Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Just Give Them What They Need

26 Oktober 2011   21:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:28 118 0

“What do you feel studying in school that only consist of boys?” Sebuah pertanyaan yang muncul secara spontan dari mulut saya kepada sekelompak pelajar remaja belasan tahun di ruang perpustakaan yang penuh dengan buku itu. Secara kompak dan spontan mereka menjawab “We feel comfortable because there is no distraction from girls” :)

********

Welcome desk of Turve Green Boys' School

Perjalanan saya kali ini sampai di sebuah sekolah menengah di sudut kota Birmingham. Sekolah itu bernama Turve Green Boy’s School, sebuah sekolah menengah yang dirancang khusus untuk siswa laki-laki yang berorientasi teknologi. Saya beruntung karena mencantumkan module Observasi, Evaluasi dan Supervisi Pendidikan sebagai mata kuliah pilihan di form rencana belajara term pertama saya di University of Birmingham ini. Meskipun status module ini terhadap course saya sifatnya audit dan hanya sit-in (hanya mendengar perkuliahan tanpa dibebani tugas dan assignments yang mampu membuat rambut keriting :), saya tetap diberi kesempatan berkunjung ke beberapa sekolah di Inggris selama proses perkuliahan berlangsung sebagaimana mahasiswa lain yang mangambil mata kuliah ini. Bagi saya ini adalah sebuah kesempatan emas untuk meninjau secara langsung system pendidikan yang dipakai di Negara maju seperti Inggris dan membandingkannya dengan system pendidikan di Indonesia (meskipun sifat perbandingannya dalam ruang lingkup yang sangat sederhana). Saya ingin melihat dari dekat bagaimana mereka melayani kebutuhan pendidikan di negri ini. Apa faktor yang paling signifikan yang mereka terapkan sehingga mereka mampun menciptakan mutu pendidikan yang baik. Setidaknya ini bisa menjadikan bahan perbandingan bagi saya ketika kembali ke sekolah saya nun jauh di Sumatra sana kelak.

Pertanyaan saya kepada para pelajar di atas, mungkin terkesan sangat konyol dan sifatnya sangat pribadi atau justru sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab secara langsung karena tidak penting. Namun tidak bagi para pelajar ini, mereka justru memberikan jawaban yang sama dan kompak dan percaya diri bahwa anak perempuan bagi mereka seumpama pengganggu dan akan menghambat kebebasan mereka dalam berekspresi. Jawaban ini membuatku sedikit tertegun, karena secara umum seorang remaja yang mulai memasuki masa-masa pubertas akan mulai merasa penasaran terhadap lawan jenisnya. Biasanya usia awal belasan, para remaja akan malu-malu membicarakan lawan jenis tapi di sisi lain keinginan untuk mengetahui dan mengenal lebih jauh juga semakin meletup-letup.

Di samping itu di usia ini para remaja memiliki jiwa yang masih labil dan sulit diatur, sebab di sini waktunya bagi seorang Berbagai hal akan mereka coba demi upaya menemukan dan menggali apa dan siapa “aku” mereka sesungguhnya. Pada masa ini juga para remaja akan berusaha mengekpresikan diri lewat sikap dan prilaku yang dipertunjukkan kepada lingkungan yang pada gilirannya merupakan sebuah tuntutan pengakuan akan jati diri. Tak jarang di usia labil ini, remaja bertindak di luar dari garis dan norma yang dianut oleh masyarakat. Terkadang rasa ingin tahu yang sangat tinggi pula lah yang membuat mereka melanggar aturan-aturan yang berlaku di keluarga atau di sekolah. Misalnya, rasa penasaran terhadap apa rasanya rokok akan memicu remaja untuk mencoba merokok, meskipun mereka tahu kalau keluarga dan sekolah melarang siswa merokok. Contoh lain yang lebih parah adalah ketika seorang remaja terpengaruh oleh lingkungan yang tidak sehat seperti ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang, tawuran, balapan liar, pergaulan bebas dan lain-lain. Pada dasarnya secara umum, remaja melakukan hal-hal  yang di luar aturan dimulai dari rasa penasaran dan coba-coba hingga pada tahap terbiasa.

Suasana ruang belajar di Sekolah Turve Green Boy

Gambaran buruk kondisi remaja seperti yang saya ungkapkan di atas tidak akan terjadi jika keluarga dan sekolah bekerja sama secara optimal dalam memenuhi kebutuhan fisik dan psikis para remaja. Seperti halnya di sini, di sebuah sekolah yang hanya berisi anak remaja laki-laki semua ini terkendalikan dengan baik dan rapi. Setiap siswa mendapat perhatian yang penuh sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Saya sempat bertanya kepada kepala sekolah tentang bagaimana cara mereka melayani siswa-siswa remaja yang hanya terdiri dari laki-laki ini, dengan ringan beliau menjawab, “well, we just give what they need”. Sungguh suatu jawaban yang menurutku sangat diplomatis, dan terkesan sangat general. Namun jika ditelaah lebih dalam maksud dari kalimat kepala sekolah itu, memang benar adanya, bahwa pendidikan sesungguhnya adalah memenuhi kebutuhan dari peserta didik sehingga mereka tercukupi tidak hanya secara kognitif namun juga mental dan spritual yang teraplikasi dari prilaku sehari-hari. Sesungguhnya hal ini tercermin dari prilaku jujur, terbuka dan percaya diri yang mereka tunjukkan kepada kami mahasiswa yang berkunjung ke sekolah mereka. Sedari dini mereka telah diperkenalkan nilai-nilai kearifan dalam bersikap dan berprilaku serta diberi bekal keahlian dan kecakapan hidup yang mereka sebuat dengan skill for life.

Beberapa Pamflet Learning for Life yang tersebar di setiap sudut sekolah

Dalam beberapa kunjungan singkat ke beberapa sekolah yang ada di Inggris, tak jarang terlintas dalam imajinasi saya sebuah keinginan, bagaimana supaya sekolah-sekolah yang ada di Indonesia dikelola dengan baik dan teratur. Para siswa dilayani sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan tidak hanya dijejali dengan pelajaran-pelajaran konfensional yang sifatnya hanya memacu kemampuan daya ingat dan hafalan yang berorientasi pada hasil dan nilai ujian apakah nantinya akan lulus atau tidak lulus. Namun juga diberikan kecakapan hidup melalui pelajaran yang mereka minati sejak dini sehingga mereka dengan mudah dapat menyalurkan kemampuan dan kreatifitas yang dimiliki terkait dengan tujuan masa depannya sehingga energi besar yang mereka miliki dapat dipergunakan secara optimal. Menurut saya, tawuran yang terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia adalah satu wujud dari ketidak-tersaluran energi yang mereka miliki ke kanal yang tepat. Jika saja energi besar berupa bakat, minat, perhatian dan kemampuan mereka tersalur dengan baik di sekolah dan di lingkungan mereka, niscaya tujuan pendidikan yang digariskan oleh undang-undang akan tercapai dengan baik. Saya tidak ingin mengatakan bahwa system pendidikan di Indonesia gagal menciptakan manusia yang berbudi, namun pada gilirannya –seyogyanya- pendidikan nasional kita harus dibenahi sehingga dapat mencetak dan menghasilkan generasi yang memiliki kreativitas dan mampu mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan serta tidak hanya terpaku pada model pendidikan yang berorientasi nilai ujian nasional saja. :) wallahu a'lam bi al-shawab

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun