Itu baru pertengahan musim. Hingga akhir musim nanti jumlahnya masih akan terus meningkat. Sayang masih banyak juga telur yg gagal menetas. Penyebabnya bukan zat kimia beracun, tapi fluktuasi debit yang sangat extrim. Ini agak rumit, jangankan orang, ikan saja sampai salah milih tempat bertelur: yang semalam genangan dangkal nan ideal untuk pembuahan in vitro, paginya mendadak surut, siang mengering. Embrio-embrio mati sebelum insangnya sempat menyaring oksigen murni dari beningnya air Serayu. Kalau yang begini sih complicated dan banyak pihak yang sah dimintai pertanggungjawaban. Nantilah itu. Yang ada dalam jarak jangkau dulu.
Bensin mepet, tapi masih ada duit ceban. Aman lah. Pulangnya nanti toh bisa bawain pesanan burayak ke seorang lawyer eksentrik yang berhasil kuyakinkan untuk mencoba domestifikasi ikan endemik. "Boss, ikan sungai harganya dua kali lipat ikan kolam. Kalau ada yang mati, tak ganti." Cuan, itu mantra saktinya, scam atau bukan. Padahal niatku, kolam pembesaran permanen si Boss pas buat studi komparatif pertumbuhan di habitat alami dan buatan. Balai benih memang punya unit-unit kolam mangkrak, tapi lupakan sajalah berurusan dengan plat merah.
Dari sample pertama yang rerata 5 - 7 mm, burayak di empat titik pengamatan tumbuh normal. Sore itu aku bawa pulang sekitar 6000 ekor dengan panjang rata-rata 1,5 - 2 cm. untuk ditebar di kolam Boss SH. Dapet tempat pembanding gratis, sekaligus duit untuk operasional penelitian seminggu ke depan. Mainkan saja.
Masalahnya, aku sering mengabaikan faktor resiko. Sekira 18 km. lagi sampai rumah, kawan lama yang sangat sangat akrab itu menyapa lirih: nafasku menghangat, juga pelupuk mata. Kupacu motor lebih kencang, speedometer akan membantuku menghitung berapa menit waktu yang masih tersisa untukku tanpa menggunakan jam. Speedku 60km/h.