Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Palestina, Pena dan Ibu (Impian Fathina 'Allila)

27 Agustus 2012   17:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:15 163 1
------ Oleh Akhmad Junaedi Siregar (belajar bikin cerpen, kutipan-kutipan dari Kerdam Cinta Palestina) ------

... masih pagi, pelangi itu bertamu dalam rumah, warnanya tak beraturan, bukan indah, seperti biasa yang warna warni ...

Puisi singkat tergores di kertas putih. Fathina kembali membaca ulang rajutan imajinasi pikirannya yang dialiri perasaan iba terhadap negeri tepi barat, Palestina. Kapal mavi marmara yang berangkat dari Turki yang menyalurkan bantuan atas blokade Zionis terhadap rakyat Palestina dipaksa memutar balik haluan. Peristiwa ini peletak pilu bagi semua umat Islam yang terkenal bersolidaritas tinggi. Fathina hampir saja menitikkan air mata ketika merampungkan alinea terakhir, “Darahku ini belum bisa tercurahkan di bumimu, Palestina …”

Andai saja darah bisa membeli kekerasan dan nyawa yang telah melayang, Fathina ‘Allila ingin melunasi itu semua dengan dua per tiga cairan merahnya. Dalam benaknya terbersit bahwa dia masih saja bisa hidup dengan darah tersisa. Hidup di dunia ini layaknya hidup di negeri orang. Hanya menumpang sekejab dan akan permisi pulang ke negeri sebenarnya, negeri impian. Tidak ada harta berharga yang ditinggalkan kecuali kesan yang dalam. Pengorbanan sejati menjadi bekal manis ke depan. Membahagiakan orang tentu saja punya derajat tertinggi.

Dari kamar kecil, pikirannya membahana dan sesekali menatap kosong dinding berwarna biru. Tapi apa yang bisa diperbuat gadis kecil sepertinya untuk melawan musuh Islam sokongan negeri Paman Sam? Jawaban itu terasa sulit. Dan membuatnya berputar-putar seperti bandul yang hampir berhenti. “Betulkah secarik puisi dapat meringankan penderitaan rakyat Palestina yang sedang butuh obat dan makanan?”, hatinya kecilnya bimbang.

***

Azan subuh di Sunggal, Kota Medan melewati gendang telinganya. Seperti biasanya Fathina segera terjaga dan membasahi mukanya dengan air suci yang menyucikan. Kali ini terasa berat membuka mata. Energi sedikit terbuang tadi malam dalam memilah kata. Telekung yang selalu dibasahi aroma pewangi minus alkohol membalut muka anak keturunan Banjarmasin, Minang, Melayu dan Jawa tersebut. Semangatnya menuai suasana fajar yang indah yang didengar burung-burung yang memang mulai terbangun.

“Apa kabar, krucil-ku?
“Baik, Bunda.”

Suara serentak anak didiknya di sekolah swasta di Gatot Subroto, Medan melepas rasa kantuk yang masih tersisa. Hari ini dia menatap sahdu keempat anak kecil keturunan Papua. Telah beberapa lama dia harus lebih ekstra menekankan pelajaran kepada mereka. Anak-anak berkulit hitam itu memiliki pola pikir yang sederhana tapi kritis sehingga perlu metode pembelajaran khusus. Di salah satu sudut ruang kelas, terdiam krucil kecil yang hari ini mungkin tidak sedap hati. Kerudungnya berwarna biru dan matanya berkaca-kaca. Fathina pun merapat.

“Ada masalah apa puteri biru?”, hibur Fathina, “Sini dekat Ibu, ceritakan kenapa murung?”
“Pensil mekanis Thera hilang. Padahal nanti ada pelajaran melukis, Ibu!” matanya mulai mengilap.
“Oh tenang, Ibu bisa pinjamkan. Nanti mau melukis apa, Nak?” Fathina merasa dapat solusi.
“Mau lukis ikan hiu di laut biru,” sahut anak itu sambil menerima pensil satu-satunya bu gurunya.

Fathina menghirup udara panjang-panjang sambil duduk di kursi guru. Seketika merasa luwes sebelum memberikan materi ringan soal hubungan antara sesama beragama. Beliau mengungkapkan bahwa menjaga kerukunan beragama merupakan  kewajiban semua agama. Agama Islam menjunjung tinggi sosialitas perbedaan agama.

"Dalam ajaran agama Islam jelas termaktub dalam Surah Al-Kaafirun ayat 6 berbunyi ‘Bagi kamu agama kamu, dan bagiku agamaku,’" terang Fathina dengan nada lembut, “Agama adalah rahmatan, yang mengatur dunia dengan kebaikan. Dengan menjalankan agama masing-masing, kita bisa hidup damai seperti di kelas ini.”

Belakangan, isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) kerap diperalat untuk kepentingan tertentu. Di antara keempat isu itu, agama menjadi sasaran empuk dalam mengembangkan tipu muslihat. Tiba-tiba seseorang menjadi alim dan meneriakkan ayat-ayat yang baru dihafalnya. Kemudian dia menjadi pemuka agama gadungan dan memanggil ahli-ahli penyulap agama menjadi kata-kata mutiara yang terasa sejuk dan dingin. Anehnya, tak sampai setahun kemudian penjara mengkerangkengnya dengan dalih melanggar “ajaran agama” yang dianutnya. Termasuk itu korupsi, tipu muslihat dan dosa-dosa besar lainnya.

Waktu jaman Sayyidina Umar Bin Al Khattab, perbedaan keyakinan cukup dijungjung tinggi. Oleh karena itu, penaklukan daerah tidak pernah membinasakan tempat ibadah. Tidak memperbudak hamba yang telah menyerah atau memaksakan agama Islam kepada mereka. Khalifah Umar hanya ingin menyampaikan pesan kecil bahwa Islam itu adalah rahmatan lil ‘alamin.



Fathina baru sadar bahwa dia telah menerangkan materi yang terlalu dalam bagi anak-anak yang masih hijau. Anak kecil yang tak mengenal perseteruan karena perbedaan fitriyah. Mereka hanya tahu indahnya permainan. Bermain dengan siapa saja dan bercerita apa saja. Fathina terbawa emosi melihat adanya bangsa dan agama yang merasa unggul, Yahudi. Bukit Sion yang diklaim bangsa Yahudi sebagai tanahnya menjadi malapetaka bagi Palestina. Dari sinilah induk semang semua masalah berdarah di Timur Tengah.

Yahudi adalah bangsa nomaden yang banyak bermigrasi ke tanah-tanah lain di dunia. Karena pengkhianatannya terhadap majikannya di tempat baru, Yahudi menjadi bulan-bulanan pengusiran. Yahudi pernah dipulangkan dari Mesir oleh Fir’aun dan paling dicari di Jerman. Jerman sendiri menganggap Yahudi sebagai duri dalam daging di perekonomian mereka yang dikuasai Zionis.

***

Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Raut muka anak sekolah mulai memancarkan sinar meriah layaknya menunggu sebuah gol dari pemain bintang. Teng … teng … teng!!! Satu per satu siswa-siswi menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas.

Meskipun mendidik anak selalu menyenangkan, tetap saja tenaga dalam pikiran terkuras. Hanya canda dan tawa yang membuatnya tetap kokoh di yayasan pendidikan tersebut. Seperti biasa sambil menunggu sudako, Fathina mengingat persediaan bahan masakan dan buah untuk dijus nanti malam. Di pinggir jalan dia merogoh kocek lima ribu rupiah untuk mendapatkan jambu biji asal Medan Tuntungan yang terkenal manis.

“Ya Allah, Engkau masih memberikan salah satu nikmat terbesarmu,” tangannya diangkat dan glek-glek-glek. Fathina memiliki keahlian dalam olah kuliner, baginya menaikkan rasa kuliner adalah bagian dari rasa syukur kepada Rabb. Soal taste dan racikan rempah, dia memiliki standar sendiri. Tidak heran Fathina memiliki koleksi buku-buku dan kliping resep-resep yang tentu berlabel halal.

Ba’da sholat Isya, Fathina membuka laptopnya. File puisi yang disimpan di desktop yang belum sepenuhnya rampung menarik memori pilu penjajahan Israel. Aliran darahnya naik ke ubun-ubun.

Astagfirullah.”

“Semoga Allah mengampuni aku,” Fathina tertunduk di hadapan Allah mengingat karena berpikir belum ada yang dia perbuat mengurangi derita seakidahnya. Puisi itu akhirnya dikirim ke penerbit di Jawa yang katanya bersimpati dengan Palestina. Bersama teman-teman FLP, antologi puisi dan cerpen itu dijanjikan terbit.

Bagaimanapun juga roda akan berputar, dunia ini akan berjalan. Ketika seorang ibu dilahirkan, maka satu ibu yang lain telah tiada. Fathina menyadari ia dilahirkan dari salah satu ibu yang luar biasa. Ibu itu dasar peletak karakternya selama ini. Yang membuatnya berhati lunak dan terlepas dari cela.

“Ya Allah, kelak jadikan aku seorang ibu. Ibu penerus ibuku. Ibu yang penuh kasih sayang yang bisa melahirkan insan yang berbakti kepadamu. Menjungjung agamamu dan mendamaikan duniamu.” Fathina berharap. Pipinya mulai dibasahi air mata yang tak disadarinya.

Peperangan sebenarnya ternyata bukanlah mengangkat senjata dan kelihaian berkuda. Peperangan terbesar ketika berhadapan dengan hawa nafsu. Menjadi ibu yang baik tentu peperangan yang tak kalah sengit. Fathina sendiri telah lama menjadi ibu bagi anak didiknya di sekolah. Dan telah bersiap jadi ibu spesial bagi anak-anak dari rahimnya.

“Pena dan kasih sayang adalah rahmatmu ya Allah,” Fathina bergegas ke ranjang usai membacakan doa tidur yang dihapal dari ibunya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun