Kembali ke ruang tengah tadi, masih terjadi keributan seperti pasar tiban atau mungkin rapat dewan saja. Padahal saya sebagai calon pelaku pernikahan hanya mematung menyaksikan. Agendanya nggak sebatas nikah di gereja mana, meski sudah pasti, saya akan melakukan janji pernikahan ya di gereja paroki saya saja. Ribet kalau menikah pakai milih-milih gereja, wong saya sudah terdaftar di paroki tersebut. Itu baru gereja. Padahal posisinya saya kan merantau. Jadi pasti akan lebih ribet lagi ngurusnya. Sedangkan 2 kakak saya di Jogja muslim, kakak saya yang seiman dengan saya berada di jawa timur. Belum ada kata sepakat. Saya hanya manggut-manggut, karena selalu dianggap bawang kosong. (atau bahkan nggak dianggap suaranya?-ini yang benar-)
Menurut mami, mau udah jaman modern dan semua serba instant-praktis, tetapi apabila punya gawe atau hajatan, nggak afdol kalau di rumah nggak ada masak-memasak. Minimal yaa..untuk sesajinya-lah. Belum lagi tetangga pasti kebingungan mau bantu apa kalau di rumah sang empunya hajat tidak ada kesibukan apapun, mati gaya gitu deh..
Jadi, sekarang yang menjadi pokok pembahasan adalah menu. Mulai dari appetizer, main course, sampai dessertnya. Membahas menu ini, mereka bisa beradu nyaris berantem.Heran saya, yang satu minta sop ini, satunya sop itu, yang lain sop iti inu. Kuenya ini, jangan pesen disana kadang bantet, disitu keasinan, dimana lagi suka gosong. Es-nya enak es puter dalam cup, si mami minta es seperti jaman beliau menikah puluhan tahun lalu dengan papi. Nah looohhh...
Oia, gedung, perias, undangan, souvenir dan baju pengantinnya seperti apa? Nah, ini dia....yang saya tunggu-tunggu. Yup, saya minta mereka berempat untuk diam dulu mendengarkan argument saya sebelum terjadi pertumpahan ludah---oppss maaf---
Saya hanya inginkan upacara pernikahan sederhana di gereja, dengan busana pengantin sederhana design saya sendiri, pun undangan dan souvenirnya semua saya design sendiri. Saya menolak dengan halus tatarias pengantin adat, selain mahal, ribet saya malu nggak percaya diri, berjam-jam didandanin seperti wayang, dimana saya akan terlihat seperti manequin jawa, ditonton sekian banyak orang, dipajang di depan. Iihh...saya malu....seperti pentas ketoprakan atau wayang orang. Saya tidak PD, saya pendek, gemuk,pasti makin lucu kelihatannya.
Jadi saya akan tetap mengenakan rok panjang dari batik dan kebaya modern warna putih, dengan rambut tertata alami dengan sedikit hiasan rambut sederhana serta riasan natural. Saya akan berbaur dengan semua tamu. Dan itu dilakukan setelah misa sakramen pernikahan selesai di panti paroki. It’s so simple.
---Bayangan itu indah, terurai melalui kalimat panjang mengalir lancar dari mulut saya---
Belum selesai pada kalimat penutup, sontak kakak&mami saya mengajukan protes keras setengah memarahi saya. Saya pun kecut, ibarat kura-kura, saya masuk ke cangkang, saya takut dengan gemuruh suara mereka. Beneran, saya paling takut. Diantara kami berlima, hanya suara saya yang paling pelan-lembut-seperti suara saya takut keluar dari kerongkongan kalau berhadapan dengan suara mereka yang berdialek Surabaya itu. Saya sendiri dibesarkan eyang di jogja. Bahasa saya medok-meski tidak semedok mereka, tapi paling lirih.
Nah, saya ulang, belum selesai menutup kalimat, mereka berempat berebut memarahi saya. Saya dibilang tidak bisa mengangkat harga diri mami (keluarga). Hajatan terakhir haruslah gede-gede-an (habis-habisan, jor-jor-an). Mereka berani menyumbang deh untuk itu semua terwujud. Bahkan 2 kaka perempuan dan 1 ipar saya berjanji akan diet biar langsing-cantik saat pakai kebaya seragam nantinya. Idih segitunya ya?
Jadi, masih menurut mereka, saya harus, wajib, kudu manut-nurut apa kata mereka. Karena mereka memproklamirkan sebagai orang yang berpengalaman. Saya, si bungsu cukup ngikutin apa yang akan mereka kehendaki. Semua atas nama harga diri keluarga. Ibarat saya boneka. Diapain aja harus diem. Toh semua untuk kebaikan kamu juga, dalih mereka. (waduh-waduh saya siap di-bully)
Hmmm....saya capek diomelin, melawan, beradu argumen, bahkan dengan santun dan penuh hormat saya ajukan keinginan saya seperti diatas. Semua nol bagi mereka. Saya dinilai terlalu modern, seenaknya, cuek, nggak bisa berkeluarga dalam arti sesungguhnya. Coba??
---Akhirnya saya cukup meng-iya-kan saja apa yang mereka berempat putuskan, mau melawan dengan kalimat apalagi?---
Tunggu-tunggu, ngapain mereka berempat meributkan semua yang saya uraikan diatas? Akhirnya saya bilang dengan santai: kapan saya nikah? Nah belum tanya kan? Saya sudah menentukan pilihan pendamping atau belum? Saya sudah punya pacar pun mereka nggak tahu...
Tanpa ambil suara terlebih dahulu mereka serentak bertanya: “Emang pacarmu sekarang siapa?”.
****
----Hahahahahaa....perundinganpun bubar bukan karena saya tidak menjawab pacar saya siapa, tapi saya diselamatkan oleh kedatangan sahabat saya yang menjemput saya untuk menhadiri pernikahan sahabat kami yang lain. MERDEKA!!---