Sebagaimana dalam dokumen tuntutan, pledoi serta keputusan hakim, isu sentral kasus LHI ada pada perihal dugaan adanya hadiah atau janji hadiah dari pihak importir kepada LHI agar bisa menambah kuota impor. Dugaan didasari sadapan antara LHI dan AF tentang janji 40 milyar jika berhasil menambah kuota impor. Jaksa kemudian berupaya membuktikan bahwa setelah adanya iming-iming tersebut LHI secara aktif memfasilitasi diskusi antara importir dengan mentan. Menariknya, dalam memfasilitasi keinginan pihak swasta tersebut, LHI meminta mereka menyiapkan data.
Jika kita melihat dari uraian tersebut, sebenarnya yang dilakukan LHI adalah lobi. Dalam kata lain LHI bisa dikategorikan sebagai lobbyist. Mengapa? Pertama, karena LHI bukan pihak yang berwenang mengambil keputusan. LHI bukan Kementan dan bukan anggota dewan komisi pertanian. Kedua, fasilitasi yang dilakukan LHI berada dalam koridor ilmiah dengan meminta data, bukan dengan memberi arahan (atau dalam istilah PKS taklimat) terhadap Menteri Pertanian. Ini berbeda dengan calo yang menagih jatah tanpa harus berpikir panjang.
Dalam politik, lobbyist meskipun jarang diakui, memiliki peran yang cukup besar. Pelobi memegang peran kunci dalam membawa kepentingan-kepentingan kepada para pengambil dan perumus kebijakan. Di sisi yang lain, para perumus kebijakan terkadang butuh bantuan dalam menyusun kebijakan yang sesuai dengan keinginan konstituen. Opensecrets.org mencatat ada sekitar 11 ribu pelobi yang aktif di bermain di Amerika Serikat. Pelobi ini di Amerika Serikat lebih dikenal sebagai Special Interest Group. Beberapa negara seperti Australia mewajibkan para pelobi untuk terdaftar jika ingin mengunjungi kantor pemerintah atau dewan.
Jika LHI adalah pelobi, dan lobi merupakan sesuatu yang wajar dalam negara demokratis, mengapa LHi menjadi kriminal di Indonesia? Jawabannya ada pada status LHI sendiri sebagai anggota dewan. Memang masalah pelobi belum diatur di Indonesia. Akan tetapi, tentu tidak etis jika seorang anggota dewan yang memang digaji negara untuk melakukan lobi politik turut mendapat imbalan dari pihak swasta di luar gaji. Di luar negeri, posisi pelobi profesional jelas berada di luar negara. Ini mungkin yang membuat hakim berkeyakinan bahwa tindakan LHI tergolong suap.
LHI kemungkinan bisa lolos seandainya status LHI bukan anggota dewan yang digaji negara. LHI juga kemungkinan bisa lolos jika sebagai anggota dewan dia tidak meminta imbalan atas jasa lobinya, toh katanya dia juga membawa kepentingan ormas Islam yang resah dengan daging celeng. Status sebagai Ketua Partai yang disandang juga relatif cukup aman, sebab menurut profesor Romli, trading influence belum diundangkan di Indonesia. Jadi kalau mau berperan sebagai pelobi lebih baik tinggalkan jabatan sebagai anggota dewan. Kalau jadi anggota dewan, jangan sekali-kali minta imbalan ke swasta karena anda telah digaji negara. Keputusan hakim terhadap LHI telah menjadi yurisprudensi yang harus diperhatikan serius oleh anggota dewan lain yang masih nyambi sebagai lobbyist.
Mengapa anggota dewan yang sudah digaji negara tetap tergiur untuk menjadi pelobi? Ini tentu berkaitan dengan berapa penghasilan yang bisa diperoleh seorang pelobi. Laman opensecrets.org menyebutkan bahwa pada tahun 2012 total pengeluaran bagi lobbyist di Amerika Serikat mencapai US$ 3,31 Milyar. Seorang pelobi profesional bisa memperoleh sebesar US$ 10.000 per pekan, atau setara Rp 100 juta rupiah. Itu belum termasuk success fee jika kebijakan berhasil digolkan. Bisa jadi penghasilan pelobi jauh lebih besar dari anggota dewan itu sendiri.
Bagaimana prospek pelobi di Indonesia? Terlepas dari belum jelasnya payung hukum bagi pelobi profesional, namun praktik lobi sebenarnya juga telah berlangsung. Tercatat beberapa undang-undang Indonesia di awal reformasi pernah dirancang oleh konsultan asing yang dibiayai lembaga donor internasional. Besarnya tuntutan perubahan sistem belum diimbangi kemampuan anggota dewan Indonesia masih lemah, di sisi ini pelobi dalam bentuk konsultan perumus Undang-Undang snagat dibutuhkan. Selain konsultan, lembaga seperti LSM, Ormas dan Asosiasi juga kerap berperan dalam memberi masukan serta mempengaruhi kebijakan.
Penulis memprediksikan di masa mendatang peran lobbyist di Indonesia akan lebih besar lagi. Mengapa? Sebab, banyak program pembangunan Indonesia yang sangat membutuhkan peran swasta. Pemerintah juga telah membuka payung hukum Public-Private Partnership. Artinya swasta kini memiliki peluang untuk turut serta dalam mendanai pembangunan, tidak lagi sebatas kontraktor menggunakan dana APBN. Di sini kecakapan pelobi menjadi penting.
Coba perhatikan, berapa anggaran yang harus disiapkan negara untuk membangun Jembatan Selat Sunda. Pelobi bisa berperan dengan menghubungkan swasta dengan pemerintah selaku pembuat kebijakan. Swasta mendanai program, pemerintah menyiapkan kebijakan. Nilai tambah bagi pemerintah tentu menghemat APBN, sebab tidak perlu membiayai proyek. Bagi swasta, pelobi bisa menghitung berapa ROI yang didapat seandainya swasta yang mendanai Jembatan Selat Sunda diberi hak properti di daerah Banten dan Lampung tepat di area jembatan dibangun. Ini kemudian yang dijadikan dasar untuk meminta bargain ke pemerintah.
Untuk muncul dengan ide yang bisa menguntungkan negara sekaligus swasta tentu tidak cukup dengan kemampuan calo biasa. Itulah sebabnya, lobbyist haruslah memiliki kemampuan negosiasi, analisa sekaligus penguasaan data yang lengkap. Bisa jadi, peran pelobi ke depannya akan banyak dilakukan oleh lembaga riset maupun lembaga konsultan profesional, selain NGO, Ormas dan Asosiasi yang selama ini telah berperan melakukan lobi. Sebagaimana di luar negeri, lobbyist didominasi oleh orang-orang pintar, tidak seperti calo di Indonesia yang hanya bisa jualan bendera seraya meminta jatah.