Mendengar nama Mongolia, bayangan saya adalah padang rumput yang dingin dan kisah tentang pasukan Jengis Khan. Tidak terbayang seperti apa negeri tersebut dalam kenyataannya. Oleh karena itu, saat memiliki kesempatan mengunjungi Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia, guna mengikuti satu sidang internasional, saya mencoba mengoptimalisasi kunjungan dengan mencoba mencermati geliat kehidupan lokal. Dan ternyata, Mongolia memberikan banyak kejutan. Jadi, boleh lah kalau kunjungan ke Mongolia beberapa waktu lalu saya beri judul, “Shocking Mongolia”.
Karena banyak shock yang saya alami, tulisan saya bagi ke dalam beberapa bagian. Ini adalah bagian pertama dari tulisan tentang Mongolia yang bikin shock.
Shocking pertama. Suhu yang ekstrim di musim dingin. Saat musim dingin tiba, udara di Mongolia bukan main-main. Kalau tidak suka dingin, sebaiknya jangan pergi ke sana sekitar bulan November sampai dengan Februari. Suhu udara bisa mencapai minus 25 derajat Celsius. Di daerah pegunungan, katanya, bisa mencapai minus 45 hingga 50 derajat Celcius. Tapi kalau suka tantangan, musim dingin di Mongolia adalah musim yang “greget” dan layak dicoba.
Saya tiba di Ulaanbaatar saat malam hari. Udara membekap dan sekujur tubuh terasa beku. Esoknya, saya jalan keluar ditemani rekan Mongolia. Tentu dengan pakaian lengkap, berlapis-lapis, topi, tutup kuping, dan tentu sarung tangan. Sambil menahan dingin saya mencoba menembus udara siang itu. Meski pakaian sudah berlapis-lapis, udara minus tak ada ampun. Secara pasti ia mulai menusuk lapisan demi lapisan pakaian di tubuh saya, terutama di kepala dan ujung-ujung kaki tangan.
Tapi, saya liat banyak orang Mongolia yang jalan dengan santai saja. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak pakai tutup kepala dan sarung tangan. Santai sekali keliatannya. Saya tanya pada teman Mongol, “Kenapa mereka tidak pakai topi dan sarung tangan, kan dingin begini”.
Jawabnya, “Oooh, hari ini hangat soalnya pak” …
“Hah, kayak gini hangat”, saya tanya lagi, “Memang ini berapa derajat?”.
Dengan santai kawan saya menjawab, “Ini cuma minus 12 derajat Celcius pak”.….
Sayapun bengong tidak percaya gitu dengan statemennya. Lalu sambil menggigil gaya anak alay, “Haaah .. Ciyuuusss? minus 12? Miaaaapaaa? #$%&’%”
Oh ya, saking dinginnya udara di Mongolia ini, benda elektronik yang paling tidak laku di sana adalah kulkas. Ya iya laaah, ngapain juga pakai kulkas kalau semua barang sudah beku dengan sendirinya di luar hehehe….
Shocking kedua. Negeri tanpa Starbucks. Di tengah derasnya arus globalisasi saat ini, sulit membayangkan suatu negara tanpa Starbucks. Ya, di Ulaanbaatar saya tidak menemukan McDonalds, Starbucks, Pizza Hut, maupun KFC, yang umumnya menjadi simbol kapitalisme. Meski demikian, banyak terdapat merek-merek asing seperti Louis Vuitton dari Perancis, ataupun minuman ringan seperti Pepsi.
Ketiadaan makanan cepat saji internasional, dan masih jarangnya terlihat merek asing terlihat menjadikan suasana kota Ulaanbaatar seperti kota tua dan tidak bersolek. Banyak sekali bangunan bekas Uni Soviet yang tidak terurus dan terlihat kusam. Namun hal itu menjadikan sebuah keunikan tersendiri dari kota Ulaanbaatar karena saya melihat sebuah kota yang masih terkesan “perawan” atau “raw” tanpa banyak cemaran kapitalisme.
Menurut kawan Mongolia, hanya masalah waktu saja berbagai franchise restaurant internasional seperti McD atau KFC akan masuk Mongolia. Saat ini Mongolia memang semakin membuka diri dengan dunia internasional, termasuk mengundang berbagai perusahaan asing masuk . Ia menyayangkan juga apabila nanti berbagai restoran itu masuk dan mengubah gaya hidup orang Mongolia. Saat ini, mereka sudah punya restoran pizza, hamburger, ataupun kopi, dengan merek dan kreativitas mereka sendiri. Saya sempat mampir mencicipi burger di restoran yang bernama Mr. Pizza. Rasanya tak kalah seru dibanding dengan burger McD.
Yah, mungkin tak lama lagi Mongolia akan memiliki berbagai restoran internasional. Tapi saya beruntung bisa melihat kondisi negeri itu seperti saat ini, tanpa kehadiran banyak simbol kapitalisme tadi.
Shocking ketiga. Kebebasan informasi dan internet. Saya berpikir akan sulit menemukan jaringan WiFi dan internet di Mongolia. Saya sudah “prepare for the worst” hanya bisa berhubungan dengan dunia luar melalui sms, atau email saja.
Namun sejak 20 tahun terakhir Mongolia menganut ekonomi pasar dan membuka diri pada investasi asing, termasuk membangun jaringan tekhnologi informasi. Oleh karenanya, saya justru menemukan kemudahan untuk mendapatkan koneksi internet di Ulaanbaatar. Saat masuk hotel, dengan mudah saya menemukan free WiFi. Bukan hanya di hotel, di berbagai restoran dan mall, Ulaanbaatar menyediakan Free WiFi. Akses internetnya juga bagus dan relatif cepat.
Tapi yang menarik, kita bisa mengakses “segalanya” di sana. Mulai dari Facebook, twitter, Google, Gmail, dan berbagai social media, bebas diakses. Hal tersebut berbeda dengan Cina, yang notabene memiliki ratusan cabang McD dan Starbucks, tapi internet sangat dikontrol oleh pemerintahnya. Di Cina, jangan harap bisa membuka Facebook atau Twitter. Bahkan membuka gmail saja, prosesnya bisa berjam-jam, untuk mengatakan hampir tidak bisa. Tentu mereka punya kebijakan sendiri-sendiri dalam menentukan arus informasi. Tapi, perbedaan itu cukup menarik dicermati.
Saya bertanya pada Okkta, kawan wanita Mongolia yang masih kuliah di salah satu universitas di Ulaanbaatar. Mana yang lebih diinginkan, Starbucks atau Internet? Jawabnya, “Wow, jelas saja internet”. Kata Okkta lagi, “We have many coffee shop here in Ulaanbaatar. No need starbucks. But internet? I can’t live without”, ujarnya. Ya, mereka, para anak muda Mongolia, sangat menikmati kebebasan informasi dan ekspresi. Umumnya mereka memiliki facebook, twitter, blog, ataupun instagram.
Mongolia memang menarik dan membuat “Shocking”.
…. Bersambung …