"Tidak mau."
"Ambil sepeda."
"Tidak mau."
Dari dalam rumah, saya setengah berteriak, "Janganmi keluar nah, sudah mau malam."
Kejadian kemarin jelang berbuka puasa ini melempar saya ke ingatan bertahun-tahun silam di Sengkang.
Di masa saya bersekolah, selama Ramadan 30 hari, kami biasanya diliburkan. Di usia SD, intensitas bermain dengan anak-anak di lorong tempat saya tinggal pun meningkat.
Di jam-jam salat, beberapa teman biasanya bergantian memanggil saya di depan rumah untuk ke masjid dan tidak pulang. Sebab seusai salat, kami menghabiskan waktu untuk bermain.
Favorit saya adalah salat tarawih yang dilanjutkan begadang hingga pagi usai jalan-jalan pagi.
Apa yang kami lakukan semalam suntuk?
Seusai tarawih, kami biasanya berkumpul di pos ronda bersama orang-orang yang usianya di atas kami.
Di pos ronda kami menunggu waktu sahur dengan bermain petasan, domino, kartu remi, atau bermain pukul sarung. Di antara permainan itu, kami juga bermain sembunyi-sembunyi yang batasnya bisa hingga 3 lorong.
Pukul 2 pagi kami akan ke masjid, menyalakan pengeras suara dan berteriak membangunkan orang sahur. Setelah itu, kami mengelilingi 7 lorong kompleks sampil membawa galon kosong, ember, panci, dan benda apapun untuk dipukul agar bisa menghasilkan bunyi-bunyian.
"Sahur... Sahur..."
"Sahur pak... Sahur bu..."
Teman-teman saya bahkan ada yang bawa kayu atau besi dan memukul-mukul pagar rumah orang. Si pemilik rumah pun tidak jarang keluar marah-marah. Jika sudah begitu, kami sering kali lari kalang kabut.
Begitu selesai di lorong terakhir, kami mengembalikan semua peralatan sahur tersebut ke pos ronda. Lalu kembali ke rumah masing-masing untuk santap sahur.
Ketika adzan subuh berkumandang, kami akan kembali ke masjid untuk salat subuh. Selesai salat, kami akan berjalan kaki keluar kompleks ke jalan raya. Jalan raya sepanjang 2 kilomoter tersebut ramai oleh orang-orang berbagai usia, mulai anak-anak hingga lansia.
Para remaja yang pandai mengendarai motor akan balapan di jalan raya tersebut. Yang paling keren adalah mereka yang finish tercepat dengan membonceng perempuan.
Lewat pukul 7 pagi, jalanan tersebut akan sepi. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing dan tidur.
Sungguh masa-masa yang sulit saya lupakan.
Menginjak usia SMP, saya tidak lagi main dengan anak-anak di kompleks. Saya bergaul dengan teman-teman SMP, terlebih saya sudah bisa mengendarai motor. Saya pun jarang salat tarawih di masjid kompleks, tapi ke masjid raya yang letaknya di tengah Kota Sengkang.
Beberapa kali kami tidak tarawih, tapi hanya nongkrong di satu tempat; ngalor ngidul hingga jam sahur tiba.
Yang paling seru di masa-masa itu, bagi saya, adalah pacaran. Saya beberapa kali harus tarawih di masjid tempat si perempuan yang saya sukai tarawih. Syukur-syukur saya bisa memboncengnya pulang.
Yang paling menyedihkan adalah ketika saya harus nginap di rumah nenek di desa yang waktu itu sinyal handphonenya masih sangat terbatas. Saya tidak bisa keluar nongkrong dan terpaksa harus ikut bapak tarawih. Belum lagi harus ngaji berlembar-lembar karena saya tidak punya pilihan aktivitas. Aduh, betapa membosankannya.
Namun, bagaimana pun hal-hal inilah yang saya rindukan saat ini. Beberapa bulan lalu saya pulang kampung ke Sengkang selama 3 hari. Rumah tempat saya besar sudah hampir tidak ada. Sebab mama dan bapak, pindah ke Makassar. Rumah itu dibiarkan kosong.
Anak-anak lorong pun sudah tidak ada. Saya melihat kompleks yang dulu sangat ramai itu sudah sepi. Hanya lansia yang tetap berada di sana, anak-anaknya, seperti yang saya alami, pindah ke kota lain.
Saya dan ibu mertua kerap terlibat percakapan seperti ini saat melewati sebuah kompleks di Makassar yang juga dulu ramai. Anak-anak yang dulu anak-anak kini sudah besar, mereka meninggalkan rumahnya, orang tuanya, bahkan kota tempat ia belajar banyak hal untuk pertama kalinya.
Ada adegan Kathleen dengan Perry di The Last of Us S1E5 yang membicarakan kamar masa kecil tempat mereka dibesarkan.
"Kapan kamu terakhir kali mengunjungi kamar tempat kamu dibesarkan?"
"Tidak mungkin," jawab Perry.
Saya berhenti lama di adegan ini untuk mengingat kamar pertama saya di Sengkang. Entah berapa banyak kamar yang sudah saya tinggali sesudahnya.
Sejak merantau ke Jakarta, lalu pindah lagi ke Makassar, beristri dan punya anak; ingatan-ingatan Ramadan di masa kecil inilah yang selalu terbayang. Saya bingung meresponsnya.
Jadi, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah mengingat dan menuliskan catatan ini.