“Geisha tidak menjual tubuh, tapi menjual skill atau keahlian”, demikian ungkap Riko-san, seorang kawan Jepang, saat mengantar saya menjelajahi kawasan Gion, di kota Kyoto, Jepang. Gion adalah salah satu distrik tertua di Kyoto yang terkenal dengan istilah “hanamachi” atau “kota bunga”, sebuah istilah yang digunakan oleh orang Kyoto pada tempat praktik seni tingkat tinggi para geisha. Novel dan film terkenal Hollywood “Memoirs of A Geisha” juga mengambil setting di tempat ini.
Selama ini kata “Geisha” kerap dipersepsikan negatif. Mereka disalahartikan sebagai “prostitute” atau pekerja seks komersial. Namun persepsi itu kurang tepat. Di masyarakat Jepang, geisha adalah sebuah profesi yang cukup terhormat, profesional, dan menuntut tingkat kemampuan tekhnis yang tinggi.
Kata Geisha sendiri berasal dari akar kata “Gei” yang berarti Seni, dan “Sha” yang berarti orang yang melakukan. Geisha berarti juga adalah pekerja seni, atau performing artist, yang memiliki kemampuan seni Jepang tingkat tinggi seperti kaligrafi, ikebana, dan upacara minum teh. Namun geisha lebih terkenal akan kemampuannya menari, menyanyi, dan memainkan alat musik tradisional Jepang seperti harpa koto, shamisen banjo, dan drum taiko.
Sejarah geisha dimulai sejak tahun 1603, saat Jepang mencapai kemakmuran di bidang perdagangan dan budaya. Saat itu, pusat pendidikan para geisha muncul di kota Kyoto. Para geisha muda dinamakan maiko. Rata-rata maiko memulai pendidikan di usia 12 tahun hingga 20 tahun. Maiko harus menjalani pendidikan dan pelatihan yang ketat sebelum menjadi seorang Geisha, atau Geiko, sebutan geisha di daerah Kyoto.
Selama pendidikan, maiko dituntut untuk menguasai seni berpenampilan dengan kimono yang rumit. Mulai dari pemilihan tusuk rambut (hana kanzashi), seni sanggul, jenis kimono, dan cara berjalan, harus dikuasai seorang maiko. Karena beratnya latihan itu, hanya sekitar 20 persen dari maiko muda yang berhasil lulus menjadi geiko atau geisha.
Riko-san menceritakan sejarah Geisha sambil mengajak saya menyaksikan pertunjukan seni geisha yang hanya diadakan pada bulan April, untuk menyambut musim semi di kota Kyoto. Penampilan seni tersebut dinamakan Miyako Odori atau tarian bunga sakura (cherry blossom dance). Miyako Odori dijadikan sebagai ajang para maiko dan geiko untuk menampilkan hasil pelatihan dan disiplin kerasnya selama bertahun-tahun.
Mencari tiket dan menyaksikan Miyako Odori lumayan sulit karena popularitasnya yang tinggi. Saat saya tiba di Teater Gion Kobukai, tempat pertunjukan Miyako Odori, para pengunjung yang umumnya turis telah memadati lokasi.
Dalam satu hari, diadakan empat kali pertunjukan yang masing-masing menghabiskan waktu sekitar satu jam. Secara umum, penampilan Miyako Odori adalah sebuah adegan seni, tari, dan nyanyi yang dimainkan oleh sekitar 60 orang maiko dan geiko dengan menggunakan aneka kostum kimono yang sangat impresif dan menawan.
Sejarah Miyako Odori ini dimulai sejak tahun 1870, saat ibu kota Jepang pindah dari Kyoto ke Edo (Tokyo sekarang). Masyarakat di Kyoto saat itu ingin tetap menjaga tradisi Kyoto sebagai ibu kota agar tidak ditinggalkan oleh orang. Pertunjukan Miyako Odori-pun dibuat pada setiap musim semi dan berlangsung sejak itu hingga sekarang.
Penampilan Miyako Odori dimulai dengan tarian dan nyanyian yang disebut dengan istilah “YO-IYAa-SA” sebagai ucapan selamat datang. Para geiko dan maiko yang tampil cantik mengenakan kimono dihiasi “darari no obi” (ikat pinggang kimono dengan hiasan yang digantung di belakang) dan okobo (sandal tinggi), masuk ke panggung melalui dua jalan yang diatur terletak di sebelah kiri dan kanan para pengunjung.
Saya, bersama para pengunjung lainnya, dibuat termangu dan terpesona dengan penampilan tari serta kostum para maiko yang indah. Bagi saya, selain penampilan tari dan nyanyi, kostum yang dikenakan para maiko sungguh mengesankan. Konon setiap tahunnya, kostum ini dibuat khusus dan dijahit dengan menggunakan tangan. Pembuatannya dilakukan lebih dari 6 bulan untuk satu kimono.
Selain kimono, ikat pinggang yang dikenakan (Obi), seperti stagen kalau di kebaya, juga beraneka ragam dan indah. Bahan baku kimono tersebut dibuat oleh pabrikan di Kyoto yang terkenal dengan bahan kimono atau Nishijin Brocade.
Penampilan para maiko dan geiko di panggung sungguh menunjukkan tingkat penguasaan seni tari yang baik. Gerak tari yang detil, alunan musik dan lagu tradisional Jepang, terlihat mengalun sempurna dan membawa kita pada suasana awal masa-masa Edo di tahun 1600-an.
Miyako Odori terdiri dari delapan adegan yang dimulai dari tarian para Maiko ditengah suasana musim semi. Adegan kemudian bergeser ke suasana musim panas, gugur, dingin, dan kembali ke musim semi lagi sebagai penutup kisah (finale). Penampilan yang sangat mengesankan.
Dalam paket menyaksikan Miyako Odori tersebut, saya juga diajak untuk mencicipi upacara minum teh tradisional Jepang yang dibuat dan disajikan oleh para maiko. Teh hijau pahit bersama kue manis (okashi) disajikan dan disantap bersama sebelum pertunjukan.
Kyoto, dengan sejarah panjangnya selama 1200 tahun, memang identik dengan keindahan seni dan kecantikan para geisha dan maiko. Bagi saya, Jepang adalah Kyoto.Kota ini menyimpan ruh dan spirit dari Jepang. Di kota ini pula, saya selalu menemukan berbagai hal yang indah, subtil, bahkan misterius, baikdari sisi seni, literatur, sejarah, ataupun setiap pergantian musim.
Salam dari Kyoto.