Narasi-narasi seperti "demokrasi mati," "demokras" atau "democrazy," mereka jual kepada mahasiswa-mahasiswa yang kurang literasi demi memenuhi keinginan mereka untuk membatalkan apa yang telah terjadi. Anehnya, mahasiswa yang seharusnya kritis mempertanyakan dengan seksama bagaimana demokrasi itu mati? Apa penyebabnya? Dan apa solusinya? Malah sibuk membakar ban di jalan untuk mengusir nyamuk. Agaknya mereka telah terbuai oleh narasi candu dari petinggi agama dan obat gosok dari para pemangku kekuasaan yang gila jabatan. Memang tidak semua seperti itu, namun sebagian besar dari mereka yang terhormat memiliki penyakit yang sama, yakni gila kekuasaan.
Mungkin memang benar apa yang Soekarno katakan, perjuangannya tidak lebih berat karena melawan penjajah. Dan perjuangan kita yang lebih berat karena melawan bangsa kita sendiri. Sedikit berpaling kepada filosof Yunani kuno, mungkin ada benarnya yang Aristoteles katakan tentang keburukan-keburukan Demokrasi. Jadi, untuk itu saya tidak terlalu berharap lebih kepada demokrasi.
Akan tetapi kepada yang terhormat, pemangku kekuasaan, dan petinggi agama, saya sangat berharap. Mereka lebih mengajarkan dan memberikan edukasi yang mengarah kepada toleransi dan literasi yang menjunjung persatuan. Bukan malah memprovokasi rakyat, terutama adik-adik yang baru saja menginjak umur dewasa dan masih euforia dengan statusnya sebagai mahasiswa.Â