Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kecemasan Masyarakat Adat

10 Juni 2011   07:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:40 278 0

Rabu, 25 Mei 2011, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengadakan seminar Konsultasi Nasional tentang “Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat oleh Negara”. Aura “Bhinneka Tunggga Ika sangat terasa di ruangan seminar ketika hampir seluruh peserta seminar menggunakan simbol-simbol budayanya, baik melalui pakaian atau bahkan bahasa. Suasana ini bisa jadi menggambarkan kerinduan yag luar biasa dari suatu komunitas, sebut saja: masyarakat adat, untuk “diakui” secara eksistensi, bukan sekadar “dikenal” sebagai suatu masyarakat yang memiliki kebiasaan tertentu dan mendiami suatu wilayah lalu dieksploitasi kekayaan alamnya oleh penyelenggara negara. Kerinduan ini bisa jadi hanya sekadarperasaan yang menutupi kecemasan yang luar biasa dari masyarakat adat. Kecemasan itu sangat tampak melalui pernyataan “proklamasi” mereka: JIKA NEGARA TIDAK MENGAKUI KAMI SEBAGAI MASYARAKAT ADAT, MAKA KAMI TIDAK MENGAKUI NEGARA.Seruan ini janganlah dilihat oleh kekuasaan sebagai anacaman atau usaha separatisme. Jika seruan itu hanya dilihat sebagai ancaman, maka yang terjadi terhadap masyarakat adalah proses kriminalisasi yang tak ada ujung pangkal ketuntasannya. Damainya hutan dan indahnya lautan hanyalah gambar fatamorgana, karena realitas sesungguhnya konflik berdarah masih saja terjadi di tengah-tengah masyarakat adat. Seruan itu memang memberikan harapan baru bahwa di tingkat masyarakat adat ada keberanian untuk menjadi “subyek” dalam menentukan pembangunan dan kesejahteraan sendiri karena mereka sungguh memiliki daya kreasi yang luar biasa untuk menjadikan bumi tempat mereka berpijak sebagai sumber kesejahteraan. Sasi, misalnya, sebagai instrumen adat di Maluku yang memiliki nilai sosial dan ekologis tinggi adalah tatanan adat yang melarang untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Salah satu bentuk sasi yang paling menarik dan paling unik di Maluku adalah sasi ikan lompa dari Pulau Haruku.Jenis sasi ini hanya terdapat di Pulau Haruku. Lebih unik lagi karena sasi ini sekaligus merupakan perpaduan antara sasi laut dengan sasi kali. Setelah ikan lompa yang dilindungi cukup besar dan siap untuk dipanen (sekitar 5-7 bulan setelah terlihat pertama kali),maka serangkaian upacara adat pun dilakukan, seperti makan patita (jamuan makan besar yang melibatkan seluruh warga, biasanya dilakukan di pantai) dan kemudian membakar api unggun di muara kali Learisa Kayeli dengan tujuan untuk memancing ikan ikan lompa lebih dini masuk ke dalam kali sesuai dengan perhitungan pasang air laut. Biasanya, tidak lama kemudian, gerombolan ikan lompa pun segera berbondong-bondong masuk ke dalam kali. Pada saat itu, masyarakat sudah siap memasang bentangan di muara agar pada saat air surut ikan-ikan itu tidak dapat lagi keluar ke laut. Inilah bukti, adat bukan saja membangun harmoni dengan mengurangi bahkan mencegah kerusakan lingkungan, namun adat mampu membawa manusia kepada tingkat kesejahteraan yang semestinya. Ini hanyalah satu contoh betapa adatmemiliki daya kreasi dan daya juang yang luar biasa bagi manusia yang menganutnya bukan sebagai kebiasaan saja tetapi juga keyakinan bahwa kekuatan transendental itu meujud dalam aturan, kebiasaan, serta pandangan-pandangan masyarakat.

Kecemasan masyarakat adat itu tidak sekadar pengakuan akan eksistensi mereka, tetapi paling tidak ada 3 hal mendasar:

Pertama: era modernisasi sekaligus bisa disebutkan sebagai penyebab keretakan adat. Inilah yang dikemukakan J.L Mehta dalam tulisannya “Heidegger and Vedananta: Reflections on a Questionable Theme” (dalam Heidegger and Asian Thought, university of Hawaii Press, hlm.41-42) : relasi manusia dengan adat mengalami keretakan yang tidak bisa diperbaiki oleh dirinya sendiri. Paling tidak, menurut Mehta, adat itu sudah tidak ada lagi dalam “satu tarikan nafas” dengan modernitas. Ibarat belanga yang retak, mustahil perbaikan belanga akan kembali seperti kondisi semula. Keretakan tak bisa diperbaiki, hanya bisa dijaga jangan sampai terbelah atau pecah berkeping-keping. Mengganti belanga dengan belanga yang baru pun bukanlah cara yang baik. Itu sama saja mengubur atau membuang belanga yang retak. Keretakan adat ini disadari sepenuhnya oleh masyarakat adat, Maka mereka membuat draft rancangan undang-undang tentang masyarakat adat. Kata “pengakuan dan perlindungan” yang mendahului frase “masyarakat adat ” haruslah dilihat sebagai upaya masyarakat adat untuk memperoleh jaminan dari Negara agar adat tidak terbelah, terpecah, atau sengaja dikubur dan dibuang oleh penyelenggara Negara digantikan “adat baru” versi pemeintah. Bukankah ini yang terjadi, ketika penyebutan “Raja” bagi para pemimpin adat, kemudian digeser perannya oleh kepala desa. Atau hak ulayat tanah bahkan laut yang turun temurun, harus menjadi medan konflik dengan Negara yang membuat keabsahan tempat tinggal serta pengolahan lahan dan hutan hanya dengan secarik kertas. Problem keretakan ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Memang mustahil membuat adat tanpa distorsi modernitas, namun bukan berarti keretakan itu kemudian harus terpecah-pecah berserakan karena negara absen dalam perlindungan dan pengakuan masyarakat adat.

Kedua: kecemasan terhadap ideologi absolut.Ideologi absolut selalu menggunakan tafsir tunggal untuk menjelaskan nilai-nilai yang dianutnya sekaligus “memaksakan” nilai-nilai itu ke dalam tatanan masyarakat. Ideologi absolut seperti ini jelas sekali meminggirkan gagasan-gagasan bernas lokalitas yang majemuk sekaligus mengaburkan daya kreasi adat dalam menjawab tantangan global. Adakah ideologi absolut itu dalam bangunan kebangsaan kita? Jika pertanyaan ini diberikan kepada penyelenggara negara, jelas sekali, mereka akan memiliki jawaban yang sama: tidak! Ideologi kita berdasarkan Pancasila yang mempertahankan NKRI sebagai harga mati. Benar secara normatif, namun pernyataan itu belum selesai dan harus kita uji. Jika ideologi kebangsaan kita tidak mengandung absolutisme maka pertanyaan mendasarnya: mengapa penyelenggara Negara seperti DPR, juga pemerintah begitu mudah absen dalam soal-soal yang menyangkut hak-hak minoritas? Perjuangan mama-mama di Papua dalam mempertahankan eksistensi pasar tradisional harus berhadapan dengan aparat negara dan buldoser. Negara hadir dalam kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal. Atau bagaimana dengan kaum Ahmadiyah di Lombok, yang “kehilangan” identitas sebagai masayarakat adat Lombok, hanya karena berbeda keyakinan? Negara absen memperikan perilndungan, tetapi hadir dalam perundanga-undanganan yang sangat diskriminatif.

Ketiga: seandainya undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat disahkan oleh DPR, apakah otomatis implementasinya berjalan mulus? Mengguritanya bisnis orang-orang kaya atau kaum oligarki di masyarakat desa rasanya akan berhadapan dan sekaligus berlawanan dnegan masyarakat adat. Sebab kapitalisasi sumber daya alam akan menggerus dunia masyarakat adat.. Apalagi proses kapitalisasi itu hampir dipastikan merusak keseimbangan alam dengan proses eksploitatif yang hebat. Mendukung terbentuknya undang-undang masyarakat adat berarti harus berani berhadap-hadapan dengan kaum oligark pemegang kapital besar yang juga menjadi “rekan” sekaligus “mesin uang” pemerintah. Di samping itu semangat lokalitas bisa berubah menjadi kepicikan dan fanatisme dangkal lokalitas. Bayangkan saja, di Indonesia yang lalu lintas manusianya penuh warna, bhinneka tunggal ika, bisa dipastikan potensi konfliknya tinggi. Komunitas Buton dan Bugis di Papua akan menghadapi konflik yang tidak kecil, tatkala masyarakat adat Papua menerapkan adat bagi siapa saja, termasuk pendatang. Konflik Dayak-Madura di Sampit akan menjadi tayangan ulang jika sekat-sekat masyaarakat adat tak mau menerima perbedaan kaum pendatang. Indonesia yang kaya akan pengalaman kebhinnekaan bisa serentak jatuh dalam kondisi balkanian bila semangat lokalitas dipelihara dalam kepicikan hati.

Masyarakat adat yang sedang berurun rembuk sebenarnya hanyalah komunitas yang berusaha untuk menunjukan daya kreasinya terhadap konteks masa kini. Daya kreasi itu bisa jadi merupakan bagian dari bertahan hidup (daya survive) di tengah dunia yang sangat mudah mengalami perubahan nilai dengan cepat. Kecemasan masyarakat adat adalah kecemasan kita akan kemanusiaan yang terabaikan. Paling tidak kita seharusnya siuman dari tidur serta kepura-puraan kita terhadap lunturnya nilai-nilai kearifan lokal yang dilindas oleh kekuasaan yang serakah ambyah. Saya sepakat dengan ucapan Martin Heidegger seperti yang dikutip oleh David M. Levin (Heidegger, h.248): apa yang ada dalam pikiran kita saat ini sebenarnya merupakan sumbangan bagi pemikiran yang lebih besar untuk terjadinya suatu perubahan. Kumpulan pemikiran kita, sebagai kumpulan orang yang cemas terhadap daya kreasi budaya kita, adalah awal kita melakukan perubahan. Perubahan bahwa yang berpentas dalam realitas kita adalah masyarakat berbudaya, yang dengan semangat lokalitasnya berbagi kearifan dan nilai-nilai ugahari untuk kesejahteraan bersama, sebab bumi yang kita pijak, bukanlah milik para oligark yang rakus atau kekuasaan yang eksploitatif.

Johannes de Fretes

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun