"Airmatamu hanya akan membebaniku."
"Kepergianmu hanya membuatku menangis."
"Sudahlah, aku pergi tak lama."
"Sejengkalpun hatiku tak rela."
"Ini demi darma."
"Selamanya darma meninggalkan kaum hawa. Ini tak adil, kebajikan apa yang mengotori pikiranmu, hingga rela meninggalkan istrinya yang sedang hamil."
"Istriku, tak selamanya yang kamu pikirkan itu benar."
"Suamiku, tak selamanya pula yang kamu lakukan itu juga benar."
Kembali bisu, kokok ayam jantan yang keras memecah suasana. Sementara di ufuk timur nampak cahaya merah merona di sela warna hitam ke abu-abuan, pertanda penguasa siang akan segera bangun dari tidurnya semalam.
"Istriku, ini medan pertempuran memperebutkan kebenaran."
"Apakah kebenaran yang kamu cari itu dibenarkan setiap manusia? Sejak kapan manusia cinta perang. Semua itu hanya alasan individu untuk memperoleh singgasana kemewahan. Aku sudah puas dengan kondisi sekarang, apapun kita lakukan, berdua dan aku sudah bahagia. Akankah kamu merusak kebahagiaan ini."
"Ah, aku tak mau berdebat, aku harus bergegas, kalau tidak selamanya kebenaran akan musnah."
"Berilah alasan, kenapa kamu yang ingin menjadi korban."
"Aku bukan korban, aku hanya melakukan darma, dan aku janji akan kembali."
Sejenak Utari termenung. Lamunannya membawa ke masa lalu. Masa dimana pertama kali kenal dengan Abimanyu. Masa dimana hatinya berbunga mendapatkan seorang pemuda tampan yang sangat bijaksana, dan direstui oleh orang tuanya. Masa dimana mereka saling mengikat janji. Dan teringat lagi akan janji Abimanyu.
"Aku suka padamu, aku cinta padamu, dan tulus iklas kuserahkan jiwaraga ini. Namun, jawab satu pertanyaanku."
"Bertanyalah, dengan bangga aku akan menjawabnya."
"Aku malu."
"Kenapa malu Manis?"
Sebutan itu telah merontokkan hati Utari. Dia benar-benar terpana, dan jatuh hati. Dadanya berdegub kencang. Namun sebagai perempuan dia tidak ingin menyakiti hati orang lain. Dengan keberanian diapun bertanya pelan namun pasti.
"Benarkah, kamu belum punya istri?"
----- Lama tak ada jawaban dari Abimanyu. Tampak keraguan terbersit di raut wajahnya. Dualitas menggerogoti jiwanya. Antara jujur dan tak jujur. Meskipun demikian, semua tertutup rapi oleh tampilan senyum menawannya. Sementara Utaripun terus memandang dan berharap jawaban dari pertanyaannya-----
"Kenapa kamu tanyakan itu?"
"Dalam urusan kewanitaan aku lebih paham. Tak harus kujawab kenapa kan?"
Semakin bingung hati Abimanyu, jujur dan tidak. Perlu pemikiran panjang, namun karena desakan Utari akhirnya diapun berbohong.
"Haruskah kujawab?"
"Sudah kubilang tadi."
"Aku belum punya istri."
"Wajahmu tampak ragu, meskipun senyumu menggodaku. Jujurlah."
"Apa perlu aku sumpah?"
"Aku tak butuh sumpah, tapi kejujuran."
"Baiklah, aku tahu kamu ragu."
"Bukan aku yang ragu, tapi,,,"
"Aku belum beristri, dan jika apa yang kuomongkan ini sebuah kebohongan, kelak matiku tidak selayaknya manusia."
-----Bersambung-----