Organisasi kesehatan sedunia, WHO, mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai keadaan sejahtera dimana individu menyadari potensinya, mampu menanggulangi tekanan hidup normal, bekerja secara produktif, serta mampu memberikan sumbangsih bagi komunitasnya. Kesehatan jiwa memiliki dimensi fisik, mental, sosial, dan bukan semata-mata tidak dideritanya penyakit.
Banyak wilayah kesehatan jiwa sesungguhnya bukan wilayah netral dan objektif, melainkan sebuah abstraksi yang sarat akan pertarungan makna. Definisi sosial dan politik akan menentukan, misalnya, apakah homoseksualitas merupakan gangguan jiwa, dan bagaimana memperlakukan kaumnya. Dalam pengalaman gangguan jiwa pun, konteks sosial-budaya berperan. Konteks dapat mempengaruhi sebagian orang yang terganggu jiwanya merasakan dunia yang kian menyempit. Gangguan yang mereka alami menjadi batas-batas bahkan mengerutkan diri mereka. Konteks sosial menjadi sumber distres. Namun bagi sebagian yang lain, ketika berinteraksi dengan konteks, gangguan menjadi ajang dimulainya penemuan-ulang diri dan penyulut lilin yang menerangi dunia sesama yang kelam.