[caption id="attachment_61998" align="alignleft" width="300" caption="Masa depan JAL tak secerah senyum mereka / www.postcard.com"][/caption] Membangkrutkan Japan Airlines (JAL) adalah sebuah keputusan politis yang sangat berani dari pemerintahan Jepang yang baru di bawah pimpinan PM Yukio Hatoyama, dari partai DPJ. Hal ini berbeda dengan pendahulunya dari partai LDP, yang memilih kebijakan bail out untuk menyelamatkan JAL. Istilah “
too big to fail”, nampaknya tidak berarti bagi JAL. Operasi JAL yang merugi, hutang yang membengkak, kebijakan penerbangan yang tidak efisien, dan birokrasi yang lambat, membuat kebijakan bail out bagai menebar garam di air laut. Masalah mendasar dari JAL adalah “permainan’ dari segi tiga besi (
iron triangle) antara pengusaha, penguasa, dan politisi dalam operasional JAL selama ini. JAL dianggap sebagai sebuah perusahaan besar kebanggaan negeri yang tak boleh bangkrut (
too big to fail). Oleh karena itu suntikan likuiditas secara massif diberikan terus menerus kepada JAL. Namun di sisi lain, operasi JAL tidak dibenahi secara serius. Tekanan dari kekuatan politik dan pemerintah pada eksekutif JAL untuk melayani ambisi mereka membuka route-route yang tidak menguntungkan, telah menambah beban operasional JAL. Hal ini ditambah lagi dengan berbagai masalah birokrasi dan remunerasi yang tidak efisien. Sejak merugi di tahun 2001, lonceng kematian bagi JAL memang seolah hanya menunggu waktu. Tragedi 9/11, wabah virus SARS, Flu Burung, ancaman teroris, di samping resesi ekonomi, telah memukul JAL secara bertubi-tubi. Meski melayani lebih dari 217 airport dan 35 negara, JAL menjadi perusahaan penerbangan yang gemuk dan tidak efisien. Hutangpun membengkak hingga mencapai sekitar Rp 200 triliun. Bangkrutnya JAL semakin memperkuat adanya masalah serius yang dihadapi oleh perekonomian Jepang. Meski masih memegang gelar sebagai negara dengan perekonomian terkuat nomor dua di dunia, Jepang bagai macan yang terluka. Ekonominya melesu, pengangguran dan kemiskinan meningkat, dan perusahaan besar berguguran. Bangkrutnya JAL adalah kebangkrutan terbesar perusahaan di luar sektor keuangan sejak Perang Dunia ke-II. Oleh karena itu, upaya serius untuk bangkit dari krisis sedang ditempuh oleh pemerintah Jepang. [caption id="attachment_61997" align="alignleft" width="300" caption="Japan Airlines "][/caption] Upaya bangkit tentu menyakitkan. Kadang ini yang membuat kita enggan berbenah. Dalam kasus JAL misalnya, program restrukturisasi akan memakan banyak korban. JAL harus mem-PHK lebih dari 15.000 karyawannya, memotong fasilitas pensiun, dan menutup route-route domestik yang tidak menguntungkan. Lebih parah lagi, JAL juga harus memotong banyak kontrak dengan biro perjalanan, hotel, dan berbagai jaringan pariwisata yang telah ada selama ini. Hal itu bisa merugikan kalangan pengusaha, penguasa, dan tentu politisi yang punya kepentingan selama ini. Dari JAL kita belajar, bahwa intervensi yang berlebihan dari pemerintah dan kekuatan politik, akan merugikan sebuah perusahaan atau lembaga. Baik itu perusahaan penerbangan, perbankan, bahkan lembaga negara yang independen, memerlukan ruang bagi professional untuk bekerja. Politisi, penguasa, dan pengusaha (
the iron triangle), kadang memiliki tendensi untuk ikut campur dalam kegiatan usaha ataupun lembaga atas nama rakyat. Mungkin tepat apa yang dikatakan oleh Heizo Takenaka, seorang professor di Keio University, bahwa intervensi pemerintah dan politisi pada JAL adalah sebuah kesalahan. Untuk itu, pesannya pada mereka, “Menjauhlah dari JAL !!” Salam
KEMBALI KE ARTIKEL