Betulkah preman punya nama baik? Pertanyaan itu mungkin absurd. Tapi itulah yang terjadi. Di Jepang, kata “preman” memang punya makna ganda.
Suatu siang, saya bersama kawan Jepang berjalan di daerah Shinjuku, Tokyo. Di sana kami melihat ada seseorang yang berpenampilan necis dengan setelan jas mahal. Orangnya terlihat ramah dan santun. Kawan saya mengatakan bahwa orang itu adalah anggota yakuza, atau mafia Jepang. Mafia, atau apapun namanya, pada dasarnya adalah preman karena bekerja dengan kejahatan. Tapi menurut kawan saya, yakuza di Jepang tak selamanya jahat. Mereka juga terkenal punya nama baik.
Yakuza memang sebuah paradoks. Keberadaan mereka di Jepang bukan seperti sebuah kelompok rahasia. Semua orang Jepang tahu siapa yakuza. Bahkan polisi dan politisi juga mengetahui eksistensi kelompok ini. Selama ini mereka seperti saling memiliki kode etik dalam persinggungannya.
Yakuza hidup dari pemerasan, judi, prostitusi, obat bius, penyelundupan, pencucian uang, serta memberi proteksi keamanan pada perusahaan-perusahaan konstruksi dan real estate, termasuk menyediakan jasa buruh dan penyelidik swasta. Mereka, menurut teman saya, melakukan pekerjaan di mana orang lain tidak mau melakukannya. Umumnya pekerjaan ini dikenal dengan istilah pekerjaan rendah, kotor, dan berbahaya.
Meski hidup dalam dunia hitam, yakuza terkenal juga sebagai kelompok sosial yang luar biasa. Saat gempa bumi Jepang bulan Maret 2011 lalu, peranan yakuza dalam membantu para korban sangat besar. Ketika seluruh bantuan, baik dari pemerintah maupun asing, belum tiba, anggota yakuza sudah turun ke lapangan dan memberi bantuan bagi para korban.
Saat kiriman tenaga dan bantuan datang, yakuza ikut membantu mengamankan agar tidak terjadi penjarahan dan kekacauan. Mereka juga bertugas menyalurkan bantuan hingga daerah terpencil. Yakuza bahkan membuat posko-posko bantuan di banyak tempat korban gempa.
Hal yang mengejutkan juga adalah saat terjadi krisis nuklir Fukushima di Jepang. Yakuza, ternyata ada di belakang upaya-upaya penyelamatan warga, dan lebih hebat lagi, mereka membantu mengendalikan radiasi di reaktor nuklir Fukushima.
Adalah Tomohiko Suzuki yang baru saja mengungkapkan realita ini dalam buku terbarunya, “Yakuza and the Nuclear Industry”. Mungkin banyak dari kita yang tidak mengira kalau yakuza erat kaitannya dengan industri nuklir Jepang, dan yang lebih mengagetkan lagi, para yakuza ini rela mengorbankan hidup mereka saat terjadinya krisis nuklir di Jepang.
Risiko pelelehan nuklir (nuclear meltdown) saat itu sudah di depan mata. Untuk mencegah hal itu terjadi, beberapa pekerja harus tetap berada di tempat mengatasi ledakan-ledakanyang terus terjadi.Mereka terus menerus menyiram reaktor yang mendidih dengan air laut, karena matinya alat pendingin otomatis. Radiasi nuklir saat itu ter-ekspos ke udara dalam jumlah yang sangat tinggi dan membahayakan nyawa. Mereka yang ter-ekspos memiliki risiko mati saat itu juga, ataupun mati perlahan dalam waktu 10 tahun ke depan karena dampak radiasi. Itu hanyalah sebuah pilihan.
Saat itu, muncul-lah istilah “Fukushima Fifty”, atau lima puluh orang yang berani mati dan terus bekerja selama 24 jam di Fukushima. Suzuki menyebutkan bahwa di antara grup heroik tersebut, beberapa anggotanya adalah yakuza.
Suzuki tentu bukan sekedar asal sebut. Ia melakukan investigasi dan penyamaran di Fukushima untuk memperoleh data tentang yakuza yang terlibat dalam penyelamatan krisis nuklir nasional. Menurutnya, ada lebih dari 1000 orang yakuza yang mempertaruhkan nyawa demi mengatasi krisis nuklir.
Pekerjaan memadamkan reaktor saat itu sungguh mengerikan. Di tengah ledakan-ledakan, para pekerja memiliki risiko 100 persen ter-ekspos radiasi. Masker pengaman hanya mampu mengurangi 60 persen risiko radioaktif.
Pekerjaan penuh bahaya dengan risiko nyawa seperti itu tak banyak yang mau melakukan. Tapi yakuza di Jepang maju mengirimkan anggotanya untuk mempertaruhkan nyawa.Saat krisis nuklir mencapai puncak, yakuza direkrut dari seluruh penjuru Jepang. Mereka dibayar sekitar 50 ribu Yen (sekitar Rp.5 juta) per hari, bahkan ada yang mencapai 200 ribu Yen. Tapi, siapa yang mau menyerahkan nyawa demi uang seperti itu bukan?
Kenyataannya, memang tak mudah mencari orang yang mau mengorbankan nyawanya. Tentu saja banyak karyawan reaktor yang punya dedikasi dan rela mengorbankan nyawanya tanpa dibayar. Tapi jumlah mereka sangat kurang dibandingkan dengan krisis yang dihadapi.
Sebelum Suzuki, Anton Kusters, seorang fotografer, juga menerbitkan buku fotografinya yang berjudul “Odo Yakuza Tokyo”. Selama dua tahun, Anton Kusters masuk ke dalam keluarga Yakuza dan mengabadikan momen-momen mereka.Buku Anton menampilkan sisi humanis yakuza. Bahwa yakuza juga manusia.
Buku-buku seperti yang diterbitkan Suzuki dan Kusters sempat menimbulkan perdebatan dan kritik di Jepang. Buku tersebut dianggap menampilkan sisi baik dan kemanusiaan Yakuza, di tengah upaya pemerintah Jepang memerangi mereka.
Yakuza pada kenyatannya tetaplah sebuah kelompok preman yang melakukan kejahatan-kejahatan. Kasus penyelundupan, pembunuhan, dan saling tembak di muka umum masih terjadi dan meresahkan masyarakat Jepang. Selang beberapa pekan lalu, di wilayah Tokyo, terjadi baku tembak dan pemukulan di salah satu restoran, yang dilakukan oleh anggota yakuza.
Pemerintah Jepang sendiri secara terang-terangan telah mengumumkan perang pada yakuza. Pihak Kepolisian Jepang bahkan telah mengusulkan ke parlemen sebuah Undang-undang yang isinya memberangus sindikat kejahatan.
Beberapa pimpinan yakuza juga satu per satu mulai ditangkapi oleh kepolisian Jepang. Pimpinan nomor satu dan dua dari klan Yamaguchi-gumi, sindikat yakuza terbesar Jepang yang bermarkas di Kobe, juga telah ditangkap. Kelompok Yamaguchi-gumi ini diperkirakan memiliki anggota sekitar 35 ribu orang di seluruh Jepang. Posisi mereka kini diawasi ketat oleh pihak keamanan Jepang.
Upaya memerangi yakuza juga didukung oleh pihak Amerika Serikat. Tanggal 23 Februari 2012 lalu, pihak kementerian keuangan AS membekukan semua rekening yang terkait dengan yakuza, terutama dari klan Yamaguchi-gumi. Mereka diindikasikan terlibat penjualan obat bius, prostitusi, dan pencucian uang. AS membekukan pula asset orang nomor satu Yamaguchi-gumi, Don Kenichi Shinoda aka Shinobu Tsukasa dan orang nomor duanya, Kiyoshi Takayama.
Hidup yakuza diperkirakan semakin sulit ke depan, karena pihak keamanan terus menerus mengejar mereka. Saat ini, yakuza sudah dilarang untuk terlibat di setiap proyek konstruksi. Perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dengan yakuza akan dikenai sanksi. Selain itu, beberapa figur publik yang terbukti punya hubungan dengan yakuza juga dikecam, bahkan dipecat dari pekerjaannya.
Para petinggi Asosiasi Sumo Jepang dan pesumo profesional mengundurkan diri karena punya hubungan dengan yakuza. Seorang penyiar TV di Jepang dipecat dari pekerjaannya karena berhubungan dengan Yakuza.
Preman, di satu sisi memang “sampah” masyarakat. Keberadaannya perlu terus menerus diperangi agar ketenteraman di tengah masyarakat dapat terwujud. Tapi preman juga adalah sebuah paradoks. “Yakuza mungkin sampah masyarakat,” kata Suzuki, “tapi mereka tidak menghancurkan kehidupan ribuan penduduk Jepang dengan segala keserakahan dan ketidak-kompeten-an mereka”.
Hal yang lebih parah memang bukan para preman ini. Tapi orang-orang yang bungkus luarnya bukan preman, bahkan kerap punya cap otoritas resmi, tapi melakukan kegiatan seperti preman. Mereka inilah yang justru lebih berbahaya.
Salam dari Tokyo