Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Berbeda Agama Tak Menyurutkan Persahabatan

24 Desember 2018   06:26 Diperbarui: 24 Desember 2018   07:30 107 4
Ketika aku duduk di SMP, dulu SLTP, aku masuk kelas A. Entah kenapa oleh Panitia Penerimaan Siswa Baru aku dimasukkan kelas ini. Padahal kemampuan otakku tidaklah terlalu pintar. Biasanya dari tahun ke tahun siswa yang masuk kelas A itu pintar. Dan siswa muslim seperti aku harus berhadapan dengan siswa beragama Kristen. Untuk jumlah persisnya aku lupa. Yang jelas waktu itu dalam satu kelas terdiri dari 40 siswa.

Dari seluruh siswi muslim di kelas kami hanya ada tiga siswa yang mengenakan jilbab. Yang lain tak berjilbab. Itu bukan masalah bagiku. Zaman dulu, sekitar tahun 1992, memang belum banyak siswi muslim yang berjilbab. Dalam satu angkatan saja ada 4 siswi yang berjilbab.

Oh...iya. Pada saat awal aku di kelas 1, sekarang kelas VII, aku dan kembaranku sempat dipanggil oleh guru senior, Pak Sumit namanya. Aku kaget sekali. Ada apa gerangan, kok aku sampai dipanggil oleh beliau?, Tanyaku dalam hati.

"Apa kamu yang laporan ke Bu Rowi kalau aku tak memperbolehkan kamu berjilbab?", Beliau bertanya pada kami.

"Laporan, pak? Tidak, pak.", Jawab kami.

"Lha kok ada laporan kalau aku tak memperbolehkan kamu berjilbab. Lha terus siapa yang laporan?"

"Mungkin Atun, pak"

"Tadi dia sudah aku panggil. Katanya dia nggak laporan", terang pak Sumit. Beliau merasa kesal dengan laporan itu. Tapi terus terang aku dan saudara kembarku tak laporan. Wong kami sudah paham aturannya kok. Yang jelas dulu ketika masih masa orientasi siswa kami memang belum diperbolehkan berjilbab karena seragam merah putih kami masih lengan pendek.

"Kalau pakaiannya pendek, jangan berjilbab dulu", begitu pengumuman dari pak Sumit. Dan kami sudah merasa paham. Kami boleh berjilbab asal benar-benar mengenakan pakaian lengan panjang dan rok panjang. Sudah jelas bagi kami. Sedangkan Atun memang selama masa orientasi siswa masih berpakaian lengan pendek dan rok pendek, tapi sudah berjilbab. Oleh karenanya asumsi kami Atun-lah yang laporan. Kami berdua juga tak cerita ke ibu tentang pengumuman dari sekolah.

"Aku juga Islam lho,mbak. Mosok aku melarang anak perempuan berjilbab. Dosa aku.", Beliau tampak menahan emosinya.

"Ini tadi Bu Rowi bilang ada ibu-ibu yang protes karena anaknya tidak boleh berjilbab. Dari mana asal ceritanya coba kalau aku melarang siswi berjilbab..."

"Iya, pak. Kami tahu. Kami tidak pernah cerita ke ibu kok..."

Akhirnya kami diizinkan masuk kelas lagi.

***

Kembali ke kegiatan pembelajaran di kelas. Meski berbeda agama, kami saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Malah temanku yang Kristen terkadang mengucapkan istilah yang biasa umat Islam gunakan, seperti Astaghfirullah. Pernah guru kami mengingatkan kepada teman kami itu.

"Kalau kamu ya jangan pakai istilah itu. Kamu pakai kata astaga saja...", Kata pak guru waktu itu.

Tiga tahun bersosial dan berkomunikasi dengan siswa yang berbeda agama tak ada permasalahan luar biasa. Kalau bertengkar sih sudah biasa. Sehari kemudian rukun lagi. Yang menjadi masalah pertengkaran pun bukan masalah agama. Bukan.

Di tahun ketiga duduk di bangku SMP ada seorang teman putri non muslim yang memutuskan untuk menjadi mualaf. Aku tak tahu persis mengapa dia melakukan itu. Dia juga tak pernah bercerita tentang keinginan itu sebelumnya. Pada saat ujian praktek Pendidikan Agama pun dia sudah ikut praktek shalat. Untuk teman-teman muslim lain praktek shalat subuh, sedang aku dan kembaranku diminta praktek shalat jenazah.

"Kamu anaknya guru agama, pasti sudah bisa. Sekarang praktek shalat jenazah saja ya, ndhuk", perintah pak Yadi, guru Agama Islam waktu itu. Ya sudah. Kami manut dengan perintah beliau. Mungkin kami memang dianggap lebih bisa.

Oh iya. Untuk kabar temanku yang dulu mualaf, saat ini sudah kembali ke keyakinan awalnya. Dia kembali memeluk agama Kristen. Dan mengenai alasannya aku kurang paham. Aku tak mempertanyakan kepadanya. Itu bukan menjadi wilayah yang harus kucampuri. Beragama adalah hak setiap orang. Dia berhak memilih agama yang diyakininya. Lakum diinukum waliyadiin, bagiku agamaku, bagimu agamamu.

Sampai saat ini kami pun masih berkomunikasi, baik lewat grup WA alumni maupun chat pribadi. Saling menanyakan kabar dan diskusi tentang pelajaran anaknya yang sekarang sudah berbeda dengan materi pelajaran waktu ibunya sekolah dulu.

Ketika ada isu SARA, penistaan agama dan sebagainya tak pernah kami bahas. Itu hanya akan merusak persahabatan. Rasulullah sendiri juga sangat menghormati pamannya yang bukan Islam, mengapa kita tidak?

---

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun