Penipuan yang dimaksud adalah janji sang Bupati kepada Asep untuk mengangkatnya sebagai Wakil Bupati sebagai pengganti Dicky Chandra yang kecewa terhadap kelakuan sang Bupati. Setelah mengeluarkan dana Rp.500jt yang diberikan kepada sang Bupati, Asep tak kunjung diangkat menjadi Wabup, malah akhirnya Agus Hamdani yang diangkat secara resmi sebagai Wabup Garut.
Usut punya usut ternyata batalnya pengangkatan Asep disebabkan ketidaksanggupannya menyerahkan mahar sebesar Rp.1.4M kepada sang Bupati, sehingga akhirnya Asep mundur dari pencalonan dan meminta balik uang yang telah diserahkan sebesar Rp.500jt tsb.
Janji tinggal janji, uang yang dijanjikan kembali tersebut tak kunjung didapat hingga akhirnya momentum pemberitaan nikah 4 hari sang Bupati muncul. Hal ini memicu keberanian Asep untuk membuat laporan polisi terkait hal penipuan sang Bupati yang tak kunjung mengembalikan uangnya.
Untuk menghindari kasus berkepanjangan akhirnya hari Selasa, 11 Desember 2012, sang Bupati berhasil menempuh jalan damai dengan Asep dan menyanggupi pengembalian dana di angka Rp.400jt di atas surat perjanjian bermeterai.
Apakah kasus ini akan selesai dan menguap begitu saja, wallahualam, karena secara logika, Agus Hamdani berhasil membeli jabatan Wagub yang saat ini dijabatnya sebesar minimal Rp.1.4M, apakah yang akan dilakukannya untuk mengembalikan dana pribadi tersebut di masa jabatannya ?
Ke manakah aliran dana mahar tersebut ? Apakah hanya ke sang Bupati saja ? Ataukah mengalir ke anggota DPRD Garut juga ? Tak dapatkah KPK mengusut penyimpangan ini dengn bukti surat perjanjian bermeterai di antara mereka ?
Kemudian pertanyaan besar yang sangat menggelayut di pikiran penulis :
BILA HANYA KOTA KECIL SEPERTI GARUT SAJA YANG SELEVEL KABUPATEN BISA MEMPERJUALBELIKAN JABATAN SEHARGA ANGKA TERSEBUT, APA YANG TELAH TERJADI DI KOTA BESAR DENGAN LEVEL YANG LEBIH TINGGI ?