Dalam selimut heningnya malam, kulangkahkan kaki bersama Ibu secara perlahan menapaki dinginnya sapuan bayu malam di sepanjang trotoar untuk pulang ke rumah. Tak terucap sepatah katapun dari bibir ini untuk menggetarkan susana, begitu juga dengan Ibu. Bibir indah yang kukenal selalu melantunkan kalimat-kalimat syahdu, seakan tak mau lagi memancarkan cahaya lewat tuturan kalimat yang menyentuh kalbu. Bayu seakan ingin menampar wajahku, hanya rasa penyesalan yang terungkap lewat deraian air mata yang seolah tak mau menutup mata airnya. Seakan tak ada lelahnya ia terus mengalir di pipiku.
KEMBALI KE ARTIKEL