Saya perkenalkan ojek langganan saya!
Namanya Sulis. Umurnya sekitar 40 tahunan. Kurus. Semampai. Berambut agak cepak. Bicara lembut dan hampir tak terdengar. Jika diajak bicara minggu ini, dia akan lupa pembicaraan minggu lalu. Jadi, bicaralah apa saja padanya tentang rahasiamu, kelak dia tidak ingat apa-apa yang pernah kau ceritakan. Itulah impresiku pertama tentang Sulis. Ia berasal dari sebuah dusun di Sewon, Bantul yang berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat Kota Jogja ke Selatan. Sebuah desa yang dua puluh tahunan lalu menjadi sentra beras bagi masayarakat Jogja. Saya mengetahui jaraknya karena kampus saya dulu, ISI- Institut Seni Indoinesia Jogjakarta berada tidak jauh dari kampungnya.
Karena kereta tiba di Jogja terlalu pagi, saya seringkali menggunakan jasa ojek. Sulis ini salah satu langganan saya. Saya katakan salah satu, karena jika Sulis tidak ada saya akan panggil ojek berikutnya: Jaini, Juli, atau Mas Kerto. Urutan itu jelas sebagai perioritas mana yang duluan saya panggil. Jika tidak ada Sulis, saya akan panggil Jaini, kemudian jika Jaini pun tak ada saya akan panggil nama Mas Kerto dan seterusnya.
Pertama kali saya naik ojek Sulis, ia bertanya kapan saya pulang? Dalam hati saya gendhek, belum juga nyampe udah nanya pulang. Namun pertanyaannya saya jawab sekenanya. Sebab saya sendiri tidak tahu kapan saya pulang. Entah besok, lusa atau tiga hari lagi. Meskipun biasanya saya hanya semalam saja di Jogja.
Namun pertanyaannya yang sama itu belakangan sering tidak saya jawab. Kadang saya jawab, ”nggak tau mas” atau “saya nanti diantar oleh pak De anak saya” atau lebih ekstrim “saya pulang bareng sama temen naik mobilnya”. Buat saya, saya tidak mau direpoti oleh Sulis yang akan menjemput saya sewaktu mau ke stasiun pulang balik ke Jakarta.
Tapi jawaban-jawaban saya itu tidak ada gunanya bagi Sulis. Tetap saja—tiap saya memakai jasanya--dia akan mendesak dengan pertanyaan kapan saya pulang.
Di suatu hari, sewaktu saya masih belum tahu maksud Sulis, saya mengatakan akan pulang petang besok naik Kereta Senja. Sulis mengangguk. Saya tambahkan kata-kata yang lebih tegas, “tidak usah dijemput, Mas! Saya besok ke stasiun akan diantar oleh Pak De." Sulis hanya mengangguk dengan senyum tanpa mengeluarkan sehuruf pun dari mulutnya. Namun tanpa saya duga besok harinya, ketika saya siap pulang ke Jakarta, tiba-tiba Sulis muncul di depan rumah mertua. Saya hanya mampu manarik nafas dalam-dalam karena saya tak mungkin bisa membayarnya walau hanya sepuluh atau lima belas ribu. Lagi pula, saya sudah sms Pak De anak saya untuk minta diantar ke stasiun.
Rupanya Sulis datang bukan untuk menjemput saya. Dia membawa sekantong plastik jeruk yang menggantung di motornya. Sambil tersenyum dalam hati saya mengutuk diri sendiri, betapa kotor prasangka saya. Jeruk yang kira-kira berisi dua kilogram itu diberikannya kepada saya dengan penuh keikhlasan. “Ini oleh-oleh, Mas Joni,”
“Dari mana jeruk ini?” tanya saya penasaran.
“Dari kebun, Mas.” jawab Sulis sekenanya.
“Kebun sendiri?”
Sulis hanya mengangguk. Sebagai anak petani jeruk di Sumatera Selatan, tepatnya Baturaja, ayah saya menanam sekitar 2000 pohon jeruk di jalan lintas Sumatera. Saya jadi heran, masak sih di Jogja, di Sewon lagi, ada kebun jeruk? Setahu saya Sewon merupakan sentra tanaman padi meskipun sekarang sudah dipenuhi kampus dan kompleks perumahan. Di sebelah mana kira-kira kebun yang disebutkan Sulis itu? Saya tidak ingin bertanya. Saya menerimanya dengan sukacita. Kemudian naik ke motor Sulis untuk ke stasiun lagi sambil cepat-cepat membuat pesan lewat sms ke Pak De- anak saya agar tidak perlu mengantar saya.
Demikian juga hari-hari berikutnya, kalau saya pulang naik ojek Sulis. Dia akan bertanya , “kapan, mas Joni pulang? Biar aku bawain jeruk,” katanya dengan berterus terang. Dan aku selalu punya jawaban untuknya, nggak usah Mas Sulis.
Dia akan jawab lagi, nggak apa-apa, kok.
Bayangkan, kalau harga jeruk sedang musim per kilo Rp. 4.000 atau Rp. 5.000, berarti untuk dua kilo jeruk Mas Sulis telah menyisihkan uangnya 8.000 sampai 10.000 rupiah. Sementara saya naik ojeknya tidak lebih 10 ribu rupiah. Itu artinya saya naik ojek gratis!
Pada suatu pagi yang masih menyisakan dingin, saya tiba di Jogja. Saya mencari Sulis dan saya telpon beberapa kali tapi tidak diangkat. Datanglah ojek lain yang tidak saya kenal. Kemudian dia membawa saya. Ketika saya tanyakan Sulis di mana? Sang Bapak kemudian panjang lebar mencerikatakan kalau Sulis itu sakit ayan atau epilepsi. Penyakit yang dikategorikan "orang kampung" sebagai penyakit gila.
“Jangan sering-sering naik ojeknya, Mas. Soalnya dia itu sakit," kata Si Bapak Ojek yang belum saya kenal namanya.
“Sakit apa, Pak?
“Sakit ayan,”
“O…”
“Kita nggak tau, ya? Kadang-kadang dia itusering jatuh, lho, Mas?" ada nada meyakinkan dari cerita Si Bapak Ojek yang belum saya kenal ini.
“Jatuh gimana?” tanya saya sampai menunda untuk memasang helm.
“Ya, jatuh tiba-tiba. Kalo penumpangnya selamat untung. Kalo ikut celaka piye?” kata Si Bapak Ojek yang belum saya kenal seperti menghasut.
Saya mengangguk-angguk. Dan iseng saya juga bertanya pada Si Bapak Ojek yang belum saya kenal.
“Pak De pernah liat kalo Sulis jatuh?”
“Yo, ora,” dia mengatakan tidak. Pak De meneruskan, “Saya sih sering denger-denger.”
“Denger dari siapa, Pak?”
“Ya, dari orang-orang. Makanya dia nggak ngojek hari ini mungkin kemarin kumat lagi,"
Saya berpikir. Pak De yang membawa saya mengatakan dengan kata-kata penuh provokatif kalau Sulis tidak ngojek karena ayannya kumat. Ini mungkin intrik bisnis. Semacam persaingan tidak sehat. Hari itu juga saya mengingat-ngingat motor ojek Si Bapak Ojek yang tidak saya kenal ini. Saya tidak akan naik motor ini lagi, pikir saya.
Tapi sejak Si Bapak Ojek yang tidak saya kenal itu bercerita tentang Sulis ada juga kekhawatiran saya. Bagaimana kalau tiba-tiba saya jatuh saat berboncengan dengan Sulis? Atau tabrakan? Tapi saya mencoba mengatasinya dengan pasrah. Saya selalu mengingatkan Sulis untuk tidak ngebut. Dengan begitu, kalau pun jatuh atau tabrakan saat Sulis "kumat", kecelakaannya tentu tidak terlalu parah. Begitulah saya mencoba menenangkan diri. Lagi pula, penyakit ayan atau epilepsi, juga diderita bukan saja Sulis. Penulis sekaliber Moliere, Edgar Allan Poe, Charles Dickens, bahkan Leo Tolstoy pun konon menderita penyakit yang dalam bahasa Yunani berarti "serangan" (epilepsia) ini. Jadi untuk apa saya takut berboncengan dengan Sulis.
Pada minggu lain ketika saya kembali sampai di Jogja, saya juga tidak menemukan Sulis. Saya naik motor yang lain. Saya bertanya ke mana Sulis pada Jaini, orang berikutnya setelah Sulis yang biasa saya tumpangi. Ketika saya konfirmasi, benar Mas Sulis itu sakit? Dan sumpah saya tidak berani menyebutkan “ayan” di belakang kata sakit.
“Ya, mungkin. Saya kurang tau ya, mas.”
“Mas Jaini tidak pernah liat Mas Sulis sakit?”
“Tidak,”
“Kalo denger-denger dia sampe jatuh dari motor?"
“Sering denger. Tapi saya nggak tau persis. Buat saya namanya rejeki, Tuhan baik kepada siapa aja,”
Baru saya siuman. Lelaki bernama Jaini ini termasuk orang yang tidak pernah mau ngomong tentang orang lain. Apalagi menjelek-jelekkannya. Bahkan seseorang yang menjadi pesaingnya dalam berebut penumpang. Menurut Jaini pula, bagi saya sama saja. Sulis sakit atau tidak toh langganannya banyak. Jaini percaya Sulis jauh lebih baik servisnya dari dia. Makanya Sulis tak pernah sepi orderan. Sulis memberikan semua kebaikan kepada kliennya. Naik ojek Sulis kita tidak perlu takut tak punya uang karena bisa ngutang. Dan yang tak kalah hebat, meskipun saya tidak menggunakan jasa ojeknya untuk diantar ke stasiun sewaktu akan pulang lagi ke Jakarta, Sulis telah menunggu dengan sekantong jeruk yang dia berikan dengan ikhlas untuk saya.
Dari Sulis saya belajar bagaimana memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Dan dari Jaini saya juga belajar untuk bersyukur bahwa rejeki memang sudah ada yang mengatur. Tanpa harus menjelek-jelekkan orang lain yang sesungguhnya adalah pesaing kita.
Jadi, kalau Anda ingin mencoba merasakan bagaimana naik Ojek Sulis atau Jaini, cari saja mereka di pintu Selatan Stasiun Tugu bagian luar. Atau tepatnya di gerbang depan persis seberang Hotel Abadi yang berbaris dengan areal kesohor di Jogja yang bernama Pasar Kembang.
Ketika suatu hari di akhir minggu, saat kangen saya pada anak membuncah, saya beruntung naik Kereta Senja Jogja yang jarang berhenti. Kereta yang biasa tiba di Jogja pukul 4 atau 5 pagi itu sudah berada di Stasiun Tugu pukul 3. Pagi-pagi sekali rupanya Sulis telah berada di tempat mangkalnya. Saya naik ke boncengannya. Seperti minggu-minggu lalu, saya menceritakan pada Sulis betapa saya membenci perempuan yang begitu saja meninggalkan anak yang belum berumur satu tahun demi kepentingannya sendiri. Saat saya naik ke motornya hari ini, saya kira Sulis akan membuka pertanyaan dengan cerita saya kemarin. Tentang perempuan yang egois dan tidak bertanggungjawab. Tentang perempuan yang saya sumpah-serapahi, Tapi semua itu tidak keluar dari mulutnya Semua rahasia yang pernah saya ceritakan minggu lalu benar-benar lenyap. Terbawa oleh angin ke Gunung Merapi.
BERSAMBUNG....
Baca cerita sebelumnya:
MENJADI AYAH DI HARI MINGGU (1)
MENJADI AYAH DI HARI MINGGU (2)