Duka, itulah makna tersirat didalam lapisan-lapisan terkecil dilubuk hati ini ketika menyaksikan kepunahan. “Kepunahan” keceriaan, kebersamaan, ketika memori hendak memutar kembali waktu dimasa kecil, kanak-kanak tanpa beban pikiran. bermain, memainkan mainan anak kampung yang telah dimainkan sejak zaman terdahulu oleh nenek moyang yang tidak pernah mengenal teknologi yang begitu canggih, teknologi pemusnah yang mengakibatkan kepunahan itu, dan kami beruntung masih bisa memainkannya dengan melihat apa yang pernah mereka mainkan. Tapi kini musnah nyaris habis, bahkan memoriku tidak sanggup untuk mengingat semuanya yang telah dikubur oleh waktu karna generasi kampungku yang baru tidak melakukannya lagi. Aku berduka dan takut jikalau semua memori-memori kecil itu akan punah karna tidak pernah melihatnya lagi. Sanggupkah kalian menyaksikan kepunahan, hingga kalian tidak akan pernah menyaksikannya lagi, hingga semuanya hanya akan menjadi cerita dongeng omong kosong yang akan diceritakan sebagai pengantar tidur, yang tidak pernah dipercayai, karna tidak pernah disaksikan. Begitu kejamnya kehidupan moderen ketika memasuki kampungku, menjarah harta-harta kecil peninggalan tradisi nenek moyangku, menghabisinya hingga tidak tersisa karna tidak bernilai dimatanya. Lalu digantikannya dengan kemegahan, menawan, bersih yang menawarkan kemalasan dan Kepunahan harta kecil kami, Tradisi, Permainan anak-anak Kampungku yang dulu. Lihatlah Mereka yang dulu merubah beberapa meter tanah dan menyulapnya menjadi keceriaan yang memetik nilai kebersamaan, kerja sama, dan kekompakan team dalam permainan Tradisional yang sering kami namai dengan Permainan “Ase” atau Galasin, kini tidak pernah aku saksikan lagi selain anak-anak yang menggenggam sebuah handphone cangging dengan game Animasi. [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="ilustrasi ( sumber Google )"][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL