Dalam skala nasional, kita sudah mengalami dan menyaksikan sendiri ketika mereka yang menamakan diri para penegak HAM, entah perorangan maupun kelompok menolak untuk memilih Prabowo hanya karena kasusnya. Dalam skala internasional isu HAM pun telah menjadi alasan barang jualan Amerika dan sekutunya untuk menyerang Afganistan atau pun menangkap Sadam Hussein. Robert Greene dalam bukunya "33 Startegi Perang" menjelaskan "Di dunia politik, perjuangan Anda harus tampak lebih benar dari perjuangan musuh, dengan mempertanyakan motif lawan dan menjadikan tampak jahat, Anda dapat mempersempit basis dukungan mereka dan ruang untuk bermanuver." Amerika dan sekutunya membenarkan semua agresi militernya, menarik basis dukungannya yang dengan sendirinya mempersempit basis dukungan lawannya, dengan menjual HAM, sebagai sebuah barang dagangan yang tentunya paling laku karena menempati medan moral yang tinggi. Hal inilah disebut Greene sebagai "sebuah strategi kebenaran". Sebuah perang suci untuk menegakkan moral.
Namun kita tidak tahu di balik semuanya itu, dominasi Amerika dan sekutu-sekutunya telah menarik perhatian dan rasa simpati negara-negara termasuk negara kita, untuk turut berpartisipasi menjual product tersebut untuk membenarkan segala tindakannya. HAM, Hak Asasi Manusia, dipakai untuk merenggut nyawa sekian juta orang yang mungkin sebagian besar dari mereka tidak memahami apa arti HAM itu. HAM telah menjadi sebuah product untuk membunuh dan menghukum mati mereka mereka yang dianggap sebagai pelanggar HAM. Apakah harus "satu orang mati hanya untuk menyelamatkan sekian juta orang"?. Apakah nyawa itu harus juga mengambil prinsip demokrasi, suara mayoritas lebih benar dari suara minoritas?" Apakah itu menjadi ukuran bagi sebuah kebenaran?
Pendiri negara kita, Ir. Soekarno sudah menegaskan secara jelas bahwa segala bentuk penjajahan di dunia segala bentuk perang di dunia, pada dasarnya, tidak lain dan tidak bukan hanya masalah "PERUT". Omong kosong besar jika masalah HAM, omong kosong besar jika masalah terorisme. Sekian banyak biaya perang yang dikeluarkan itu akan terbayar dengan keuntungan besar yang akan didapat jika wilayah atau negara itu dapat dikuasai dan kemudikan olehnya. Soekarno memang seorang jenius, ia dengan tegasnya menyatakan bahwa masalah EKONOMI (PERUT) adalah alasan satu-satunya bagi segala bentuk imperialisme. Namun untuk mencapainya paling pertama adalah kekuasaan itu sendiri. Seperti Belanda, harus menjajah dan menguasai Indonesia hanya untuk bisa mengeruk dan mengambil keuntungan dari tanah kita tercinta.
Namun sayang product ini juga dipakai oleh para pemimpin kita untuk meraih kekuasaan. Terbukti pruduct ini laku terjual. Mungkin pasangan Jokowi dan Yusuf Kala bisa berbangga karena mereka telah berhasil menjual HAM sebagai sebuah merk ampuh untuk meraih suara terbanyak. Namun saya yakin Prabowo tetap menjadi figur yang menurut Gus Dur 'orang paling tulus pada negara". Tanpa pengalaman bersama Prabowo, Gus Dur tidak mungkin mengeluarkan kata "TULUS" padanya. Saya sendiri kagum pada sosok Gus Dur, dan saya juga tersentuh pada ucapannya itu. Ketulusan inilah seharusnya menjadi product ukuran untuk memilih pemimpin kita.
Sebagai seorang yang kagum dengan sosok Prabowo, seperti beliau yang selalu sportif menjabat tangan Jokowi dalam acara debat, saya juga sportif jika memang pasangan Jokowi dan Jusuf Kala yang terpilih. Namun jujur itu bukan pilihan saya dan karena itu saya hanya berharap ia bisa tulus dengan kasus Trans Jakarta. Kalau saja benar ia tidak terlibat di dalamnya, dan benar tidak ada transkip pembicaraan Megawati dengan hakim agung.