Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Ngapain Kerja?

8 Februari 2023   22:52 Diperbarui: 8 Februari 2023   22:55 158 3
Pagi sedikit mendung menghiasi lingkungan sekolah. Suasana ramai terkesima ketika mata mau memandang para siswa tengah berseliwiran.

Aku mencoba mengintip dari ruang guru. Ada siswa berjalan buru-buru karena terjemput oleh waktu yang semakin singkat. Pukul 6.30 WIB, semua siswa harus berada di lingkungan sekolah. Ini adalah sebuah aktivitas untuk melatih kedisiplinan diri: displin waktu, disiplin tanggung jawab, disiplin komitmen.

Apakah hanya siswa membiasakan diri displin waktu, datang lebih awal ke sekolah? Bukan. Bapak Ibu guru tentunya datang lebih pagi, bahkan pukul 06.00 WIB sudah berada di sekolah, karena ada yang bertugas sebagai piket.

Mengapa siswa dan Bapak Ibu guru melakukan hal ini? Tentu ada inner secret sebagai tujuan dari segala tindakan. Kita hanya melihat suatu hal yang nampak, tetapi hal terdalam dari seseorang melakukan sesuatu tidak kita ketahui secara pasti.

Seperti yang diungkapkan Aristoteles seorang filsuf realitas selalu membantu  pemahaman. Begitu pula kita memahami sesuatu dari orang lain ketika ada suatu hal yang kasat mata, dapat dirasakan, dan dipikirkan. Adakah hal yang diperoleh ketika kita sungguh mengalami hal ini?

Tentu saja, ya! Kita bisa merasakan hal itu karena inner voice yang mendorong kita untuk menumbuhkan rasa peduli. Rasa peduli dapat menumbuhkan rasa ingin tahu. Ada waktu yang kita luangkan untuk mendapatkan informasi lebih dari apa yang kita alami. Ketika kita sudah mencari informasi dan belum memberikan jawaban secara menyeluruh maka menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengugat untuk menemukan suatu hal lebih komprenshif. Di saat itulah, tanda bahwa ketika kita hadir bersama orang lain, mendengarkan informasi darinya, bukan sekadar hadir, dan tidak ada hal yang "menyantol di benak", tetapi kita sungguh menyadari, masuk dalam suatu hal yang dialami oleh orang lain. Apakah hal yang kita lakukan ini, termasuk tindakan agresif?

Kita tidak melakukan sesuatu secara agresif terhadap orang lain. Yang kita lakukan adalah kita sadar bahwa ia hadir memberikan hal positif bagi diriku. Apakah selalu hal positif yang kita dapatkan dari orang lain? Tidak. Bagaimana kita memandang terhadap informasi negatif yang kita peroleh?

Kita harus menumbuhkan budaya postif dalam diri, seperti menerima informasi negatif sebagai bentuk "hadiah". Dikatakan hadiah karena kita harus memandangnya bahwa tidak semua orang menerima informasi yang sama dengan kita. Nah, saat itulah kita diajak mengolah informasi tersebut sebagai bagian dari proses belajar memahami realitas, menerima serta merefleksikan sehingga menimbulkan budaya berpikir positif.

Sadar atau tidak, apa yang kita lakukan merupakan hasil dari proses "apa yang kita pikirkan". Pikiran dapat menggerakan segala cara. Tidak heran, masih banyak terjadi krimanal, atau masalah sosial disebabkan oleh cara berpikir yang salah. Pikiran menjadi agen perubahan bagi diri seseorang, bukankah demikian?

Pikiran menciptakan keberadaan seseorang. Seseorang dapat menyadari bahwa ia sedang berpikir, ia dapat mengungkapkan sesuatu, dll. Nah, itulah dahsyatnya pikiran manusia.

Nah, kita perlu waspada dengan pikiran. Pikiran dapat menciptakan kenyamanan diri. Kita dininabobokan oleh pikiran kita sendiri. Alhasilnya kita menjadi pribadi malas gerak (mager), "wenak bobok" di tempat tidur sembari bermain gawai.

Bahakan pikiran dapat menciptakan sesuatu sesuatu yang kita anggap sia-sia, tidak memberikan dampak.

Pernahkan Bapak Ibu merasa bahwa Bapak Ibu sering sekali belajar sesuatu? Ketika terlalu dalam belajar sesuatu, apapun itu, ia merasa lelah. Pada titik kulminasi ia bertanya: mengapa saya mengerjakana hal ini ya? Bukankah saya telah terhipnotis dengan pekerjaan ini?

Ada sebuah istilah yang akhir-akhir ini muncul, yaitu hustle culture. Hustle culture seringkali muncul di dunia kerja. Beragam keluahan yang dapat kita jumpai di dunia kerja. Ada rasa malas, ada rasa bingung dengan apa yang dikerjakan. Situasi ini diciptakan oleh pikiran yang konon oleh Karl Marx menyebutnya alienasi. Alienasi merupakan suatu keadaan dimana para pekerja merasakan suatu hal yang mereka kerjakan  tidak memberikan dampak positif bagi dirinya, bahkan mereka tidak mengalami rasa bahagia.

Apa yang perlu kita lakukan ketika kita mengalami hal ini?

Coba imagine again, pernakah Bapak Ibu fokus, bahkan  tidak ada waktu luang untuk berjedah.  Setiap hari selalu kerja, sibuk terus! Entah apa yang dilakukan, yang penting setiap hari sibuk. "Saking" sibuknya, lupa istirahat, refreshing.

Nah, jika kita mengalami demikian, sebenarnya kita mengalami situasi apa ya?

Hustle culture merupakan suatu kebiasaan atau aktivitas yang dilakukan seseorang "berlebihan", tidak bisa dikontrol dengan baik dan apa yang dilakukan nya,  ia tidak tahu tujuan yang jelas.

Sudah tahu kan, hustle culture?

Dan bagaimana cara mengatasinya?

Nah, ini ada beberapa langkah untuk mengontrol hustle culture dalam diri kita. Pertama, miliki tujuan (pupose). Purpose tidak melulu membicarakan soal materi, tetapi most likely measureable, sesuatu yang harus diukur.

Apa yang diukur?
Values in ourself, nilai-nilai di dalam diri kita. Bagaimana mengenal nilai tersebut? Know yourself-aware, kenali diri sendiri. Mengenal diri sendiri membutuhkan kesadaran utuh (mindfulness). Saya lapar, saya haus, saya stres. Jika anda mengalami hal ini, berjedalah. Berjedah bukan sekadar wasting time, tetapi benar-benar memulihkan segala pikiran, emosi, kelelahan, ya harus all out.

Kenapa kita harus melakukan hal ini?

Kita harus membuat clearly your purpose, harus tahu tujuan secara jelas.

Jika kita tahu tujuan yang jelas, berarti kita akan membentuk diri kita lebih produktif, bukan over work, misalnya saya kesini cari apa ya? Saya jadi bekerja untuk apa ya?

Jika kita tidak membuat clearly our purpose, kita sebenarnya terjebak di dalam blind awareness. Karena kita belum mampu mengendalikan purpose kita. Maka, purpose yang ditentukan membuat kita belajar bagaimana membuat time line.

Time line membantu kita untuk aware with our capacity. Di dalam kondisi tersebut, dimakan kita akan menciptakan kreativitas.

Creativity harus bersamaan dengan self-purpose sehingga menjadi hustler yang baik.

Hustle culture butuh kontrol diri, kita bisa merasakan "rasa cukup" tidak over aiming. Jika terjadi, take to burn out, berjedah sejenak, kita butuh ketenangan, tahu kebutuhan diri.

Know yourself-aware, self-regulated, self-control membuat Anda menciptakan meaning for life.

Self-awareness, how we aware with out self-capacity?

Awareness menumbuhkan passion. Passion merupakan akselerasi purpose to aiming.

Jadilah hustler, tahu tujuan, tahu kapasitas diri, tahu control diri.

Seperti diungkapkan oleh Andhika Heru Luthfianto, siswa kelas XII IPS 5 SMA Hang Tuah 2 Sidoarjo ketika memberikan "orasi" tentang "know your self-capacity".

Menurutnya kita harus melakukan sesuai dengan potensi yang kita miliki agar kita tidak wasting time. Kita kerjakan sesuai passion, apa yang kita sukai. Karena hal ini membantu kita agar lebih mandiri. Demi mencapai hal tersebut yang dibutuhkan adalaha loyalitas, lakukan sesuatu yang disukai dengan sungguh-sungguh karena darinya kita menemukan suatu hal yang membuat kita merasa berarti, fokus pada sebuah tujuan, serta komitmen terhadap apa yang dilakukan.

Ungkapan Lutfi sangat memberikan gambaran bagaimana kita menerapkan hal ini dalam bekerja. Bekerjalah sesuai passion, supaya kita tidak menciptakan hustle culture.

#HustleCulture#Purpose#
#goodhustler#

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun