Mohon tunggu...
KOMENTAR
Edukasi

"Julianto, Mamamu Capek Jadi AKU Panggil"

5 November 2011   09:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02 1344 7
[caption id="attachment_143453" align="aligncenter" width="286" caption="Ill. Google"][/caption] By. Julianto Simanjuntak" Jika aku rindu Mama, aku mencoba sesekali berziarah. Kadang hanya menuliskan sesuatu tentang Mama. Ini adalah kisah bagaimana Mama dipanggil Tuhan ke sisiNya, 17 Januari 1988. Bedanya hanya tujuh hari dengan hari meninggalnya Papa. MERANTAU DENGAN MOTOR BUTUT 16 Januari 1988, adalah hari yang paling membahagiakan sepanjang hidupku hingga di usiaku yang ke-25. Hari itu aku di wisuda. Bagiku kuliah, apalagi sekolah di Jawa adalah suatu miracle. Saat mau merantau meninggalkan Kota Medan tahun 1982, Papa dan Mama tak punya uang mengongkosiku. Jangankan bayar kuliah, untuk beli tiket Kapal saja tidak ada. Agar kami sekeluarga bisa makan, Mama harus jualan nasi Soto Ayam di Pasar Sambu-Medan. Pembelinya adalah para tukang becak, dan pedagang sayur. Sebab Gaji Papa sebagai Polisi saat itu hanya cukup membeli obat dan membayar rumah sakit. Sejak tahun 1975 Papa menderita komplikasi. Tak disangka, saat aku menyatakan kerinduan kuliah ke Jawa, Papa memutuskan menjual sepeda motornya. Sepeda motor butut satu-satunya kenderaan Papa ke kantor. Kata Papa, dia rela naik angkot (bus) ke kantor agar aku bisa mengadu nasib ke Jawa. Papa baik sekali, meski masa lalunya adalah seorang alkholik dan suka main judi. Jamahan Tuhan, mengubah hidup Papa selanjutnya. AKU WISUDA, MAMA TIADA Setelah berjuang lima tahun (1 tahun menganggur di Jogja), aku lulus dari seminari di Batu-Malang. Kebahagiaanku hari itu bertambah, karena aku dipilih sebagai wakil wisudawan menyampaikan Pidato kelulusan. Namun, saat turun dari mimbar usai menyampaikan sambutan wisudawan, seorang dosen mendekatiku. Dia membisikkan sesuatu yang membuatku lemas: "Mas, sorry saya harus menyampaikan berita ini. Ada telegram yang menyatakan Ibu Mas Julianto dipanggil Tuhan pagi ini..." Saya segera keluar ruangan acara wisuda, menuju kamar ku di asrama, di sana saya menangis sepuasnya. Lalu beberapa dosen dan mahasiswa datang menghiburku. Dalam waktu kurang dari dua jam, teman temanku membuat aksi sosial, mengumpulkan sumbangan. Agar aku bisa segera pulang dengan pesawat menuju Medan. Luar biasa. Tak terlupakan. PROTES TUHAN Siang itu aku langsung ke Surabaya, dan membeli tiket menuju Medan dengan transit di Jakarta. Sepanjang pesawat menuju Medan, batinku bergolak, protes keada Tuhan. "Mengapa Tuhan Memanggil Mama? Papa sedang sakit dan membutuhkan Mama, Mengapa...? Mengapa bukan Papa, yang memang sudah sakit hampir dua tahun. Mengapa Mama?" Tak ada jawaban. Batinku makin resah, hanya bisa menyalahkan Tuhan. Saya membayangkan Papa yang sedang sekarat, setelah bergumul 20 bulan dengan Kanker Paru. Di tengah mendampingi Papa sakit, Mama terkena maag akut, dan meninggal karena pendarahan. Siapa yang akan jaga Papa? Saya mencoba menenangkan diri, namun tetap saja gelisah. Saya mencoba mengganti pertanyaan, seperti yang pernah diajarkan seorang dosenku. JAWABAN TUHAN "Tuhan, apa maksudmu Memanggil Mama?" Tidak lama ada suara halus menjawab pergumulan batinku. Jawaban yang langsung mengubah perasaanku: "Mamamu terlalu capek, jadi Aku panggil dia ke sisiKU." Meski singkat jawaban itu mengubah jiwaku. Benarlah apa yang pernah dikatakan kakak tingkatku, "Rencana Tuhan tidak sama dengan rencana manusia, dan manusia sulit memahami rancanganNya." Setelah mendapat penghiburan Tuhan, sepanjang sisa perjalanan pesawat saya mencoba memutar ulang kasih Mama kepada kami. PERJUANGAN MAMA Perjuangan Mama luar biasa. Sambil menjaga Papa sakit, Mama berjualan. Mama pernah berjualan nasi Soto di pasar basah. Namun sejak papa sakit, Mama berjualan baju dan sepatu, dan apa saja temasuk buku rohani. Dia lakukan itu supaya bisa menambah biaya obat Papa. Yang penting tidak terikat di warung. Sebab sebagian besar waktu Mama menjaga Papa di Rumah Sakit, terutama pagi dan malam. Mama membawa kompor masak ke rumah sakit, supaya dia bisa masak dan menghemat. Untung saat itu masih dapat ijin. Sungguh tidak mudah perjuangan Mama. Kami pernah kaya, ya Mama memiliki kekayaan dan kesenangan. Kekayaan Hasil keringat Mama sendiri. Dia berjualan kelontong, dan sangat laku. Itu pengalaman keluarga kami saat masih di Tanjung Balai Asahan (1970an). Sejak tahun 1975 mulailah penderitaan Mama. Hal terbesar adalah saat harus menjual 20 Kg emasnya menebus bapak dari penjara, akibat kebiasaan judi Papa. Setelah peristiwa itu Memang Papa berubah, dia tidak mabuk dan main judi lagi. Tapi gantian, penyakit menggerogoti tubuh Papa. KOMITMEN MAMA Dua tahun sebelum Papa kena kanker, Mama mengumpulkan kami bertujuh. Semua anak Mama semua pria, tak ada satupun perempuan. Dia mengatakan komitmennya di depan kami: "Anak-anak, Mama minta kalian setia terhadap perkawinan. Jangan ada yang menceraikan istrinya. Lihat, Mama. Meski banyak menderita dengan Papa, Mama berjanji akan menjaga Papa kalian sampai Papa dipanggil Tuhan." Ahh...Mama, benar-benar menjalankan tekadnya. Dia menjaga kami, dan setia menemani Papa selama hidupnya, bahkan saat sakit Papa begitu keras. Dia tidak meninggalkan harta, tapi TELADAN cinta dan kesetiaan. Sungguh indah dan berharga. Mama sudah pergi, dipanggil sang Khalik. Seminggu setelah Mama meninggal, Papa yang sudah koma saat Mama menghembuskan nafasnya yang terakhir, menyusul Mama. Hanya beda seminggu saja. Ahh, kalian Benar-benar sehidup semati. Selamat Jalan Mama, Selamat beristirahat di alam baka bersama Bapa. Selamat jalan Papa. Terima kasih untuk sepeda motor yang Papa jual untuk aku, sehingga aku ada seperti sekarang ini. Papa baik, Papa hebat. Kami akan mengenang kasih sayang kalian, meski tidak sempurna kalian orangtua yang terbaik bagi kami. Sambil mencoba menjadi orangtua terbaik bagi cucu-cucu kalian. Sampai kita bertemu di kekekalan nanti.

Menguji "Cinta Palsu" (Bang JS)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun