Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Festival Anime Tokyo, dari Pesta Otaku hingga Bisnis Miliaran Dolar

25 Maret 2012   23:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:29 1458 3

Siapa yang tidak kenal dengan Dora Emon, Crayon Sinchan, atau Pokemon? Nama-nama itu populer di Indonesia dan di seluruh dunia melalui berbagai bentuk animasi, baik film ataupun komik manga.

Setelah otomotif, Jepang memang terkenal sebagai negeri yang mengekspor anime atau animasi ke seluruh dunia. Berbagai produk dan karakter Jepang menguasai sebagian besar pasar anime di dunia.

Animasi, yang juga menjadi salah satu kekuatan “soft power” Jepang, memang menjadi andalan ekonomi dan bagian terpenting dari ekspor negeri tersebut. Ekspor anime Jepang menyumbang pemasukan sekitar 2,5 miliar dolar AS setiap tahunnya.

Untuk mendukung industri animasi tersebut, Jepang setiap tahun menggelar festival akbar anime yang dinamakan “Tokyo International Anime Festival”. Setelah tahun lalu dibatalkan karena bencana gempa bumi, tahun ini festival anime Tokyo kembali digelar di Tokyo Big Sight, daerah Odaiba. Tokyo Anime Festival ini juga merupakan salah satu festival animasi terbesar di dunia.

Festival diikuti oleh berbagai perusahaan anime dunia dan menjadi ajang perdagangan anime antar negara terbesar yang diadakan di Jepang. Selama dua hari, 24-25 Maret 2012, festival ini juga terbuka untuk umum, dan dipenuhi oleh para penggemar anime, manga, serta video games dari berbagai negara.

Kemarin siang (25/3), saya datang ke festival tersebut untuk melihat dan merasakan perkembangan animasi di Jepang. Saat saya tiba di lokasi pameran, saya terkagum-kagum dengan berbagai penampilan karya anime Jepang.

Banyak di antaranya begitu akrab dengan saya, termasuk membangkitkan memori masa kecil saya. Mulai dari Gundam, Totoro dari Studio Ghibli, hingga karya-karya terbaru seperti One Piece dari Toei Entertaintment.

Namun ada dua hal penting yang menarik dan saya catat dari festival tersebut. Pertama, saya kerap melihat fenomena pop culture Jepang sebagai hal menarik dan memiliki banyak sisi. Salah satu sisi itu adalah munculnya para “otaku”, atau pecinta anime, manga, dan sejenisnya. Di festival anime kemarin, saya berjumpa dan melihat berbagai anak-anak muda otaku di Jepang. Para otaku bukanlah sekedar penggemar anime, namun mereka sudah sampai ke tahap obsesif dengan berbagai hal terkait anime, video games, ataupun karakter di komik manga. Saking terobsesinya, mereka mengoleksi berbagai merchandise anime, dan bahkan berpakaian seperti tokoh yang dicintainya.

Otaku  tak bisa dilepaskan dari anime. Mereka adalah fenomena yang erat di dunia ini. Di Jepang sendiri, para otaku kerap dicap orang aneh, geek, atau nerd. Mereka menyendiri dan hidup dalam dunia mereka sendiri, khususnya dunia anime.

Namun otaku tak selalu berkonotasi negatif. Di berbagai negara otaku bahkan memiliki konotasi yang relative “cool”. PM Jepang Taro Aso bahkan pernah mengatakan dirinya adalah seorang Otaku, untuk memberi semangat pada dunia anime.

Hal kedua yang menjadi catatan saya adalah bahwa dunia animasi, video games, film kartun, bukan sebuah hal sepele. Ini adalah bisnis miliaran dolar dan menyumbang besar pada industri kreatif negeri.

Jepang mengembangkan “soft power” bukan sebagai proses kebetulan, namun didukung penuh oleh pemerintahnya, melalui Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI). Pemerintah Jepang mendukung sepenuhnya perkembangan “Cool Japan”. Mereka menetapkan enam area, yaitu fashion, kuliner Jepang, media content, produk lokal, perumahan dan turisme, sebagai sektor yang didukung penuh melalui berbagai kebijakan.

Target Jepang adalah meningkatkan penjualan global dari produk-produk kultural ini, menjadi 10 triliun Yen (131 miliar dolar AS) pada tahun 2020, dari sekarang sebesar 2 triliun Yen.

Animasi sendiri memiliki pangsa pasar global yang sangat besar, mencapai sekitar 25 miliar dolar AS saat ini. Jepang masih merupakan pemain utama di dunia anime. Namun, gempa bumi dan krisis ekonomi telah memukul cukup telak industri anime Jepang. Festival kemarin juga terlihat sepi, tidak semarak festival-festival sebelumnya, yang menurut kawan saya penuh sesak oleh pengunjung. Sementara kemarin, suasana relatif cukup lengang.

Tumbuhnya perusahaan-perusahaan anime asing, seperti dari China, Korea Selatan, bahkan Thailand, juga telah memberi tekanan berat pada industri anime Jepang. Di festival kemarin, posisi Jepang juga terlihat tertekan oleh semakin maraknya booth atau counter perusahaan anime asing. Satu hal yang penting dicermati adalah meningkat pesatnya perusahaan anime China. Saat festival dua tahun lalu, China hanya membuka 10 booth perusahaan animasi. Namun kemarin, ada sekitar 48 booth perusahaan animasi China.

Untuk tetap menjaga perkembangan anime di Jepang, Kementerian Budaya Jepang setiap tahun memberi subsidi sebesar 500.000 dolar AS untuk pengembangan pendidikan anime dan manga di Jepang. Hal ini agar anak-anak muda di Jepang mampu terus kreatif dan menyumbang pada dunia anime. Beberapa universitas di Jepang juga memiliki jurusan dan disiplin ilmu khusus Anime dan Manga.

Kita kerap menyepelekan hal-hal seperti anime, video game, komik, atau musik. Namun dunia telah membuktikan bahwa anime adalah bisnis kreatif yang berpotensi miliaran dolar. Pemerintah di banyak negara telah memfokuskan kebijakannya dalam pengembangan “soft power”.

Di sisi lain, kita melihat bahwa anak-anak muda Indonesia memiliki potensi dan bakat besar di industri kreatif. Beberapa karya anak Indonesia bahkan mampu mengglobal dan mendunia. Sayangnya, banyak dari kita yang masih menganggap ini belum terlalu penting.Akhirnya industri kreatif berkembang secara parsial sendiri sendiri dan belum tumbuh secara by design seperti yang dilakukan di Jepang.

Semoga kita bisa lebih baik lagi ke depan, dan kita juga berharap suatu saat nanti, karya-karya animasi anak bangsa semakin mampu berkiprah secara global dan menyumbang pada kemajuan negeri.

Salam dari Tokyo.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun