Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Tarawih Empat Flag

10 Agustus 2011   14:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 107 0
Oleh Akhmad Junaedi Siregar
(Sedang belajar bikin cerpen)


Dua bocah riang tetanggaan di Komplek Bumi Serdang Damai, Medan telah bergejolak semangatnya tatkala menyambut bulan suci Ramadhan 1432 H. Tidaklah berlebihan pancaran kegembiraan di raut muka keduanya melebihi orang dewasa. Itap dan Mali menganggap Ramadhan itu sebagai bulan yang istimewa. Pikiran anak-anaknya menggambarkan kalau mereka akan masuk sorga. Semua jenis mainan di dunia bisa dimainkan di nirwana kelak.

Mereka berdua cukup menikmati libur tiga hari menyambut Ramadhan. Yayasan Singosari di Deli Tua juga menyunat jam pelajaran sekolah. Rata-rata siswa menikmatinya, terlebih Itap dan Mali.

Sholat sunat tarawih telah menjadi pembicaraan mereka berdua. Di perumahan itu, mereka berdua berjanji ke mesjid masing-masing dengan merengek-rengek ke kedua orang tua masing-masing mengikutsertakan mereka pada ibadah sunah yang hanya ada pada bulan Ramadhan itu. Tentu orang tua mereka senang dengan niat anaknya.

Malam pertama tarawih, Itap memakai seragam muslim sekaligus jersey yang dipakai setiap mengaji Al-Quran. Lobe warna putih menghiasi kepalanya. Sekilas dia adalah ustadz cilik yang ikut pada salah satu kompetisi di TV swasta. Sebelum pergi ke ”mesjid bawah”, Itap meminta agar diajarkan cara mengambil wuduk. Perlahan-lahan dan ragu-ragu Itap pun mengambil air sumur dengan menghitung keras 1, 2, 3 saat masing-masing membasuh muka, tangan, ubun-ubun, telinga, dan kedua tungakainya. Niatnya tidak lebih dari bacaan bismillahirrahmanirrahim.

”Kapan ta-wa-rih-nya, Uda?, desak Itap kepada pamannya ketika mendengar ceramah ustadz menjelang solat sunah tarawih usai solat isya. Suaranya bernada bosan setelah melalui sholat isya empat rakaat yang telah membuatnya letoi.

”Ssssstttt, ngomongnya jangan terlalu keras Tap, dengar dulu ustadz itu”, Uda-nya (panggilan untuk Paman dalam bahasa Batak) menyambung, ”Orang pada gak suka nanti kalau kita ngobrol-ngobrol seperti ini”.

”Bosan!” bibirnya mulai maju mundur.

”Sudahlah sebentar lagi, ya”.

Itap pun mulai bereaksi menunjukkan kekanak-kanakannya. Kakinya mulai gelisah dan kepalanya berputar-putar mencari sensasi. Bahasa isyarat dia gunakan berkomunikasi dengan Mali yang berjarak tiga orang dari tempat duduknya. Sesekali Udanya pun menegurnya karena terlalu mengganggu perhatian jemaah lain kalau dia sudah berdiri. Tak berpanjang lebar layaknya yang diharapkan makmum pada umumnya, ustadz menyudahi wejangan ”kultum”-nya dengan menutup dengan ucapan hamdalah.

Itap berdiri ikut-ikutan. Sholat tarawih pun digelar. Puja-puji kepada nabi Muhammad SAW dikumandangkan pertanda solat dimulai.

“Setiap dua kali berdiri kok tawarih-nya selesai ya”, hati Itap bergumam, “kalau benar kata ustadz tadi berdasarkan kesepakan pengurus mesjid (BKM) ada 20 rakaat alias dibagi dua. Sepuluh flag-lah kalau begitu, itung punya hitung, gimana nyelesaikannya, baru satu flag, hah?”

Shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW berkumandang lagi sebagai seremoni vokal menyusul rakaat ketiga. Allahumma shalli ‘ala syaiyidina Muhammad wa’ala ‘alihi syaiyidina Muhammad.

Itap kembali berdiri gemulai untuk memulai tahap berikutnya.

“Baru satu flag, Uda! Ngantuk”, Itap berharap penuh untuk pulang ke rumah, tarawih itu sangat monoton membuat jenuh.

Sontak Udanya pun tersenyum sendiri mendengar kata flag yang terucap dari bibir mungil Itap. Sambil merasa geli si Uda pun merasa bahwa pikiran Itap telah dibalut istilah-istilah game di komputer milik ayahnya. Istilah flag sendiri digunakan pada permainan plant versus zombie yang gemar dimainkan mulai dari anak-anak hingga kalangan mahasiswa sekarang ini.

Di rumah, Itap memang rajanya main game. Hampir saja menurutnya fungsi utama laptop itu adalah hanya untuk bermain-main di dunia virtual. Itap hapal betul di direktori mana file game itu berada terutama game house yang biasanya satu paket dalam install ulang laptop di pasaran Medan.

Setiap kali berjumpa saudaranya yang memiliki laptop pun kerap dia menanyakan game apa yang yang dimilikinya. Mereka bisa bermain dari komunikasi lisan saja. Serta menanyakan tingkat level yang sudah dilewati. Semakin tinggi level yang sudah dilalui semakin dianggap sesepuh pula orang yang dimaksud dan semakin dihormati pula, sesekali dianggap sebagai guru. Mereka mengistilahkan dengan “raja game”.

Bulan Ramadhan ini Itap pantas mendapat predikat si raja game. Itap hampir saja merampungkan level terakhir dari plant vs zombie stage survival. Satu dari empat level terakhir yang paling prestisius kalau bisa dilewati. Sepengetahuan mereka belum ada yang bisa melewati stage ini. Perancang game ini pun mungkin telah merancang stage tersebut sebagai porsi yang tak bisa terkalahkan oleh penikmat game.

Hari-hari Itap pun syarat dengan dunia game. Sepulang dari sekolah, game menjadi bagian dari lauknya makan siang. Sambil melahap nasi putih, tangannya berpindah-pindah memegang sendok dan mouse. Mali yang sering diundangnya, posisi tengkurap menonton permainan yang prestisius menurut dia. Mereka berdua adalah tandem yang tepat menghadapi rintangan dunia game. Itap lihai mengontrol game, Mail tenang menjadi dukung dengan kata-kata ”aplaus”.
”Sudah tiga flag Uda”, raut mukanya masih masam. Anak keturunan Batak-Tionghoa itu pun tak bisa membayangkan akhir dari perjalanan si ”aktor utama” yang dia bayangkan adalah dirinya sendiri. Nyawa kura-kura yang mengarungi dan menyelamatkan telurnya dari oktopus pun sudah tinggal sedikit. Sekali kena jebakan habislah kura-kura. Kecuali di-restart ulang, jalan satu-satunya untuk memulai permainan yang paling dia tidak sukai sebagai si raja game.

”Kapan selesainya ini Uda, gimana kalau kita pulang duluan”, diskusi pelan terjadi di antara keduanya. ”Sssstttt, kita akan balik sebentar lagi Tap, kalau mau sholat, sholatlah. Bukan gini caranya!”.

Uda-nya pun sebenarnya mulai jenuh dengan sholat tarawih yang terasa monoton. Apalagi membayangkan mengikuti 20 rakaat yang dianut mesjid itu.

”Tap, dua rakaat lagi kita balik ya. Baik Uda sama Itap-kan?”

Itap pun mulai berbinar. Wajah cemberut yang mengiringi rakaat-rakaat hilang ditelan dua rakaat terakhir.

”Kita tinggal satu flag lagi!”, tegas Uda-nya memberi penjelasan, lalu mengangkat kedua tangannya dengan semangat.

”Allahuakbar!!!!!!”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun