Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta dan Payung di Kala Hujan Part 3

7 Februari 2012   11:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57 171 0



Mengapa hujan terlalu banyak terjatuh? Tidak seharusnya dan tidak biasanya dalam bulan april ini hujan sangat menunjukkan superiornya. Hanya ada coklat vanilla panas dengan garis-garis uap yang menari di antara bibir menawan gela
s bundar tersebut, tepat di depan sucinya hamparan kertas A2 ku, yang telah hampir 20 menit masih suci, perawan, tidak tersentuh seniman berlabel 2B. Dalam kehidupan ini aku hanya mengenal konsep dan keagamaan. Aku tidak pernah tau, tidak pernah ingin tahu dan tidak pernah percaya tentang pencapaian 2 anak manusia yang memadu cinta dalam prahara chemistry. Dimana cinta datang tanpa ada pengenalan, dimana ketika seorang pria dan wanita pertama kali bertemu, bertatapan mata dan jatuh cinta. Yang aku tahu, prahara cinta 2 anak manusia terbangun dalam hubungan yang cukup lama hingga mereka saling mengerti. Itu sebabnya aku selalu percaya dengan konsep. Termasuk dalam hubungan percintaan.


Aku sudah lama berhubungan dengan randy, 9 tahun lamanya. Dia cinta pertama ku. Dan dalam hidup ku hanya dia satu yang mampu menanamkan bulir-bulir cinta. Aku dan dia telah saling kenal sejak umur kami masih sangat belia. Ingusan lebih tepatnya. Lalu perpisahan tidak dapat dibendung. Kini hampir 5 tahun aku sendiri. Aku tahu persis diri ku. Aku tahu bagaimana aku berfikir tentang konsep. Aku selalu mendamba seorang pendamping yang seperti randy. Dia mampu menumbuhkan cinta jauh dan berjangka panjang dalam hati ku. Mungkin itu yang menjadi konsep percintaan ku. Dan mungkin itu pula yang membuat aku betah sendiri hingga 5 tahun lamanya.


***


Alam seperti bermuka dua. Hari ini semakin deras hujan turun. Pukul 13.12 siang aku tersadar dalam lembut embun yang bahkan tidak pernah meninggalkan ruangan kamar ku sejak kemarin malam. Mungkin ini konsep yang salah dari manusia dalam pembangunan. Alam berubah sifat. Mereka menggertak agar kita tidak memperburuknya. Dalam tiap jarum-jarum hujan yang membentur bumi, aku mendengar dentuman nada-nada kata yang bersimphony menjadi pesan. Samar bahkan menjurus tidak terdengar. Terkadang terjadi begitu sering. Kadang membuat ku mengantuk hingga terlambat kuliah. Ini lah yang ku sebut konsep symphony alam. Para penyaji makanan kelabakan, lapak dagang berhambur tersiram deras hujan, eksekutif-eksekutif muda—pria dan wanita—luntang lantung berlarian menghindari titik-titik air yang hinggap di kain sutra di tubuhnya di pingir jalan-jalan protokol di tengah superiornya gedung-gedung perkantoran, anak kecil berdansa tidak gemulai seakan merayu hujan, tarian kala hujan. Para ibu berteriak lantang kepada anak mereka yang malah tersenyum bermandikan air hujan. Cucian-cucian, sepatu hingga celana dalam segera di angkat dari peraduannya, bersiap menanti matahari esok pagi, bersiap tidak akan kering hari ini. Di gank-gank penuh sesak dalam pesona padatnya kota tiba-tiba diam, hanya ada benturan percikan jarum-jarum hujan yang jatuh menghantam peradaban. Anak berpobia hujan semakin menghujat, air mata deras terjatuh sederas hujan di luar sana.


Menikmati yang seharusnya dinikmati. Teh hijau dan bolu kukus buatan ibu, melankolisnya embun di beranda mata, indahnya dunia. Tiba-tiba handphone ku berdering. Fatur menelfon ku. Begini, paparan kehidupan adalah apa yang kita percaya dan kita pertahankan untuk diubah menjadi nyata. Seperti ketuhanan dan konsep mimpi dan cita-cita.


***


Ingatan ku masih segar tentang perkataan Dian

“Sampai kapan mau kukuh dengan konsep yang idealis tentang kehidupan? Sampai nanti tersadar bahwa cinta tidak akan ada yang datang? Cinta seperti Randy tidak akan sama di dapat”.


Seperti keracunan oksigen. Fikiran yang kalang kabut di dalam lingkup tubuh yang datar. Lalu hujan seperti mengepungku di berbagai arah. Seragam dengan garis-garis muka yang pudar dari goyahnya kepercayaan selama ini. Sepi di derasnya gemericik benturan hujan yang menghantam bumi. Gegap tak gempita fikiran ku melanglang buana ke negeri perenungan. Terkadang aku berfikir Dian seolah mengajarkan ku yang benar, di satu sisi terasa seperti memaksa dan mengatur hidup ku. Dalam selaras langkah kaki ku menuju rumah dengan payung musim panas ku ini. Bila di fikir, mungkin perkataan dian benar. Bahkan dalam menghantam musim kemarau dan penghujan aku memiliki konsep tentang penggunaan warna payung. Biru untuk kemarau, merah untuk hujan. Bukan tanpa sebab pemilihan warna tersebut.


***


Hujan, itu teduh terbalutkan air.

Tiba-tiba saja hujan, aku yang mengira akan cerah pun lupa membawa payung biru ku. Di kota ini, bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi, payung menjadi rumah teduh untuk bersahabat dengan hujan. Di gedung ini, mall terbesar di kota ini, tempat ku dan dian kerja part time sebagai SPG . Tiap kali hujan datang para pengumpul rupiah receh tiba-tiba berlalulalang. Menari kesana-kemari seperti sebuah Drama Musical “Tarian Hujan Para Pengumpul Rupiah”. Aku selalu dalam situasi seperti ini menggunakan jasa mereka. Ada puluhan dari mereka. Aku tidak memilih, langkah kaki ku telah berjalan di bawah payung sewaan ini. Dalam sudut kereta bersopir ugal-ugalan yang isinya penuh sesak, benak ku kembali.


***


“Sudah berapa lama kerja beginian?”


Dia menahan kata. Seakan buta perkataan. Mungkin ini terlalu sensitif baginya. Kami lama terdiam saling berhadapan. Sulit memang, membuat semua mencair dalam dinginnya jarum-jarum hujan yang tergenang dalam air muka kami berdua.


“Ga sadar yah?! Tenyata aku sering make payung kamu lohh?!”


Ada keheningan yang cukup lama disana. Aku mulai frustasi mengajaknya berbicara ketika


“Payung itu sengaja aku beli khusus untuk  kamu pake!!”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun