Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Nasionalisme di Negeri yang Terlupakan

24 Juli 2012   06:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:41 217 0
Pagi itu, jarum jam dinding menunjukan pukul 7.00 WIT, sinar mentari menembus cela-cela dinding kamar tempatku membaringkan tubuh di sepanjang malam, menyinari tepat pada wajah yang menyilaukan mataku sehingga membuatku harus berpindah tempat tidur, dan menutupi wajah dari kilauan mentari pagi yang sebenarnya untuk membangunkanku agar menyapanya.

Pagi itu, sang pemilik siang menampakkan wujudnya, perlahan menapak memanjat langit-langit alam di ufuk timur, goresan tinta mentari berbuah cahaya yang berwarna merah jingga, indah penuh optimis. Riuh terdengar dentuman dayung dibibir perahu-perahu para nelayan yang sedang bekemas-kemas menaikkan peralatan dan hasil tangkapan dari perahu ke rumah mereka, setelah semalaman mencari rizki ilahi dilautNya yang maha luas guna menghidupkan anak dan istri mereka, seiring dengan angin pagi yang meniup air laut menepuk pada tiang-tiang rumah, menambah lirih indah irama alam kehidupan perkampungan para Nelayan.

Sementara itu para wanita mengepulkan api pada tungku-tungku dapur rumah mereka, menyiapakan sarapan untuk para hero-hero (Suami) mereka yang baru pulang dari berjihad mencari rizki Ilahy sepanjang malam dan menyiapkan minuman teh pagi untuk para Jundi mereka yang akan pergi menimbah ilmu ke- sekolah. ” Nak panggil bapakmu di perahu dan bangunkan om Aji dikamar ” ucap Ibu Lela yang sedang sibuk didapur “ iya ma, saya masih Pakai sepatu” sahut anaknya berusia 10 tahun yang bernama Farid. Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan dibalik pintu kamar dan terdengar suara panggilan seorang anak yang memanggil namaku dengan hati-hati ,”om..Om..Om..dipanggil sama mama”.
Sesaat kemudian terdengar lagi ketukan dibalik pintu kamarku, aku bangkit dari tempat tidur dengan cepat membuka pintu dan disana berdiri seorang laki-laki yang masih muda berbadan kekar dan berkulit hitam tersenyum kepadaku, “Pak Baim” sapaku seraya mebalas senyumnya,“Dek ayo kita ke dapur minum kopi” pintahnya, ”iya om”akupun langsung keluar dari kamar melangkah bersama menuju dapur rumah pak Baim. Pak Baim adalah seorang nelayan tradiosional, Sebagaimana kehidupan masyarakat nelayan pada umumnya, cukup sederhana, rumah gantung atau rumah tiang yang rata-rata terbuat dari kayu dan bambu serta beratapkan daun rumbia, sangat sedikit diantara mereka yang memliki rumah beratapkan seng atau berdinding beton.
Pagi itu, kami pun bercengkrama bersama berceritra dengan akrab, di temani oleh segelas kopi hangat, dan pisang goreng yang disiapkan oleh ibu Lela Istrinya pak baim, sementar anak semata wayangnya suda pergi kesekolah selepas menunggak teh manis dan mencicipi sepiring kecil pisang goreng yang suda disiapkan ibunya, mengawali pembicaraan kami, saya memulai dengan pertanyaan kepada Pak baim “Pak Baim, banyak ikan yang didapat tadi malam??” “iya Alhamdulillah” jawabnya, ”cukup untuk hari ini,”lanjutnya-akupun melanjutkan dengan bertanya lagi “bagaimana cuaca dilaut pak??”,iya menjawab “cuaca tadi malam ya seperti biasa saja namun ikan suda tidak seperti biasanya, tempat memancing ikan suda agak jauh dan ikan pun suda tidak sebanyak dulu lagi. Dulu kami memancing hanya disekitar kampung kami ini, bila kami pergi melaut pada sore hari, sebelum fajar kami suda pulang kerumah untuk menjual hasil pancingan kami”.
“Tapi sekarang Kami harus pergi melaut pada siang hari dan kembali pada pagi hari, ini karena tempat mancing yang kami cukup jauh sehingga membutuhkan waktu 3 jam perjalanan dengan menggunakan perahu dayung”Pintah pak Baim, “walaupun tempat memancing sudah semakin jauh, dan ikan-ikan sudah semakin sulit kami dapatkan, kami harus terus berkerja untuk menghidupkan istri dan anak-anak kami, meskipun kami harus mendayung sampai keujung dunia, karena kami yakin bahwa semua didunia ini sudah ada ketetapannya dari Allah SWT, termasuk rizki kami”. Sambungnya, “SubhanaAllah” Ucapku sesaat.
Ucapan pak Baim menandahkan semangat yang kuat untuk menghidupkan istri dan anaknya dengan usaha dan kerja keras serta keyakinan yang kuat tentang ketetapan Allah SWT. jarak dan waktu tak menjadi soal olehnya untuk menginfaqkan seluruh jiwa dan raganya demi istri dan anaknya. Sesungguhnya allah mencintai seorang pekerja apabila bekerja secara ihsan (H.R. MUSLIM). Sebuah hadits Rasullah diatas juga cukup memberikan lampu hijau tentang kegigihan seorang pekerja bila didasari atas niat bekerja untuk Allah SWT atau menyertakan Allah SWT dalam pekerjaannya.

Merah Putih Dan Bangunan Kumuh

Tak Terasa waktu pada jam tanganku sudah menunjukan pukul 11.00 WIT, ternyata suda cukup lama kami duduk berceritra di dapur itu, saking asiknya dan akrabnya kami berceritra dan berdiskusi di dapur rumah pak Baim, sampai akupun lupa bahwa ada agenda yang harus aku selesaiakan pada hari itu, akhirnya kami mengakhiri diskusi itu dan aku bergegas kekamar mengambil perlengkapan mandiku, lalu menuju kekamar mandi atau kakus sebutan penduduk setempat. Setelah mandi aku bersegera memakai pakaian dan celana kain berwanah hitam yang telah aku kelurkan sebelumnya dari tas ranselku,kemudian setelah siap akupun pamit kepada Ibu lela dan Pak Baim untuk keluar berjalan menyelesaikan agenda perjalananku kekampung Nelayan itu.

Raja siang semakin memancarkan panasnya hingga terasa mencubit kulitku dan akupun bersegera mamakai topi rimbahku yang berwarnah hitam dan jaket tebalku untuk melindungi diri dari panas, akupun menapaki jembatan kayu yang papannya sebagian besar sudah membusuk dan patah, saya memperhatikan jembatan kayu itu yang ternyata sudah cukup lama di bangun sejak 15 tahun silam dan belum pernah di perbaiki, menurut informasi dari masyarkat setempat. Rumah para penduduk desa itu sebagian besar terlihat kumuh, terseok-seok jauh dari kata layak untuk ditempati, Malang Nian Desa ini, bagaimana mau maju jika akses jalannya sangat buruk seperti ini, Dimana perhatian pemerintah daerah dalam membangun Desa seperti ini??. Dimana Perhatian Pemerintah Daerah terhadap ketertinggalan Masyarakat Desa ini??.

Dimana pemimpin dinegeri ini, apakah mereka tidak memiliki mata untuk melihat Masyarakatnya yang hidup dalam kesusahan dan Penderitaan, Dimana Pemimpin Negeri ini Apakah mereka tidak memliki telinga untuk mendengarkan jeritan, tangisan anak-anak bangsa yang sedang kelaparan. Dimana hati nurani pemimpin Negeri ini, apakah mereka suda tidak lagi peka dengan kondisi kemiskinan, keterbelakangan anak-anak bangsa. Mereka hanya pandai Berkata dihadapan parah rakyat yang luguh dan polos dengan janji-janji kebohongan, agar mereka dipilih menjadi Kepala Desa, Bupati, Gubernur dan Presiden.

Saya pun berjalan terus mengikuti arah jembatan tua itu agar menemukan ujungnya, di kejahuan Nampak ada bangunan yang menarik perahtianku tak jelas bentuknya, berdiri miring, beratapkan daun rumbia dan didepannya berkibar benderah merah putih, akupun mempercepat langkahku, sesaat kemudian sampailah aku di ujung jembatan tua itu dan disitulah aku melihat secara jelas bangunan yang membuatku penasaran. Tersentak hati ini, pilu dan sedih, tatapan mataku tak menghindar dan terus menatap memperhatikan dari sisi-sisi bangunan itu, aku mencoba lebih dekat memperhatikan apa yang ada didalamnya ternyata ada beberapa anak kecil duduk dengan rapi didalam ruangan itu dan didepan mereka berdiri sosok laki-laki setengah Baya yang memakai kemeja putih polos berlengan panjang sedang menerangkan mata palajaran kepada beberapa anak-anak didiknya.

Bangunan sekolah yang sangat-sangat tertinggal, beratapkan daun rumbia dan lembaran-lembaran seng yang suda bekas, bangunan yang suda terseok-seok, terdapat penyangga dari hampir semua sisi bangunan,dan dinding papan. walau kondisi fisik bangunan sekolah Dasar itu sungguh memprihatinkan tapi siswa/i yang ada didalam bangunan itu memliki semangat yang sungguh luar biasa, semangat belajar yang sangat tinggi.

Allahu Akbar. Pekikan takbir aku ucapkan ketika melihat betapa menyedihkannya kehidupan Masyarakat didesa ini, suda lebih dari 60 tahun Republik ini merdeka, merdeka dari penjajahan, merdeka segala-galanya, namun masih banyak anak bangsa yang belum menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya. Kampung Pak Baim dan Ibu lela, tempat lahir anak-anak mereka, generasi muda calon pemimpin negeri ini, terlupakan diujung timur Indonesia.
……………………….. SELAMAT MEMBACA………………………………………

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun