Pendek kata, Rasulullah adalah sosok gagah. Tongkrongan-nya berwibawa. Secara fisik, ia ideal, tak memiliki cacat yang memungkinkan itu menjadi bahan olok-olok orang-orang yang memusuhi dan menentang risalah yang ia dakwahkan. Sebab, sebagai risiko orang yang melawan arus, cacat fisik atau cacat moral sekecil apa pun pada dirinya bisa dibesar-besarkan sebagai alat propaganda untuk pembunuhan karakter agar orang-orang menolak risalahnya.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, salah seorang sahabat bernama Jabir ibn Samurah menggambarkan pesona Rasulullah, “Malam itu begitu cerah. Kulihat Rasulullah menyelimuti diri dengan jubah merah. Lalu, kutatap bulan … menurutku Rasulullah lebih menawan.”
Kita bisa membayangkan sosok Rasulullah dengan deskripsi di atas. Menghadirkannya di dalam pikiran dan menghayatinya di dalam rasa. Namun, sesekali mata ini seperti selalu rindu rupa. Penasaran. Sebagaimana Musa yang penasaran dengan sosok Tuhan, ingin melihat-Nya dengan mata telanjang, setelah ia mendengar suara-Nya secara langsung. Kita tahu, Musa adalah satu-satunya nabi yang disebut Al-Quran bisa bercakap-cakap secara langsung dengan Tuhan.
Kala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang telah ditentukan, dan Tuhan berfirman secara langsung kepadanya, Musa meminta, “Tuhan! Tampakkanlah diri-Mu agar aku bisa melihat-Mu.” Tuhan menjawab, “Sama sekali kau takkan sanggup melihatku.”
Tuhan menegaskan kata-kata-Nya. Ia meyakinkan agar Musa memikirkan ulang permintaannya itu.
“Kaulihat bukit itu … Jika ia kokoh di tempatnya, kau akan melihat-Ku.”
Bukit itu hancur lebur saat Tuhan hendak menampakkan diri di sana. Musa jatuh pingsan. Setelah siuman, Musa berkata, “Mahasuci Engkau! Aku bertobat kepada-Mu. Aku orang yang pertama-tama beriman.”
Kalimat italic di atas adalah isi ayat ke-143 dari surah al-A‘râf [7]. Dari ayat itu, jelas, bukan Allah tidak mau dan tidak mampu memperlihatkan diri untuk Musa, melainkan Ia terlalu perkasa untuk dilihat mata.
Di luar alasan itu, kita bisa memetik hikmah dan kebijaksanaan di balik penolakan Allah mewujud secara kasat mata di depan Musa itu. Sungguh tak terbayang jika saat itu Allah luluh oleh kerinduan Musa, memenuhi permintaannya untuk menampakkan diri. Kemudian, Musa merekam dalam ingatannya wajah Allah yang pernah tampak itu. Lalu, dari tutur Musa tersebar informasi deskripsi wajah Allah di tengah umat, turun-temurun kepada umat selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya hingga masa sekarang kita ada. Lalu, berdasarkan deskripsi tentang Allah dalam kata-kata, seseorang menerjemahkan Allah ke dalam rupa. Menggambar-Nya. Mencetak gambar-Nya, membelikan bingkai untuk gambar itu, lalu memasangnya di dinding rumah. Di bawah gambar itu tertulis: “INILAH WAJAH ALLAH BERDASARKAN DESKRIPSI YANG DITERIMA SECARA TURUN-TEMURUN DARI NABI MUSA”. Setelah dimangsa masa, gambar berbingkai itu lusuh. Seseorang yang religius akan mengatakan, “Sudah waktunya mencetak gambar-Allah baru untuk menggantikan gambar-Allah yang lusuh itu.” Seseorang religius yang buta akan menangis menyesali kebutaannya karena tidak bisa melihat wajah Allah dalam gambar.
Allah Mahasuci dari semua itu. Ia Mahabijaksana saat menolak permintaan Musa. Ia tak memilih hadir dalam rupa, tetapi dalam rasa, dalam jiwa, tak terpaku pada deskripsi dan simbol sehingga memungkinkan siapa pun untuk menghayati-Nya secara personal sesuai dengan kedalaman jiwa masing-masing.
Mahabijaksana Allah yang tak memajukan era digital ke masa Muhammad, saat orang bisa mengambil gambarnya dengan kamera sebagai kenang-kenangan untuk anak-cucu yang mungkin terlahir setelah Muhammad meninggal. Jika saja itu terjadi maka yang paling patut dikasihani adalah anak-cucu pecinta-Muhammad yang memiliki penglihatan kurang baik atau anak-cucu pecinta-Muhammad yang telah rabun karena tua. Bukankah setiap pecinta selalu ingin melihat orang yang dicintainya? Bagaimana jika ternyata ia memiliki penglihatan yang tak memadai untuk itu?
Maka, biarkanlah Rasulullah hadir dan hanya tergambar di jiwa: yang buta dan yang sehat mata akan selalu bisa menjumpainya, di mana pun, kapan pun.
Allahumma shalli ‘alâ sayyidina Muhammad!
http://jumanrofarif.wordpress.com/2010/05/21/menggambar-rasulullah/