Sebagai mahasiswa Farmasi, sebenarnya jadwal 24 jam sehari itu sangat sempit sekali. Rata-rata saya menghabiskan waktu di kampus dari pukul 7 pagi sampai 12 siang untuk mengikuti mata kuliah teori dari pengajar, beristirahat sampai pukul 2 siang untuk mengikuti aktivitas di laboratorium macam-macam sampai jam 6 sore. Dalam waktu istirahat yang singkat itu pun kami biasanya harus sudah makan siang, sholat, menghapal teori untuk tes masuk lab dan tak heran juga bila ada yang masih mengerjakan laporan hasil percobaan minggu sebelumnya. Hampir 90% mahasiswa farmasi tidak aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler semacam himpunan mahasiswa atau senat.
Tetapi, bagi saya hidup itu harus bervariasi. Maka selain kuliah yang begitu padat sayapun tak henti-hentinya mengikuti banyak sekali kegiatan ekstrakurikuler dan aktif di himpunan mahasiswa dan senat. Pergaulan dan aktivitas yg banyak ini mengenalkan saya pada gerakan demonstrasi dan unjuk rasa. Pada tahun-tahun itu tentu yang paling dihighlight adalah pemerintah Orde Baru yang tidak demokratis. Namun saya tidak ingin mengikuti aktivitas demo dengan alasan yg sangat simple, gak mau panas-panasan :D.
Kembali ke gerakan unjuk rasa di tahun 1998 itu, itulah pertama dan terakhir kalinya saya mengikuti unjuk rasa. Bahkan kakak saya yg saat itu berada di tahun akhir masa perkuliahannya dan bukan tipe mahasiswa yang senang berorganisasi pun ikut. Mengapa? Simple saja. Karena mahasiswa. Saat itu baik mahasiswa model segitiga (kampus-perpus-rumah) atau pun mahasiswa yang peduli pada nasib bangsa, turun ke jalan.
Kami berkumpul di gedung DPRD menggunakan jas almamater, berbaris rapi dengan masing-masing dikoordinir oleh seorang pemimpin. Sepanjang jalan menuju lokasi demo yang terjadi adalah banyak sekali rumah penduduk yang mengelu-elukan kami, kadang menawarkan minuman bahkan ada yang dapat makan siang gratisan dari beberapa pemilik warung makan. Mahasiswa adalah pahlawan penyelamat yang mampu memperjuangkan nasib bangsa. Mahasiswa menjadi sosok yang sangat membanggakan. Bahkan saat demo berakhir sore itu saya masih ingat sekali, ketika menyetop angkot untuk pulang ke rumah, sang supir berkata "Pak, Buk kasi tempat duduk buat adek-adek mahasiswa kita ini" dan kami pun dilarang membayar ongkos.
Setelah pergantian pemimpin, republik menjadi ajang demokrasi yang secara perlahan-lahan menjadi cukup memuakkan. Bukannya bertambah baik, kelakuan pemimpin yang mengaku menjadi wakil rakyat malah lebih rakus dan tidak beretika. Dimanakah mahasiswa pada waktu itu? Saya pun masih mahasiwa sekitar tahun 1998 - 2001 sebab selepas menamatkan sarjana, saya melanjutkan kuliah profesi. Selama tahun-tahun itu saya sama sekali tidak ingin ikut lagi dalam kegiatan demonstrasi besar. Mengapa? Sebab ternyata mahasiswa mulai merasa sombong dengan sosok heronya yang telah menyelamatkan demokrasi di negeri ini. Mereka mulai sibuk berorasi sana-sini dengan kalimat yang makin lama makin arogan. Bahkan beberapa di antara teman-teman saya sengaja memancing emosi aparat keamanan untuk menciptakan suasana unjuk rasa yang lebih "fantastik", semakin fantastik unjuk rasa itu dengan lemparan batu, siram-siraman gas airmata, peluru karet dan lainnya, maka mereka akan makin bangga menceritakan kehebatan dan keberanian mereka saat berdemo.
Berita-berita di surat kabar dan televisi juga internet mengatakan bahwa aksi mahasiswa disusupi pihak preman yang menyulut kekerasan. Preman? preman yang mana? Mahasiswa yang preman, ya. Tapi yang preman beneran mungkin hanya sebagaian kecil saja. Sisanya itu, mahasiswa beneran koq. Mahasiswa pun kehilangan simpati dan respek dari rakyat. Demo menjadi momok besar yang menakutkan, dan yang menjadi korban adalah mereka sendiri serta keluarganya.
Saya merindukan saat mahasiswa mampu mengendalikan emosi dan arogansi mereka ke dalam bentuk demokrasi yang lebih halus dan bersahaja. Pemimpin kita pun sebenarnya berasal dari mahasiswa bahkan ada seorang yang dulunya menjadi ketua pergerakan mahasiswa besar di indonesia yang akhirnya sekarang menjadi salah seorang yang dicurigai terlibat dengan kasus korupsi.
Menjadi mahasiswa itu tidak mudah, dengan kata MAHA di depan saja kita sudah lebih dari yang lainnya. Lebih tinggi tingkat intelektualitasnya, lebih mahal biaya pendidikannya, lebih dewasa dalam bersikap dan kelebihan lain yang harusnya memang kita miliki. Jadilah sosok mahasiswa yang menjadi pahlawan pada tempat dan waktu yang tepat.