Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Renungan Hari Kartini di H+2

23 April 2013   12:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:45 165 0
Hari Kartini belum lama berlalu. Seperti biasa, setiap hari Kartini tiba, liputan di berbagai media mengupas kembali cita-cita Kartini mengenai persamaan hak di antara laki-laki dan perempuan. Sementara itu, sejumlah sekolah bukan TK, instansi pemerintah dan swasta di Pulau Jawa merayakan hari kelahiran Kartini dengan memakai kebaya dan sanggul a la Kartini. Saya sering bertanya dalam hati, apakah ini manifestasi yang tepat dari realisasi cita-cita Kartini bagi kaumnya? Saya tau pertanyaan ini klasik dan sering berakhir dengan debat tak berkesudahan. Barangkali memang pertanyaan tadi tidak lebih krusial dibanding pertanyaan ini: apakah perayaan hari Kartini hanya milik kaum wanita di Jawa karena kebaya hanya dikenal dalam budaya Jawa? Tapi, tidak, tidak, bukan ini yang sebenarnya ingin saya bahas sekarang.

Yang lebih urgen untuk dibahas adalah, di balik gempita perayaan Kartini, masih banyak perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan rumah tangga atau, sebaliknya, menjadi pelaku kekerasan rumah tangga. Masih banyak tenaga kerja perempuan Indonesia di luar negeri yang mengalami kekerasan dari majikannya. Masih banyak juga perempuan yang menjadi korban pelecehan dan, pada ekstrim yang lainnya, penarik pelecehan dari kaum laki-laki di lingkungan kerja, lingkungan rumah, hingga di lingkungan pendidikan. Masih banyak perempuan di Indonesia yang belum sadar bahwa dirinya adalah panglima di keluarganya untuk konsumsi barang (misal: makanan, pakaian, dan kosmetika) dan jasa (misal: tontonan) yang ia gunakan atau yang ia izinkan untuk digunakan anggota keluarganya. Dan masih ada saja perempuan di Indonesia yang berdiri di atas dukungan si mbok, si ayuk, atau si bibi di rumah tanpa niatan dan dorongan untuk mengembangkan potensi mereka di luar urusan pekerjaan rumah tangga.

Saya pikir, jika kita memang ingin merealisasikan cita-cita Kartini, alih-alih berteriak-teriak tentang persamaan gender, mungkin akan lebih baik jika kita berpikir bagaimana menjadi perempuan yang kritis terhadap diri sendiri. Kartini sendiri tidak pernah menciptakan frasa persamaan gender yang kita kenal sekarang. Dalam hemat pemahaman saya yang serba terbatas (karenanya, maaf jika saya salah), Kartini lebih menghendaki keadilan bagi laki-laki dan perempuan, itulah sebabnya ia membenci poligami karena nuansa ketidakadilan yang dikandungnya dan itulah sebabnya pula mengapa ia membuka kelas pembelajaran bagi saudara-saudara perempuannya.

Bahkan sekiranya kita ingin menarik masalah ini dengan sandaran teori sekali pun, literatur Feminisme pasca 1980an di Timur maupun di Barat telah mengakui bahwa penindasan sesungguhnya tidak hanya terjadi di antara laki-laki terhadap perempuan, melainkan juga terjadi di antara perempuan dengan perempuan atau perempuan terhadap laki-laki. Modus penindasan berlangsung di atas matra ekonomi politik, konstruksi keindahan atau kecantikan wanita di media, dan sosial budaya. Sehingga bila kita menarik benang merah di antara cita-cita Kartini dan perkembangan Feminisme terkini, isu yang paling relevan sebenarnya bukan lagi pada persamaan gender, melainkan pada keadilan yang bisa diciptakan di antara gender yang berbeda maupun di dalam gender yang sama. Pada akhirnya, tulisan ini berakhir dengan ajakan untuk berefleksi apakah kita sudah bersikap adil terhadap pasangan kita, anak-anak kita, orangtua kita, rekan kerja kita, dan semua orang lainnya yang menjadikan diri kita seperti adanya sekarang. Kalau saya, belum, tapi saya baru saja temukan garis start saya ^_^ Bismillah ...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun