Saat itu, hari Rabu tanggal 12 Februari 2014 sekitar pukul 11.45 WIB, saya sedang membeli makan siang di sebuah warung makan di Babakan Doneng pinggir Jalan Raya Darmaga. Sesaat saya sampai di warung tersebut, dari arah halte dekat BNI ada dua siswa SMA berlari ke arah barat. Satu siswa yang berlari di belakang membawa sebilah clurit, sedangkan siswa satunya berlari sangat cepat di depan. Entah si pembawa clurit itu sedang memangsa siswa di depannya atau mereka sama-sama berlari dari kejaran yang lain. Setidaknya saya sempat melihat ada segerombolan siswa SMA yang sedang berjaga di halte. Seketika itu juga saya mendengar teriakan tukang ojeg dan beberapa petugas keamanan kampus yang berlari mengejar dua siswa tersebut dari arah dalam kampus. Kemudian, si pembawa clurit ini tiba-tiba menyeberang persis di depan warung makan saya, dengan sigap saya masuk ke dalam warung karena ketakutan. Tetapi ternyata si pembawa clurit itu menghentikan satu motor yang sedang melaju pelan, dan memaksa pengendara membawanya dengan cepat.
Saya sempat berbincang dengan beberapa warga yang sama-sama melihat kejadian tersebut, mereka mengungkapkan keluhan dan keresahannya tentang tawuran pelajar di Bogor ini. Sore harinya saya membaca berita melalui twitter, bahwa telah terjadi tawuran pelajar di bagian Bogor yang lain dan menewaskan satu orang pelajar dengan clurit masih menancap di kepala korban. Inikah gambaran pelajar Bogor saat ini? Dapatkah kita sebagai pemuda yang mengaku kaum terpelajar, menutup mata atas kejadian ironis yang cukup sering terjadi di lingkungan kita?
Pada hari yang sama, saya menceritakan kejadian tawuran tersebut kepada seorang teman yang juga punya pemikiran yang sama tentang kemerosotan moral yang sudah merajalela di negeri ini. Kami sering berdiskusi mengenai hal ini, karena kami sama-sama belajar mengenai isu-isu kemanusiaan di bidang kami masing-masing, ilmu keluarga dan gizi masyarakat. Ia pun bertanya hal yang serupa dengan saya, mengapa siswa-siswa itu begitu tega melayangkan senjata tajam dan membunuh sesama teman pelajarnya? Hati saya tergerak untuk menyampaikan opini ini, karena setidaknya sedikit banyak saya telah menguasai ilmu keluarga dan perkembangan anak, hasil belajar 4 tahun silam di IPB.
Seseorang yang berada dalam masa remaja sedang mencari jati diri, kami menyebutnya dalam fase identity vs role confusion. Mereka mencari identitas diri, ingin seperti apa mereka terlihat di masyarakat nanti. Jika mereka tidak berhasil mendapatkan pengakuan dari masyarakat, mereka akan mengalami kebingungan, kebimbangan akan peran mereka di masyarakat, bahkan mereka tidak tahu apa kewajiban dan hak mereka di masyarakat. Di sisi lain, remaja seperti ini ada dalam fase yang menjunjung tinggi konformitas dengan teman sebaya. Mereka ingin diakui oleh teman-temannya, minimal diakui keberadaanya sehingga mereka sangat loyal pada 'geng-nya'. Apalagi jika mereka bisa menjadi yang paling hebat di dalam 'geng-nya' dan disegani oleh 'geng' lain. Ada sisi positif dan negatif dari konformitas ini. Dari sisi positif seorang anak akan berusaha menonjol di bidang akademik atau non akademik seperti menjadi pintar, ikut olimpiade, juara olahraga, juara seni. Sedangkan dari sisi negatif seorang anak akan menjadi buas tak terkendali, terjerumus dalam pergaulan dan kegiatan negatif seperti merokok, mencoba narkoba, menenggak minuman keras dan tawuran. Keduanya termasuk upaya anak dalam mendapatkan pengakuan dan upaya konformitas anak dalam peer group-nya.
Contohnya dalam kasus ini, anak akan diakui oleh teman-temannya setelah memenangi perkelahian dalam tawuran, sebut aja si A, pasti menjadi bahan pembicaraan di lingkungan teman dan sekolahnya. Hal ini akan meningkatkan gengsi si A, atau si A akan disegani oleh teman-temannya karena kemenangannya dalam tawuran. That's the thinking process of adolescents! Proses ini lumrah terjadi pada remaja, sehingga yang paling dibutuhkan adalah arahan dan pedoman yang positif. Tugas siapakah ini?
Bagaimana cara menghilangkan 'budaya tawuran' ini? Pada dasarnya anak dilahirkan seperti kertas kosong, sehingga seorang anak bisa diberikan label 'anak nakal' adalah produk dari interaksi anak tersebut dengan lingkungannya. Sejak anak lahir, anak merekam setiap pengalaman di hidupnya. Ada benarnya pepatah lama "buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya", begitu pula anak tidak akan jauh sifat dan perilakunya dengan pengasuhnya. Bisa jadi si jagoan tawuran ini, memperlakukan musuh tawurannya serupa sebagaimana ia diperlakukan orang tuanya di rumah. Coba lirik contoh lainnya seperti Adolf Hitler, silahkan telusuri bagaimana masa kecil Hitler ini direnggut hingga ia terkenal sebagai pemimpin yang kejam dan tidak segan-segan membantai Kaum Yahudi. Singkatnya, sekolah kepribadian terbaik terbentuk di rumah atau di lingkungan keluarga.
Kesalahan pertama, kebanyakan orang tua melepas tanggung jawabnya mendidik setelah anak memasuki gerbang sekolah. Ingatlah, bahwa sekolah merupakan gerbang pertama anak memasuki dunia luar, disinilah anak pertama kali mendapatkan pengaruh dari luar. Bisa dikatakan pengaruh keluarga 50:50 dengan pengaruh luar (teman, sekolah, masyarakat). Â Seberapa siap anak menghadapi pengaruh negatif dunia luar tergantung pada seberapa kuat nilai-nilai positif anak yang telah ditanamkan oleh orang tuanya. Hal ini pula yang merupakan asal mula anak memilih konformitas seperti apa dan kepada teman seperti apa ia harus loyal. Sekali lagi, pengawasan orang tua perlu dilakukan untuk menjaga anak terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat.
Pelajar yang menjadi pelaku sekaligus korban dari 'budaya tawuran' ini tak dapat dipungkiri juga masih menjadi tanggung jawab penuh pihak sekolah. Sejauh ini di lingkungan sekolah masih saja terjadi kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Hukuman atau peringatan yang seharusnya diterima siswa agar menjadi jera, justru menjadi boomerang tersendiri bagi sekolah. Guru seringkali lepas kendali untuk menangani siswa yang membangkang, melakukan kekerasan fisik dan tanpa disadari dicontoh oleh siswa ketika berada di luar sekolah. Tentu saja siswa melakukannya sebagai ungkapan sakit hati atas hukumannya. Guru seharusnya menjadi orang tua kedua yang mengemban kewajiban untuk mengenal, memahami, dan mendidik siswa sesuai kebutuhannya. Dalam menangani para siswa yang membangkang ini juga perlu perhatian khusus, tidak bisa semena-mena menjatuhkan hukuman. Siswa khusus ini perlu pendekatan secara keseluruhan. Begitu pun dengan kegiatan belajar mengajar. Nyatanya, sistem pendidikan di negeri ini juga bisa memperparah keadaan pendidikan.
Sempat mengulas pengalaman pendidikan kami selama ini, nampaknya sistem pendidikan di Indonesia hanya berlandaskan pada 3 prinsip, drill, memorize, dan exam. Untuk siswa yang memang memiliki kecerdasan kognitif diatas rata-rata, sistem seperti ini cukup mudah untuk membuat ia berprestasi. Namun bagaimana dengan siswa dibawah rata-rata? Mungkin mereka perlu berjuang beratus-ratus kali jatuh bangun untuk mendapatkan prestasi akademik itu. Daya juang siswa pun berbeda-beda dalam hal akademik. Ada yang masih bertahan dan berusaha mencapai nilai baik meskipun sudah berpuluh kali gagal. Ada juga yang tidak mampu bertahan dan tidak mampu berjuang lebih dari satu kali. Akhirnya bagaimana nasib siswa yang tidak mampu ini? Kecewa, dicemooh, dikucilkan, dan mencari kepuasan lain, salah-salah bisa jadi melampiaskannya dalam tawuran. Harus diakui sistem inilah yang menjadikan siswa pintar semakin pintar dan siswa bodoh semakin bodoh.
Pernahkah Anda mendapatkan pendidikan karakter di sekolah umum Anda? Sekolah seperti ini masih sangat jarang di Indonesia, atau mungkin hanya bisa didapatkan di sekolah informal seperti sekolah keagamaan. Kita dapat berkaca pada Negeri Sakura, dimana anak-anak sekolah didahulukan untuk mendapatkan pendidikan karakter hingga umur 10 tahun, barulah setelah itu mereka men-drill siswa untuk belajar sains dan sebagainya. Negeri ini percaya bahwa ketika karakter baik anak sudah terbentuk, maka selanjutnya akan sangat mudah membentuk mereka menjadi ilmuwan-ilmuwan yang bermanfaat bagi negaranya. Siapakah yang patut merubah sistem pendidikan kita?
Ya, pemerintah. Bukan hanya perlu merubah pelaksanaan pendidikan, namun juga harus ikut turun tangan dalam mempersiapkan para calon orang tua sebaik-baiknya. Kembali lagi, hal ini karena 80% kehidupan anak adalah berada dalam keluarganya. Coba tengok di sekeliling Anda, berapa banyak pasangan baru menikah yang sudah siap menjadi orang tua, yang tahu bagaimana mengasuh anak yang baik, dan menghasilkan anak berkualitas? Mungkin sangat sedikit. Pengalaman kami saat Kuliah Kerja Profesi yang dilaksanakan IPB di desa-desa, beberapa keluarga mengakui belum tahu cara mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Bahkan, mereka menyayangkan bahwa seharusnya mereka mendapatkan sekolah pra nikah terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka memutuskan menikah. Menurut kami, belum adanya kewajiban sekolah pra nikah ini juga ada hubungannya dengan penurunan kualitas anak. Sejatinya sudah berdiri beberapa lembaga mampu mengangani masalah pra nikah ini. Namun apa daya, hanya segelintir masyarakat yang mengetahuinya dan biasanya adalah masyarakat kalangan menengah ke atas yang dapat membayar jasanya. Padahal, kerentanan kesiapan menikah lebih rawan terjadi pada masyarakat kalangan bawah yang notabene minim terhadap akses informasi seperti ini. Ada baiknya pemerintah mewajibkan bagi pasangan yang akan menikah secara hukum mendapatkan setidaknya penyuluhan pra nikah dan pengasuhan anak. Dengan begitu, berbagai masalah kualitas anak dapat diminimalisir dari stage pertama, keluarga.
Jika saja pihak-pihak dalam opini ini bisa saling turun tangan, bersimbiosis mutualisme satu sama lain, maka ketakutan masyarakat seperti kami terhadap tawuran pelajar bisa teratasi. Jika Anda tahu betapa pentingnya pendidikan yang baik yang dimulai dari keluarga. Jika Anda tahu betapa pentingnya membuat anak nyaman berada di rumah dan di sekolah. Jika Anda tahu, Anda lah harapan yang akan menjadi pendidik-pendidik generasi selanjutnya. Entah Anda bercita-cita menjadi guru atau tidak, namun yang pasti Anda akan menjadi orang tua bagi anak-anak Anda, bagi generasi selanjutnya. Jika tidak sadar dan belajar dari sekarang, kapan lagi kita bisa berkontribusi menjadikan negeri ini bebas tawuran pelajar? Jika kami yakin bisa dan berani mengubah, who's next?