Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Orang Jepang Naik Haji

20 November 2011   05:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:26 7316 13
[caption id="attachment_144646" align="aligncenter" width="614" caption="Omar-san dan Saif-san, orang Jepang yang Naik Haji / photo Junanto"][/caption]

“Subarashi! Subarashi!” atau “Luar Biasa!”, adalah kata yang berulangkali diucapkan oleh Omar-san, orang Jepang dalam kloter haji kami. Kalimat itu diucapkannya saat melihat Ka’bah dan melakukan gerakan memutarinya selama tujuh kali (thawaf). Bersama dengan Omar-san, ada 10 orang Jepang lain yang ikut berangkat haji tahun ini dari rombongan jamaah haji embarkasi Jepang.

Bagi Omar-san, yang baru memeluk Islam sekitar 3 tahun lalu, ini adalah kali pertamanya ia naik haji. Ia begitu kagum dan terkesima dengan masifnya jumlah jamaah haji dari berbagai penjuru dunia yang datang pada saat bersamaan dan melakukan ritual haji yang sama. Omar-san, yang tidak mau memberitahukan pada saya nama asli Jepangnya, menganggap ada satu kekuatan besar yang mampu membawa berjuta-juta orang tersebut secara sukarela untuk datang ke tanah suci ini. Hal itulah yang membuatnya terpana di depan Ka’bah.

Berangkat haji bersama orang Jepang adalah hal yang menarik bagi saya. Bagaimana tidak, selama tinggal di Jepang, saya jarang melihat orang Jepang yang beragama Islam (ataupun beragama lainnya, seperti Kristen atau Yahudi). Kebanyakan orang Jepang memang tidak memilih satu agama tertentu. Mereka kebanyakan menganut ajaran Shinto yang lebih bersifat budaya ketimbang sebuah agama.

Di sisi praktis sehari-hari, sebenarnya orang Jepang sudah berperilaku lebih dari orang beragama. Mereka sangat santun, sabar, bersih, tekun, disiplin, dan tertib dalam bermasyarakat. Semua ajaran agama yang menganjurkan kebaikan dan perilaku terpuji telah mereka terapkan tanpa harus memeluk suatu agama tertentu. Hal itu bisa dilihat secara nyata dalam kehidupan masyarakat Jepang. Mereka tertib mengantri, berlalu lintas dengan santun, menjaga fasilitas umum tetap rapi dan bersih, membuang sampah di tempatnya, dan saling membantu dengan tulus.

Kisah-kisah pascatsunami dan bencana gempa bumi pada Maret 2011 lalu menjadi sekian banyak contoh tentang tingginya adab dan perilaku masyarakat Jepang. Di negeri yang beragama sekalipun, saat bencana, perilaku yang muncul kadang tidak agamis (menumpuk barang kebutuhan pokok, menjarah, menaikkan harga semena mena, dan saling merugikan sesama). Hal itu tidak terjadi di Jepang saat bencana tsunami lalu.

Agama, memang datang ke dunia untuk memperbaiki akhlak, atau perilaku manusia. Sayapun bertanya pada Omar-san, apabila akhlak di masyarakat sudah baik, masih perlukah orang Jepang memeluk agama.

Menurutnya, Jepang memang sebuah masyarakat yang tertata baik dan aplikatif dari ajaran agama. Namun pada ujungnya, manusia tetap membutuhkan tambatan hati. Sebuah oase tempat mengadu dalam keadaan sendiri, baik suka maupun duka. Sebuah tautan kala sedang dirundung beragam masalah dan tekanan dunia. Tanpa agama, berbagai pelarian dicari oleh orang Jepang untuk mencari ketenangan hati. Jadi, menurut Omar san, orang Jepang masih memerlukan agama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun