Saya dan teman saya ini, sama-sama mempunyai kepedulian yg tinggi terhadap sepakbola nasional (meskipun saya hanya sebatas timnas). Kami sama-sama satu suara ketika sepakat berseru meminta Nurdin Halid dan kroco-nya turun dari singgasana PSSI. Kami percaya, bahwa sepakbola nasional sudah sampai ke titik nadir. Sepakbola yg harusnya adalah olahraga, berubah haluan jadi alat penggerak massa, kendaraan politik, dan bahkan prestasi timnas kita anjlok dalam 8 tahun terakhir. Singkat kata, kami sama-sama menyerukan "Revolusi PSSI" dan mengobarkan semangat revolusi di hati hingga Nurdin Halid beserta kroninya turun dari singgasana.
Beberapa bulan setelah itu, kami ternyata tidak di perahu yang sama lagi. Teman saya, yang notabene adalah fans Persib Bandung, ternyata berada di pihak yang berseberangan dgn saya. Berikut kira-kira percakapan saya dengan dia.
Teman: Bro, kok tulisan lu di Kompasiana ekstrim banget? Sejak kapan lu memihak ke Djohar?
Penulis: Haha.. Soalnya gue syok aja ngelihat aksi ekstrim KPSI. Bisa-bisanya mereka minta dukungan anggota DPR. Bahkan sampe uda dengar pendapat sama komisi-X lagi. Untung aja KPSI bukan bagian dari PSSI, kalo gak kita uda disanksi FIFA tuh.
Teman: Habisnya PSSI uda kayak rezim Nurdin dulu, bro. Sama-sama diktaktor. Seenaknya aja dia masukin klub gratisan ke liga Indo (dia nyebut ISL sebenernya, tp takut salah kaprah). Yaa kalo gw mencoba bijak, gw bisa-bisa aja sih nerima 6 klub itu, tapi si Djohar ga mikir apa? Bertanding 46x dalam setahun tuh capek gila. Mana di Indo ada libur puasa lagi, otomatis jadwal jadi super padat. Lihat tuh tim Inggris, kebanyakan bertanding bikin mereka gagal terus jadi juara dunia kan?
Penulis: Ah, Inggris mah cari kambing hitam. Gw ga yakin mereka main cuma 20x setahun pun bakal juara dunia. Terima aja, bro, permainan Inggris mmg lagi ga bagus tahun kemarin. Spanyol lagi digdya. Soal Indonesia, tanding 34x setahun aja ga pernah juara kok. Mungkin aja dgn tanding 46x jadi kelatih stamina sama mentalnya, sering main dalam jadwal yg dekat. Haha..
Teman: Aduh, bro, terserah lu deh. Lu ga liat aksi si Djohar di awal kepengurusan? Dia seenaknya aja nendang Alfred Riedl dari kursi pelatih. Diganti sama pelatih dari LPI yg jelek banget, si Om Wim, lu ga lihat kalo PSSI tuh sewenang-wenang? Dia lebih parah dari Nurdin brooo..
Penulis: Gw setuju sama lu soal Alfred Riedl. Pemecatan Alfred Riedl tuh sebuah blunder yang dilakukan PSSI. Sebenarnya PSSI bisa aja bikin kontrak baru dgn Alfred Riedl dan bukan memecatnya lalu ganti pelatih baru. Hanya saja menurut gw, sangat naif kalau mengatakan bahwa hanya dgn blunder ini saja lu blg Djohar lebih sewenang-wenang dari Nurdin bro.
Teman: Ah, pikiran lu uda rusak bro. Lu ga liat gimana ISL dibuang gitu aja lalu diganti IPL? Bales dendam, bales dendam tuh. Kita dulu menyerukan revolusi tetapi sebenarnya cuma mengganti Nurdin dengan Nurdin lainnya yg lebih jahat bro!
Penulis: Loh, IPL dibentuk sebagai bentuk keterdesakan PSSI karena PT LI menolak untuk diaudit saat itu. Okelah mereka mengaku sedang diaudit oleh auditor berafiliasi internasional (artinya auditor yg bekerja sama dgn auditor internasional, bukan auditor internasional), tapi kenapa ga pernah sekalipun disebut namanya? Toh, PT LI jg taw kalo PSSI sedang didesak FIFA waktu itu buat cepat2 menggulirkan kompetisi. Gw orang awam sih, tapi emang sesusah itu ya menerima Deloitte buat datang dan kemudian baru memperbincangkan tanggal auditnya? Kalo si Djohar mmg mau balas dendam, harusnya dari awal dia tendang semua "duri dalam daging" dari kepengurusan PSSI. Eh, ternyata dia masih nyisain banyak, dia juga masih ngerangkul PT LI di awal-awal. Coba lu pikirkan kenapa disisain sama Pak Djohar?
Teman: Bro, gw rasa lu uda lupa sama makna revolusi kita dulu. Lu uda lupa semuanya! Kita baru saja mengganti tirani dengan tirani lainnya!
Penulis: Memangnya apa makna revolusi PSSI dulu sih? Apakah makna revolusi PSSI dulu adalah memperjuangkan kompetisi agar diikuti 18 klub saja? Apakah makna revolusi dulu mempertahankan Alfred Reidl sebagai pelatih timnas? Apakah makna revolusi dulu mempertahankan ISL sebagai satu-satunya liga resmi di Indonesia? Gw rasa bukan itu, bro.. Jujur, gw juga marah ketika PSSI memecat Riedl, gw juga marah ketika ada 6 tim dari antah berantah tiba2 dipromosikan ke divisi utama, tapi apa hal-hal tersebut membuat gw harus menyerah dalam revolusi ini? Ingat bro, saat ini cuma ada 2 pihak dalam kisruh sepakbola nasional, pihak PSSI di bawah Djohar Arifin dan pihak KPSI di bawah Hinca Panjaitan. Tidak ada tempat untuk netral. Sekalipun 90% pecinta sepakbola di negeri ini abstain (netral mania), kalau 9% sisanya memilih salah satu pihak, maka pihak yg dipilih itu akan tetap menang. Jangan sia-siakan suaramu! Gw taw kalau Djohar ga sempurna, tapi memilih untuk menyerahkan KPSI ke tangan orang2 yg sudah gagal selama 8 tahun membuat gw muak. Sadarilah bro, KPSI itu adalah orang2 lama yang ingin merebut kekuasaan kembali dan menyamar bak malaikat penyelamat. Daripada gw serahkan PSSI ke orang-orang itu, lebih baik gw serahkan PSSI ke Pak Djohar. Beliau less talk, more action. Visinya jelas, program kerjanya mantap, dan yg paling penting sudah ada eksekusinya, bukan cuma guyonan di bibir saja seperti era Nurdin dulu.
Ketika dulu gw menyerukan revolusi, yang gw serukan bukan mempertahankan ISL, ALfred Riedl, atau 18 klub dalam 1 kompetisi. Yang gw serukan adalah perubahan pengelolaan sepakbola nasional dan pembinaan para pemain kita mulai dari yg muda sampai yg senior. Gw ingin kompetisi bersih, bebas dari segala peluang korupsi, hapuskan penggunaan APBD dari sepakbola profesional, bentuk klub dan liga yg profesional, bebas praktek suap dan mafia judi, kedepankan transparansi dan akuntanbilitas, bentuk pembinaan pemain muda yg berjenjang jangan yg instan instan saja, dan tentunya kemajuan bagi sepakbola itu sendiri.
Ingat Bro, itu yg penting, itu maknanya. Apa lu lihat pihak yg satunya membawa makna revolusi yg dulu kita perjuangakan? Gak bro, gak sama sekali. Saat ini kita bukan memilih yg baik dari yg buruk, tapi memilih yang lebih baik dari yg lebih buruk. Pilihan itu harus dilakukan. Daripada menyerahkan pada mereka yg telah gagal mengurus sepakbola selama 8 tahun, lebih baik gw pilih yg baru bekerja 6 bulan dan belum terbukti gagal.
Teman: Tapi bro, tapi bro, iya sih.. Gw setuju sama pendapat lu mengenai makna revolusi, tapi baru 6 bulan aja Djohar uda kacau gini. Dia lebih gagal daripada Nurdin..
Penulis: Baru 6 bulan bro. Pikiran lu tuh udah mulai rusak kebanyakan makan mie instan. Sepakbola tuh ga kayak cabe, efek pedesnya bisa lu langsung rasain semenjak lu kunyah. Sepakbola butuh waktu, bukan sehari, bukan sebulan, bukan setahun, tapi 1 periode. Kasih lah dia waktu 5 tahun, kalo gagal ya tinggal ganti aja. Sekarang gw tanya, kalau lu mau ganti Djohar, memangnya lu mau ganti siapa? Dahlan Iskan? Joko Widodo? Sutiyoso? Jujur aja, kita belum punya sosok pengganti yang pasti lebih bagus dari Djohar Arifin. Kalau-kalau kita main asal lengserin trus ganti tanpa siapin pengganti yg tepat, bisa2 org-org lama yg berkuasa kembali. Atau org2 baru yg mudah dikibulin sama penguasa lama. Jangan tergesa-gesa bung.
Teman: ... Kasih gw waktu berikir bro.
Perbincangan mengenai sepakbola berakhir saat itu. Teman saya terlihat berpikir keras. Kami pun menyudahi santap malam dan kembali ke kos masing-masing. Mungkin kata-kata saya tadi agak keras, tapi itu perasaan hati saya yg terdalam. Kira-kira apa ya yang dipikirkan oleh teman saya?
Maju terus sepakbola Indonesia!