evolusioner

15 Mei 2010   07:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:12 2623 0

Apakah Psikologi Evolusioner Itu?

Psikologi evolusioner merupakan aplikasi prinsip-prinsip dan pengetahuan biologi evolusioner terhadap teori dan riset psikologis. Asumsi sentralnya adalah bahwa otak manusia terdiri atas sejumlah besar mekanisme terspesialisasi yang dibentuk oleh seleksi alam sepanjang periode-periode waktu yang panjang guna memecahkan masalah-masalah pemrosesan informasi yang berulang yang dihadapi oleh nenek moyang manusia. Permasalahan ini mencakup hal-hal seperti: memilih makanan yang hendak dimakan, menegosiasikan hierarki sosial, membagi-bagi investasi di antara keturunan, dan menyeleksi pasangan. Lapangan psikologi evolusioner berfokus pada upaya menjelaskan secara lengkap sifat dari permasalahan pemrosesan informasi spesifik yang dihadapi sepanjang sejarah evolusi manusia, dan pengembangan serta pengujian model-model adaptasi psikologis (mekanisme-mekanisme dan strategi-strategi perilaku) yang telah berevolusi sebagai solusi terhadap permasalahan ini.

Pendekatan psikologi evolusioner banyak dikritik karena penjelasan-penjelasan yang dihasilkannya nampaknya tidak dapat diuji serta bersifat post hoc (sesudah kejadian) untuk setiap fenomena psikologis. Kritik ini berpandangan bahwa penjelasan psikologi evolusioner hanyalah merupakan “cerita-cerita” yang bersifat fleksibel dan tak terbatas yang dapat dikonstruksi untuk memperoleh kesesuaian dengan observasi empiris apapun. Penjelasan-penjelasan ini tidak dapat dikonfirmasi maupun didiskonfirmasi oleh data. Sebabnya, penolakan terhadap satu cerita adaptif biasanya menimbulkan penggantinya oleh cerita lain; ketimbang mencurigai bahwa barangkali diperlukan jenis penjelasan yang lain. Kedua, kriteria penerimaan sebuah cerita begitu leluasa, sehingga cerita-cerita tersebut dapat melalui kriteria itu tanpa konfirmasi yang tepat. Seringkali, ahli psikologi evolusioner menggunakan konsistensi data sebagai kriteria satu-satunya dan menganggap pekerjaan mereka selesai ketika mereka menemukan sebuah cerita yang masuk akal.

Dengan demikian, ada pandangan bahwa penjelasan evolusioner tidak dapat difalsifikasi. Pandangan ini berdasarkan dua klaim: (1) bahwa asumsi-asumsi dasar dari teori evolusioner modern dianggap tidak dapat diuji, (2) bahwa model-model dan hipotesis-hipotesis evolusioner spesifik yang diturunkan dari asumsi-asumsi dasar ini juga dianggap tidak dapat diuji. Klaim kedua dijabarkan sebagai salah satu atau seluruh dari pernyataan berikut: (2a) model-model dan hipotesis evolusioner spesifik dianggap (secara prinsip) tidak dapat ditolak dengan basis bukti; atau (2b) bahkan apabila model-model dan hipotesis-hipotesis evolusioner dapat secara prinsip ditolak, standar bukti yang digunakan oleh ahli psikologi evolusioner untuk mengevaluasi model-model dan hipotesis-hipotesis tersebut tidak mengikuti prinsip-prinsip yang sudah baku diterima dalam filsafat ilmu.

Fokus tulisan ini adalah pada pernyataan (1) dan (2b), yang memfokuskan diri pada pendapat bahwa ahli psikologi evolusioner tidak menggunakan kriteria yang dapat dipertahankan (defensible criteria) secara ilmiah guna mengevaluasi model-model teoretis dalam hubungannya dengan performa dari hipotesis-hipotesis dan prediksi-prediksi derivatnya. Pusat pembahasan tulisan ini berkisar pada topik-topik model-model evolusioner tentang kekerasan keluarga, kecemburuan seksual, dan MPI (male parental investment).

Bagian pertama tulisan ini mengevaluasi apakah prosedur-prosedur untuk mengembangkan dan menguji model-model evolusioner itu konsisten dengan filsafat ilmu. Perhatian khusus diberikan kepada penghasilan model-model alternatif atau kontestasi model dalam kerangka kerja evolusioner tunggal (yakni, ketika model-model evolusioner yang berbeda menghasilkan prediksi-prediksi yang bertentangan). Tulisan ini berargumen bahwa kontestasi ini merupakan fungsi dari berbagai tingkat penjelasan ilmiah yang digunakan oleh ahli psikologi evolusioner. Sistem penjelasan ini mengikuti filsafat ilmu dari Lakatos. Model Lakatosian mampu mengakomodasi pengembangan dan pengujian penjelasan-penjelasan (evolusioner) alternatif dalam kerangka kerja metateori (evolusioner) tunggal yang bersifat menyatukan (unifying).

Bagian selanjutnya tulisan ini memeriksa bagaimana asumsi-asumsi dasar dari teori evolusioner modern telah dievaluasi. Tulisan ini berargumen bahwa kritik bahwa asumsi-asumsi inti dari teori evolusioner modern tidak dapat diuji tidak dapat dibenarkan. Teori evolusioner modern memenuhi kriteria Lakatosian tentang progresivitas berdasarkan kemampuannya untuk “mencerna” (secara sukses menjelaskan) anomali-anomali yang nampak serta menghasilkan prediksi-prediksi dan penjelasan-penjelasan baru. Psikologi evolusioner memiliki tanda-tanda dari program riset progresif saat ini yang mampu memberikan pengetahuan baru mengenai cara kerja mind.

Filsafat Ilmu Lakatosian dalam Psikologi

Guna menyajikan seperangkat kriteria untuk menarik garis batas antara sains dan ilmu semu, filsuf Karl Popper memperkenalkan strategi falsifikasi. Menurut Popper, penjelasan-penjelasan ilmiah terdiri atas pernyataan-pernyataan yang secara empiris dapat diuji guna menentukan apakah pernyataan-pernyataan tersebut diverifikasi (didukung oleh data) atau difalsifikasi (inkonsisten dengan data). Popper menerapkan metode falsifikasi ini pada pengujian teori secara deduktif:

Kita mencari sebuah keputusan menyangkut pernyataan-pernyataan derivat ini dengan membandingkan pernyataan-pernyataan tersebut dengan hasil-hasil aplikasi praktis dan eksperimen. Apabila keputusan ini positif, yakni apabila kesimpulan-kesimpulan singular yang dihasilkan dapat diterima, atau diverifikasikan, maka teori tersebut telah, untuk sementara waktu ini, melewati pengujian ini: kita tidak memiliki alasan untuk membuang pernyataan tersebut. Namun apabila keputusannya negatif, atau dengan perkataan lain bila kesimpulan-kesimpulan telah difalsifikasi, maka falsifikasi ini juga memfalsifikasi teori yang menjadi sumber dari mana pernyataan-pernyataan tersebut dideduksi secara logis.”

Alan Newell (1990) seorang ilmuwan kognitif menyatakan bahwa dari sudut pandang Popperian, psikologi dipandang sebagai ilmu yang membedakan (discriminating science) yang berjanji untuk menyampaikan kebenaran tentang mind dengan mengungkapkan kesalahan-kesalahan dan membiarkan kita menyatukan kepingan-kepingan penjelasan “yang belum terfalsifikasi” guna mencapai insight yang besar. Di mata Newell, pengandalan psikologi secara ketat pada filsafat ilmu Popperian menghasilkan terlalu banyak temuan-temuan empiris yang menyangkut dukungan (support) atau sangkalan (refutation) tentang oposisi-oposisi biner, misalnya natur lawan nurtur, sentral lawan periferal, serial lawan paralel. Strategi ini muncul dari permainan 20 pertanyaan dalam mana struktur esensial dari mind akan terungkap dengan (a) mengakumulasikan pengetahuan-pengetahuan negatif tentang apa yang mind tidak kerjakan, (b) menyimpulkan pengetahuan positif tentang bagaimana mind dioperasikan dengan mempertimbangkan penjelasan-penjelasan yang tersisa tak tersangkalkan. Newell menyatakan bahwa pendekatan diskriminasi terhadap penelitian, seperti dari Popper, hanya menciptakan pengetahuan negatif mengenai mind, dan karenanya, dengan sendirinya, tidak dapat menjadi sebuah strategi yang efisien untuk meningkatkan (advancing) pengetahuan positif mengenai betapa kompleks sesungguhnya proses-proses mental beroperasi.

Newell menganjurkan psikologi mengganti “pendekatan yang mendiskriminasi” (discriminating approach) dari perspektif Popperian yang ketat dengan “pendekatan aproksimasi/pendekatan yang mendekati” (approximating approach) yang diajukan oleh Imre Lakatos. Meminjam filsafat ilmu dari Lakatos, Newell berargumen bahwa tujuan ilmu psikologi lebih akurat dideskripsikan sebagai proses meningkatkan basis pengetahuan kita dengan cara mengkonstruksi secara lebih dan lebih baik lagi aproksimasi (pendekatan-pendekatan) tentang fenomena berdasarkan teori saat ini. Newell merujuk pada filsafat ilmu dari Lakatos sebagai approximating approach karena pekerjaan ilmuwan dari hari ke hari dilihat sebagai upaya-upaya kompetitif untuk menciptakan pendekatan terbaik (best approximation) tentang fenomena, berdasarkan asumsi-asumsi metateoretis tertentu yang telah disetujui. Seorang ilmuwan yang menggunakan pendekatan aproksimasi memulai dengan serangkaian prinsip-prinsip pertama di atas mana setiap orang dalam lapangan tersebut dapat bersetuju (misalnya empat prinsip Newton dalam fisika) dan kemudian menstrukturkan kemajuan ilmiah (scientific progress) di sekitar pekerjaan menggunakan prinsip-prinsip ini untuk mengkonstruksi model-model teoretis—aproksimasi—tentang fenomena partikular. Newell menulis sebagai berikut:

Teori-teori merupakan aproksimasi. Tentu saja, kita semua mengetahui bahwa secara teknis teori-teori tersebut merupakan aproksimasi; dunia ini tidak dapat diketahui dengan kepastian absolut. Namun maksud saya lebih dari sekadar itu. Teori-teori merupakan aproksimasi/pendekatan yang disengaja (deliberately approximate)… Teori-teori diperhalus dan dirumuskan ulang, dikoreksi dan diperluas. Dengan demikian, kita tidak hidup dalam dunia Popper. Kita hidup dalam dunia Lakatos. Bekerja dengan teori tidaklah seperti bermain skeet shooting—di mana teori-teori diempaskan ke atas dan DORRR…….., ditembak jatuh dengan peluru falsifikasi dan itulah akhir dari cerita. Teori-teori lebih merupakan mahasiswa-mahasiswa—sekali mengakuinya sebagai mahasiswa, Anda berupaya keras untuk menghindari untuk menggagalkan/menjatuhkan mereka… Teori-teori merupakan hal-hal untuk dipelihara (nurtured), diubah, dan dibangun. Orang senang mengubah teori-teori untuk membuat teori-teori itu lebih berguna.”

Meskipun argumen Newell bernada penolakan yang kuat terhadap perspektif Popper, argumen tersebut dapat dipandang sebagai pengakuan akan perlunya peringatan kepada Popper: Bahwa meskipun metode falsifikasi berguna untuk mengevaluasi status ilmiah dari pernyataan-pernyataan tertentu, metode ini merupakan strategi yang tidak tepat untuk secara langsung menilai teori-teori yang menghasilkan pernyataan-pernyataan tersebut. Teori-teori dievaluasi secara relatif satu sama lain. Dari perspektif Lakatosian, sebuah teori dapat dipertahankan sebagai penjelasan terbaik yang ada tentang domain tertentu, bahkan bilamana teori tersebut telah mengalami kegagalan prediktif (predictive failures). Newell meminta psikologi untuk mengakui kegunaan dari filsafat ilmu Lakatosian sebagai tambahan (addendum) terhadap Popper, karena ia melihat model aproksimasi dari Lakatos lebih cocok dengan tugas mengkonstruksi sebuah metateori yang menyatukan (unifying metatheory) bagi psikologi.

Memahami logika dasar dari filsafat ilmu Lakatosian merupakan hal yang penting. Terdapat dua aspek utama dari filsafat ilmu Lakatos yang memberikan basis untuk mengkonstruksi dan mengevaluasi metateori dalam domain ilmiah yang sedang diselidiki. Aspek pertama adalah bahwa program-program penelitian metateoretis terpusat pada sebuah “inti keras” (hard core) dari asumsi-asumsi dasar yang dikelilingi oleh sebuah “sabuk pelindung” (protective belt) dari hipotesis-hipotesis bantu/yang menyokong (auxiliary hypotheses). Yang kedua adalah bahwa metateori-metateori yang berkompetisi dinilai sebagai hal progresif atau degeneratif berdasar pada kinerja pada sabuk pelindung mereka, ketimbang sebagai hal yang keliru atau belum difalsifikasi (Popperian).

Peran Metateori dalam Sains

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun