ada kebanggaan pada diriku mengalir darah bugis di nadiku. Antropolog mengatakan masyarakat bugis adalah masyarakat pesisir atau sebaliknya bukan masyarakat pedalaman, karena itu mereka begitu mudah melanglang buana, terhubung dengan masyarakat luar…yahhh sejarah dengan begitu mudah bisa menjelaskan jejak mereka: perantau bugis…
di tanah feodal itu, saya hanya seperti amoeba diantara sekalangan gajah, hehe saking kecilnya…
yahh wong cilik, bukan keturunan bangsawan, Arung, Andi, Baso, dan sebagainya, bukan…bukan…saya bukan begitu, saya bahkan tidak tahu silsilah keluarga saya, paling jauh saya hanya tahu sampai kakek dan nenek (orang tua dari orang tua saya)… ada pun nama “daeng” yang kugunakan di facebook saya ( FB: Daeng Joni Hartugung), itu tidak menunjukkan level aristokrasi dariku, hanya mengintroduksi bahwa saya adalah anak bugis, dan saya bangga akan itu…
kenapa saya bangga sebagai anak bugis (wija ogi)?? Selama ini saya merasakan bugis sebagai masyarakat yang moderat, berani dan berpikir maju…itu saya rasakan dari kecil, melalui falsafah-falsafah bugis yang menjunjung tinggi harga diri yang mendoktrin kita anak-anaknya menjadi berani…disana anak SMA memegang buku Das Capital punya Karl Marx itu hal biasa, anak SMA diskusi filsafat ketuhanan sampai subuh itu juga hal biasa…
mahasiswa-mahasiswa di Makassar pun demikian, memiliki semangat belajar yang tinggi, tahan banting, tahan hidup menderita, makan sekali sehari demi kuliah, walau begitupun mereka masih bisa eksis kesana-kemari dengan sang pujaan hati…atmosfer pendidikan di kalangan mahasiswa Makassar begitu terasa, pemikiran yang dalam, kritis dan pribadi yang keras, duhhh belum pernah kutemui di daerah manapun, bahkan di Jakarta sekali pun… cuman disana yang sedikit mengusik saya yaitu budaya gengsi yang agak tinggi, yah mungkin itu bias dari budaya siri’ yang kebablasan…
setiap kali pulang kampung, saya selalu sempatkan menginap di mess-mess kawan dimakassar, berdiskusi dan mendengarkan cerita dan logat mereka yang khas, hehe…dari situ saya menilai mereka begitu berwibawa, jaringan yang luas, cerdas dan cakap dalam berorganisasi, mereka pada jago-jago loh buat proposal dan melobi-lobi pemerintahan daerah…hehe
banyak sekali organisasi kemahasiswaan disana, baik yang berasaskan agama, Islam, maupun sekuler, dan semuanya saya kenal moderat…begitu pun kampus-kampusnya…
namun ada yang mengejutkan saya akhir-akhir ini, hal yang sama sekali itu tidak kupercaya terjadi di Makassar, yang membuat saya senyum sambil geleng-geleng dan bertanya-tanya???
pertama, kok bisa-bisanya zakir naik khotbah di Universitas Hasanuddin, salah satu kampus yang menjadi symbol kemajuan berpikir di Indonesia timur itu, saya pun pernah punya impian menimba ilmu disana, andai saja itu terwujud, barangtentu saya ngga harus mental ampe ke kota ondel-ondel ini….
berikutnya adalah kok bisa-bisanya umbul-umbulnya HTI, ormas radikal yang mengimpikan system pemerintahan ke-KHILAFAN, bisa berkibar ditengah-tengah kota yang masyarakatnya begitu kritis, moderat dan tak sedikit yang liberal (baca: merdeka), dalam berpikir???
kemana antropolog yang hebat itu, sosiolog yang handal itu, sejarawan yang super itu, budayawan yang spektakuler itu, teolog yang moderat itu, professor-profesor yang rasional itu, kemana para nasionalis itu?? kemana para mahasiswa-mahasiswa yang dulu kukenal moderat itu?? Kemana organisasi-organisasi kemahasiswaan itu?? Sehingga kampus yang dulu menjadi impian itu jadi tempat mengkampanyekan kebencian dan kemunduran?? Kemana kawan-kawanku yang dulu kukenal hebat-hebat itu?? Apa karena mereka pada telah wisudah yahh hehe ataukah mungkin semangat yang ku banggakan itu, memang sudah tidak adalagi disana… ededeee kecewa beratttttttttttttttttttttka’ kwodonk mutarooo belihhh…jangko begitu lagi nahh???