Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Mengapa Tempo Menutupi Peran Jokowi?

25 Januari 2015   02:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:26 751 2
Akhirnya Tempo secara terang-terangan menyatakan bahwa kisruh antara KPK dan Polri yang diawali dengan penangkapan Bambang Widjojanto serta dilanjutkan dengan hari ini pelaporan terhadap Adnan Pandu bukanlah pertarungan antara KPK dan Polri atau yang disebut sebagai Cicak vs. Buaya, melainkan pertarungan antara Cicak vs. Banteng yang mengindikasikan bahwa Polri adalah proxy yang digerakan oleh PDIP untuk merusak dan menghancurkan KPK. Pernyataan tersebut dapat dilihat dari gambar Cicak vs. Banteng dalam website Tempo dan artikel berjudul Penghancuran KPK: Tiga Indikasi PDIP-Mega bermain. Mengutip Bambang Widjojanto, Tempo menulis indikasi bahwa PDIP dan Megawati ada di balik penghancuran KPK adalah:

1. Sugianto Sabran sebagai pelapor Bambang Widjojanto adalah politikus PDIP dan menjadi anggota DPR dari fraksi PDIP periode 2009-2014.

2. Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderap PDIP, Hasto Kristiyanto menyerang Ketua KPK Abraham Samad dengan mengungkap enam pertemuan politis antara Abraham Samad dengan PDIP untuk membahas kemungkinan menetapkan Abraham Samad menjadi cawapres Jokowi.

3. Koalisi PDIP yang terdiri dari PDIP-NasDem-Hanura-PPP-PKB-PKPI ngotot mencalonkan Budi Gunawan sebagai Kapolri sebagaimana ditetapkan dalam rapat di rumah Megawati tanggal 13 Januari 2015.

[url]http://www.tempo.co/read/news/2015/01/24/078637348/Penghancuran-KPK-Tiga-Indikasi-PDIP-Mega-Bermain[/url]

Saya sependapat dengan artikel tersebut bahwa semua petunjuk dan bukti yang ada menunjukan sebuah fakta tidak terbantahkan bahwa penggerak penyerangan terhadap KPK dimotori oleh PDIP. Motivasinya tentu saja karena KPK telah menetapkan Budi Gunawan, ajudan kesayangan Megawati, sebagai tersangka yang mencegah dirinya dilantik sebagai Kapolri baru. Tapi saya melihat ada yang aneh dari judul dan indikasi PDIP bermain dalam artikel Tempo tersebut karena Tempo tidak menulis atau menyebut beberapa fakta sebagai berikut:

1. Bareskrim bergerak menangkap Bambang Widjojanto atas perintah Kabareskrim yang baru dilantik menggantikan Kabareskrim lama yang pro KPK dan dipecat bersamaan dengan Kapolri Jenderal Sutarman, yaitu Irjen. Budi Wiseso. Kabareskrim baru ini sejak awal sudah menunjukan kebencian kepada KPK dengan mengatakan bahwa di tubuh Polri ada penghianat.

2. Sehari setelah Kabareskrim baru dilantik, entah kebetulan atau memang bagian dari bargain politik, berkas kasus Obor Rakyat yang sudah mengendap lama di Bareskrim, tiba-tiba dikirim ke Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung yang Jaksa Agungnya berasal dari NasDem segera menetapkan tanggal sidang untuk perkara yang menimbulkan kebencian di hati Jokowi dan alasan Jenderal Sutarman dipecat.

3. Jokowi memiliki kesempatan; kapasitas dan kewenangan menghentikan perkara yang menimpa Bambang Widjojanto antara lain dengan meminta Polri menerbitkan SP3 atau memerintahkan Polri segera mengirim berkas ke Kejaksaan yang mana setelah itu Kejaksaan Agung yang Jaksa Agungnya kader NasDem mengeluarkan kewenangannya men-deponeer perkara dengan alasan kepentingan umum. Tapi apa lacur dalam dua kali kesempatan dalam dua hari, yaitu di Istana Bogor dan Istana Negara, Jokowi menolak ikut campur atau melakukan intervensi dalam kasus tersebut.

Berdasarkan tiga fakta di atas maka tidak bisa dibantah sesungguhnya kriminalisasi terhadap Bambang Widjojanto hanya dimungkinkan karena Jokowi menggunakan kewenangannya untuk mengganti Kabareskrim pro KPK kepada Irjen Polisi Budi Wiseso, Kabareskrim yang anti KPK dan kemudian menolak menggunakan kewenangannya menghentikan kriminalisasi yang berarti menguntungkan pihak kepolisian dan merugikan KPK. Dengan fakta yang demikian maka sulit dibantah bahwa Jokowi juga bermain dalam penghancuran KPK. Mungkinkah Tempo tidak menyadari hal ini? Tentu saja mustahil dan tidak mungkin. Bila orang awam seperti saya melihat jelas peranan Jokowi itu, maka mana mungkin Tempo tidak melihatnya? Kalau saja Tempo mencantumkan tiga fakta di atas maka judul artikel di Tempo itu seharusnya dibaca: "Penghancuran KPK: Indikasi PDIP-Jokowi-Mega Bermain"

Menurut saya ada tiga kemungkinan yang menjadi alasan Tempo dalam usaha mereka mencoba untuk menutupi peran Jokowi yang sebenarnya terang benderang tersebut, antara lain:

1. Tempo sadar bahwa satu-satunya peluang menghentikan kisruh Polri-KPK adalah Jokowi; sehingga Tempo mencoba bermain politik dengan menutupi peranan Jokowi dengan harapan tekanan demi tekanan yang mereka lakukan bersama koalisi masyarakat sipil anti korupsi lain akan menggugah atau setidaknya memaksa Jokowi memakai kewenangan yang ada padanya untuk menyelesaikan masalah.

2. Tempo mencoba menutup malu karena Goenawan Mohamad, Tempo serta koalisi masyarakat sipil adalah pihak yang mempromosikan Jokowi sedemikian rupa, sampai memuji-muji Jokowi seolah dia adalah seorang dewa  yang pro hak asasi manusia dan anti korupsi. Bila masyarakat menyadari bahwa Tempo dan kelompoknya membuat kesalahan maka kredibilitas Tempo dalam mempromosikan atau melakukan kampanye hitam terhadap seseorang akan rusak; sehingga mereka mencoba mengalihkan kesalahan kepada PDIP dan Megawati semata, sedangkan kesalahan Jokowi hanya "tidak bisa melawan keinginan Megawati."

3. Tempo sungguh-sungguh naif dan tidak melihat Jokowi sebagai aktor utama kriminalisasi terhadap KPK.

4. Goenawan Mohamad dan kelompok Tempo takut diracuni seperti Munir setelah Hendropriyono mengeluarkan ancaman dengan sangat keras kepada orang-orang yang mencoba menyalahkan Jokowi atas kisruh seputar pengangkatan Kapolri. Ancaman AM Hendropriyono.

http://news.detik.com/read/2015/01/24/175505/2812945/10/1/hendropriyono-jangan-sekali-kali-menyalahkan-jokowi-di-kasus-kpk-vs-polri

Di antara empat kemungkinan di atas, saya melihat yang paling mungkin menjadi motivasi Tempo menutupi peran Jokowi dalam kasus penghancuran KPK adalah nomor 2 dan nomor 4, yaitu Tempo dan Goenawan Mohamad takut mengalami nasib naas seperti Munir dan mereka juga masih terlalu gengsi untuk mengakui bahwa hanya membutuhkan kurang dari 100 hari untuk orang yang mereka pilih menunjukan belangnya. Hal ini tentu disayangkan karena pendukung lain seperti Romo Benny; Frans Magnis Suseno; Melanie Subono; Suciwati Munir dan lain-lain sudah secara jantan tanpa takut ancaman Hendropriyono mengakui bahwa mereka salah pilih pemimpin dan bahwa mereka telah tertipu pencitraan Jokowi. Buat saya alasan nomor dua dan empat lebih masuk akal karena bila Jokowi benar boneka Megawati dan KIH yang hanya menunggu perintah tentu dia tidak akan peduli dengan apapun tudingan dari koalisi aktivis; demikian pula dengan alasan nomor tiga, seperti sudah saya sampaikan, mustahil Tempo yang sudah makan asam garam Orde Baru itu bisa naif melihat Jokowi adalah tidak bersalah dan hanya korban pertarungan politik.

Saya berharap dalam waktu yang tidak lama lagi, Tempo sebagai salah satu barometer kebebasan pers di Indonesia akan bisa melepas gengsinya dan ketakutan dari Hendropriyono agar bisa melaporkan peristiwa penghancuran KPK secara apa adanya, yaitu PDIP-Jokowi-Megawati secara bersama-sama memainkan peranan mereka untuk mencapai tujuan menghancurkan KPK, apalagi sekarang ini kelompok PDIP telah meningkatkan keseriusan mereka dengan turun gunungnya pakar intelijen mereka yang ketika menjadi Ketua BIN pernah merancang pembunuhan Munir, yaitu A.M. Hendropriyono. Bila Tempo setengah-setengah dalam membela KPK maka jangan bersedih bila dalam waktu tidak terlalu lama semua komisioner KPK yang sedang menjabat terpaksa berhenti dan diganti dengan orang-orang yang pro PDIP dan koalisinya seperti kanker sebagaimana menimpa jabatan Kapolri, Jaksa Agung, Kabareskrim, Menkopolhukam, Menkumham, Menteri Pertahanan, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Telkomsel dan lain-lain.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun