Kenapa tidak langsung menyebut “aktor intelektual” di balik kasus bla-bla dan bla-bla. Atau yang lebih tepatnya “pelaku intelektual” di balik kasus bla-bla, sehingga tidak mencemarkan atau menjadikan image buruk terhadap sebuah kata, seakan-akan dalang itu adalah identik dengan perusuh, pembuat onar, anarkis, pimpinan gangster dan lain sebagainya. Tetapi silahkan saja menggunakan kata tersebut, karena selama ini yang memiliki atau penyandang gelar dalang saja tidak pernah komplain. Mungkin sudah merasa bangga ketika kata-kata itu digunakan dalam istilah “dalang kerusuhan”, karena sang dalang sendiri juga termasuk perusuh, karena mengkebiri bayaran pengrawitnya. Untuk lebih bijak kita kembali menggali makna kata “dalang” dalam khasanah aslinya, supaya tidak terjadi miss komunikasi dalam penggunaan istilah.
Pada hematnya, membahas arti dalang seyogyanya kata dalang yang ada di rumahnya, bukan kata dalang yang sudah dolan ke mana-mana. Karena dalang sekarang ini sudah seneng dolan nempel di mana-mana, seperti dalang kehidupan, dalang kerusuhan dan lain-lain. Dalang adalah seorang pemain wayang, puppeters, baik itu menggunakan instrumen wayang kulit maupun boneka wayang dari kayu (golek). Berarti dalang itu pelaku seni, bukan pelaku kerusuhan atau apapun. Sebagai pelaku seni saja dalang sudah kuwalahan menghadapi embel-embel atau pangkat tersebut, coba saja kita analogikan pertunjukan wayang itu adalah sebuah pertunjukan teater, disana ada pemain, dan sutradara, nah dalang adalah pemain sekaligus sutradara. Dalang bermain langsung, dengan boneka wayang langsung memainkan peran, dibantu dengan dialeg dan diksi sehingga karakter wayang semakin terasa. Dalang juga sutradara yang memahami seluruh pertunjukkan dan isinya sekaligus menjadi instruktur bagi musiknya, artis multi karakter (pelawak, orang miskin, raja, pembantu, patih, dan lain sebagainya), menguasai elemen pertunjukan dan penyusun sebuah naskah pertunjukan bisa juga disebut sebagai monologger. Dia juga pemeran utama dalam koteks sebagai sentral figur dalam pertunjukan wayang, semua mata terfokus padanya, sedangkan para niyaga (musisi) dan pesinden (vokalis) hanyalah bumbu pemanis baginya. Coba sekarang bandingkan sebuah panggung pertunjukan wayang tanpa dalang dan ada dalang. Bukankah pertunjukan wayang itu adalah sang dalang sendiri? Inilah beban terberat bagi seorang dalang. Lalu apa saja yang menjadi syarat bagi seorang dalang? Apakah dia harus cukup paham terhadap cerita, boneka wayang dan gamelan (musik)? Tentu saja itu adalah dasarnya, tetapi masih banyak lagi segi yang membebani atribut “dalang” ini.